Sabtu, 06 Agustus 2011

DIBERKATI UNTUK MENJADI BERKAT

Pendahuluan
Dengan judul ‘diberkati untuk menjadi berkat’ tulisan ini terutama bertujuan untuk mengulas untuk apa seorang percaya diberkati. Rujukan kita adalah pemanggilan Abraham. Sebelum sampai ke sana, kita akan melihat lebih dahulu apa itu berkat dan darimana asalnya.

Apa itu berkat dan dari mana asalnya?
Istilah ‘berkat’ (Ibr.: berakha, Yun.: eulogia) adalah sebuah terminologi teologis. Artinya hanya dalam ranah rohani istilah ini dipakai. Alkitab penuh dengan istlilah ini dan dalam kamus-kamus teologi pembahasannya selalu disatukan dengan kutuk. Meskipun begitu istilah ini dalam bentuk kata kerjanya sudah muncul sejak Kejadian 1:22 dan 28. Dalam ayat 22 binatang diberkati dengan keturunan sedangkan dalam ayat 28 manusia diberkati dengan berkat keturunan dan kebijakan.
Berkat dapat berupa ucapan dan pemberian. Yang pertama biasa disebut dengan benediction. Rumusannya terdapat, misalnya, dalam Bilangan 6:24-26 dan 2 Korintus 1:2, dll., sedangkan yang kedua adalah pemberian dalam bentuk sesuatu. Yang terakhir ini biasanya dipilah lagi: materi dan rohani.
Berkat selalu diasosiakian dengan (perjanjian/covenant) Allah. Ini berarti: pertama, berkat ada karena perjanjian Allah, bukan karena jasa manusia; kedua, Allah adalah sumber dari berkat itu. Jadi jika seseorang menyebut sesuatu sebagai berkat, maka sadar atau tidak ia sedang mengatakan bahwa ia ada dalam perjanjian Allah dan bahwa sesuatu itu berasal dari Allah, apakah dia adalah pemberi atau penerima. Jadi berkat berarti sesuatu yang baik dari Allah. Dengan begitu, maka memberkati berarti memohon perlindungan dan pemeliharaan Allah dan diberkati berarti dilindungi dan dipelihara oleh Allah.

Siapakah yang diberkati?
Berkat adalah sesuatu yang baik dari Allah yang baik. Tetapi kepada siapa? Kepada orang yang baik pula? TIDAK! Kepada the covenant people, umat perjanjian. Bukan kebaikan manusia ‘motor’ berkat melainkan perjanjian Allah.
Dalam kedaulatan kehendak-Nya, Allah telah menetapkan untuk memanggil satu orang, yakni Abraham, mengikat perjanjian dengannya dan memberkati dia (Kej. 12, 15 dan 17). Perjanjian itu terus berlanjut dalam setiap keturunannya - Isak, Yakub dan Israel - dengan berpuncak pada apa yang biasa kita sebut perjanjian Sinai. Memang Ismael pun diberkati. Namun berkat itu berada di luar perjanjian Allah dengan Abraham. Bahkan jika diperhatikan berkat Ismael adalah hasil doa atau permintaan Abraham (Kej. 17:20-21). Artinya bukan Allah inisiator berkat Ismael melainkan Abraham. Sebaliknya dalam hal Ishak, Allahlah inisiator berkat karena perjanjian-Nya.
Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa berkat (dan kutuk adalah dua) unsur yang melekat pada perjanjian atau covenant. Bagi umat perjanjian yang menaati perjanjian itu, tersedia berkat (keturunan, kesehatan, keamanan, kesejahteraan, kemerdekaan dan kemakmuran) sedangan bagi yang tidak taat tersedia kutuk (kemandulan, sakit penyakit, perbudakan dan kemiskinan). Itulah apa yang kita baca dalam Ulangan 27-28 dan Yosua 23-24.

Diberkati karena …. atau untuk …?
Apakah ketaatan mendatangkan berkat berarti bahwa ketaatan adalah pintu kepada berkat? Atau apakah ketaatan diupahi berkat berarti jasa kita adalah penyebab datangnya berkat? TIDAK! Perjanjianlah pintu kepada berkat. Jika tidak ada perjanjian, untuk apa ketaatan? Ketaatan adalah wujud hormat manusia kepada Allah karena iman sedangkan berkat adalah reflektor kasih Allah kepada manusia karena perjanjian-Nya. Memang bahasa Alkitab sering memberi kesan seolah-oleh berkat Allah bergantung pada ketaataan, kesalehan, kesucian dan iman kita. Namun itulah apa yang disebut Calvin sebagai accommodatio Dei, yaitu bahwa Allah menyesuaikan maksud-Nya dengan kemampuan pemahaman kita. Dengan demikian maka prinsip Alkitab jelas: kita diberkati untuk ..., bukan karena ....

Untuk apa berkat itu?
Allah memanggil Abraham dan mengikat perjanjian dengannya dengan tujuan untuk merealisasikan rencana penebusan-Nya melalui dia. Allah telah menjanjikan penebusan itu dalam Kejadian 3:15. Untuk menggenapinya Ia memilih Habel/Set, kemudian Nuh lalu Abraham sebagai ‘perpanjangan tangan-Nya’. Prinsip ‘perpanjangan tangan’ ini sudah sangat eksplisit sejak pemanggilan Abraham : ‘… dan engkau akan menjadi berkat’ (ay 2); lebih sangat eksplisit lagi: ‘… dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat’ (ay 3; 18:18; lih. juga 26:4; 28:14). Panggilan dan perjanjian itu menempatkan Abraham di satu sisi sebagai yang terberkati dan di sini lain sebagai penyalur berkat. Jadi jelaslah bahwa tujuan Allah memanggil Abraham dan mengikat perjanjian dengannya adalah supaya melalui dia berkat Allah sampai kepada semua kaum di muka bumi. Panggilan dan perjanjian itulah berkat yang sesungguhnya dari Allah kepada Abraham. Berkat-berkat lain seperti negeri, keturunan, kemasyuran dan keamanan mengikuti berkat utama ini. Melalui Abraham Allah mau memanggil dan mengikat perjanjian-Nya dengan bangsa-bangsa lain.
Dengan kata lain, firman: ‘… olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat’ telah menempatkan Abraham sebagai pembawa titipan atau ‘tukang pos’ dari Allah kepada bangsa-bangsa lain. Abraham adalah ‘kapal kargo’ dari Allah. Analogi lain yang dapat menolong kita untuk lebih mengerti peran yang diberikan Allah kepada Abraham dalam menghadirkan pemeliharaan, perlindungan serta keselamatan kepada bangsa-bangsa lain adalah pipa air. Abraham ibarat pipa air. Berkat adalah air. Pipa bukan tujuan akhir aliran air melainkan saluran yang membawa air itu kepada tujuan akhirnya yakni pengguna. Barangkali analogi ini terlalu ekstrim, seolah-olah Abraham tidak mendapat apa-apa sama seperti pipa tidak mendapat apa-apa. Penekanan analogi ini tidak pada soal kebagian atau tidak, tetapi pada urgensi kehadiran pipa itu dan fungsinya: ada sebagai saluran air. Demikianlah Abraham dipanggil atau diberkati untuk menjadi saluran berkat. IA ADA SEBAGAI PENYALUR, BUKAN PENIMBUN!

Berkat apa?
Di atas telah disebutkan bahwa panggilan dan perjanjian itulah berkat utama dari Allah kepada Abraham. Berkat itu pula yang akan Allah berikan kepada bangsa-bangsa lain dengan perantaraannya. Ini berarti bahwa berkat ini bersifat rohani, yakni keselamatan di dalam Yesus Kristus. Berkat-berkat lain, seperti negeri, kemasyuran, keamanan, keturunan dan kekayaan diberikan kepada Abraham dalam rangka perealisasian berkat rohani ini.


Kesimpulan
Berkat adalah pemberian Allah. Abraham dipanggil kepada berkat untuk menjadi penyalur berkat. Ia tidak dipanggil kepada berkat demi keterberkatannya sendiri. Sebaliknya Ia dipanggil untuk memberi dirinya sebagai ‘tukang pos’, ‘kapal kargo’, atau ‘pipa berkat’ dari Allah. Itulah arti dari firman: ‘… olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat’.
Dalam konteks historia revelationis, sejarah keselamatan, Abraham dipanggil dengan tujuan misi. Dan dia melakukannya dengan suka rela: ‘Lalu pergilah Abram seperti yang difirmankan TUHAN kepadanya’ (12:4a). Untuk tujuan misi itu, Abraham diberkati dengan negeri, kemasyuran, keturunan, kekayaan dan keamanan. Jika ia tidak menjadi penyalur berkat, ia ibarat tukang pos yang kabur membawa barang kiriman, kapal kargo yang tenggelam dan pipa air yang rusak. Begitukah Abraham? TIDAK!
Bagaimana dengan Gereja? Gereja atau orang percaya adalah keturunan Abraham karena iman dan dengan demikian Gereja juga adalah umat perjanjian (Gal 3). Sebagai umat perjanjian yang baru, baik sebagai institusi atau individu, Gereja berhak mendapat berkat-berkat yang melekat pada perjanjian dengan Abraham itu. Namun, sama seperti ketaatan Israel mendatangkan berkat demikian jugalah ketaatan Gereja; sama seperti ketidaktaatan Israel mendatangkan kutuk, demikian jugalah ketidaktaatan Gereja.
Gereja mengemban panggilan Abaraham yakni panggilan untuk menjadi berkat. Allah telah memanggil dan menetapkan Gereja sebagai ‘pembawa titipan’ atau ‘kapal kargo’ atau ‘pipa berkat’ Allah kepada segala bangsa dan kaum di muka bumi.
Karena itu bagi Gereja berlaku pula firman: ‘… olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat’. Artinya, sama seperti Abraham dipanggil untuk misi, demikianlah Gereja juga terbentuk untuk misi. Gereja diberkati untuk menjadi berkat. Apakah Gereja melakukannya pula sama seperti Abraham? Ataukah Gereja telah menjadi tukang pos yang kabur, kapal kargo yang tenggelam dan pipa yang bocor? Ini pertanyaan-pertanyaan retoris-kontemplatif. Jawabannya positif atau negatif? Dua-duanya!