Kamis, 08 Maret 2012

Khotbah di Bukit V

Perceraian

Matius 5:31-32
31 Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. 32 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.

Setelah berbicara tentang kemarahan dan perzinahan, sekarang Yesus menyinggung soal perceraian: “Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya” (ay 31). Ini adalah kutipan dari Ulangan 24:1. Di sana disebutkan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya ‘... jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, ...’ dengan memberikan surat cerai.Ada dua pandangan yang berkembang di kalangan orang Yahudi pada masa Yesus mengenai ungkapan ‘yang tidak senonoh’ ini. Yang pertama adalah orang Farisi dari kalangan sekolah Shammai. Menurut mereka frase ini khusus menunjuk pada perzinahan. Yang kedua berasal dari sekolah Hillel. Menurut kelompok ini setiap alasan perceraian adalah sah, misalnya jika sang istri membiarkan masakan hangus atau suami melihat perempuan yang lebih cantik.
Dalam tradisi Yahudi, perempuan tidak berhak menceraikan suaminya. Kalau sang istri sudah benar-benar tidak dapat menanggung perlakukan suaminya, paling banter ia lari. Seorang perempuan boleh diizinkan meninggalkan suaminya, jika sang suami tidak memberikan tiga hal: makanan, pakaian dan persetubuhan: “Jika tuannya itu mengambil perempuan lain, ia tidak boleh mengurangi makanan perempuan itu, pakaiannya dan persetubuhan dengan dia. Jika tuannya itu tidak melakukan ketiga hal itu kepadanya, maka perempuan itu harus diizinkan keluar, dengan tidak membayar uang tebusan apa-apa" (Kel. 21:10-11).
Bagaimana pandangan Yesus tentang hal ini? Ini dia: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah” (ay 32). Apakah pernyataan Yesus ini berarti bahwa menurut Dia ada satu dasar atau alasan bagi perceraian yaitu perzinahan? Jika demikian mengapa Ia menolak pemberian surat cerai? Jawaban atas pertanyaan ini akan kita bahas ketika kita menafsir pasal 19:3-9 dan ayat parelnya dalam Markus 10:1-12.
Hukum Musa memperbolehkan perceraian. Perempuan yang diceraikan boleh dinikahi. Yang tidak dibolehkan adalah jika perempuan yang sudah diceraikan itu telah menikah dengan laki-laki lain dan diceraikan lagi atau suaminya yang kedua itu meninggal, maka mantan suaminya yang pertama tidak boleh mengambil dia sebagai istrinya lagi sebab perempuan itu telah tercemar atau dicemari (Ul. 24:1-4). Dengan kata lain yang dilarang adalah pernikahan ulang.
Melihat latar belakang ini, maka jawaban Yesus sangat mengagetkan. Hukum Kerajaan Allah ternyata tidak mengehendaki perceraian dari anggota Kerajaan itu. Siapa yang menceraikan istrinya, telah menjerumuskan istrinya dan lelaki yang menikahinya ke dalam perzinahan. Jadi seorang suami yang menceraikan istrinya menyebabkan dua orang melakukan dosa perzinahan, yakni mantan istrinya dan suaminya. Apa yang diperbolehkan di dalam hukum Musa sama sekali tidak diperbolehkan dalam Kerajaan Allah.
Dalam kehidupan gereja dewasa ini, entahkah di Barat atau di Timur, di Amerika, Jerman atau Indonesia, terdapat berbagai alasan bagi perceraian. Ada yang bercerai karena perselingkuhan. Ada pula karena ketidakcocokan yang selalu berujung pada pertengkaran yang tiada hentinya. Yang lain lagi karena alasan keturunan (istri tidak memberi anak), isteri atau suami terlalu cemburu, suami kehilangan pekerjaan, salah satu pihak bertemu mantan pacar, dan seterusnya. Memang tidak ada kebaktian perceraian. Tetapi ini tidak berarti gereja tidak menyetujui perceraian. Gereja biasanya memberkarti orang-orang yang bercerai itu jika mereka menikah lagi dengan orang lain. Sikap ini secara tidak langsung menunjukkan persetujuan gereja terhadap perceraian. Padahal, sikap Yesus Sang Kepala gereja sangat jelas dalam hal ini: TIDAK BOLEH.

Khotbah di Bukit IV

Perzinahan

Matius 5:27-30
27 Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. 28 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. 29 Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka. 30 Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka.

Dalam keenam ayat ini, Yesus berbicara tentang perzinahan: “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah” (ay 27). Firman yang dimaksudkan-Nya ialah hukum yang ketujuh dari Dasa Titah (Kel. 20:14 ; Ul. 5:18; Mat. 19:18). “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya” (28). Ternyata hukum Kerajaan Allah memandang bersalah tidak hanya apa sudah terjadi atau perbuatan tetapi juga apa yang masih tersebunyi di dalam hati yakni keinginan. Itulah sebabnya mengapa Yesus menyebut: ‘berbahagialah orang yang suci hatinya,karena merekalah yang akan melihat Allah’ (5:8). Dalam kebudayaan dunia Oriental, perempuan kurang mendapat perhatian dari laki-laki. Dalam kebudayaan yang demikian, jika ternyata ada seorang laki-laki yang memandang seorang perempuan, maka pandangan itu ‘berbicara’ banyak, juga bagi perempuan itu. Ada peribahasa kita yang mengungkapkan hal ini dengan baik: ‘dari mana datangnya linta, dari sawah turun ke kali; dari mana datangnya cinta, dari mata turun ke hati. Tatapan sang lelaki menyampaikan keinginan seks yang di dalam hatinya kepada sang perempuan melalui matanya. Hati bertemu hati melalui mata. Persetubuhan terjadi di sana. Itulah sebabnya mengapa Yesus tidak mengatakan bahwa laki-laki itu berdosa dalam keinginannya tetapi bahwa laki-laki itu sudah melakukan perzinahan dengan perempuan itu di dalam hatinya. Salah satu anggota tubuh – yang paling kecil sekalipun – dapat membahayakan seluruh tubuh. “Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka” (ay 29). Demikianlah juga dengan tangan (ay 30). Kalau begitu apakah kita harus memotong setiap bagian tubuh yang akan mendatangkan dosa? Tidak! Sebab itu berarti kita membunuh diri sendiri, karena cepat atau lambat semua anggota tubuh akan habis. Hanya ada satu cara untuk luput dari dosa, yaitu berhati-hati dengan tubuh kita: dengan paha yang mulus, dengan pipi yang lesung, dengan senyum yang menawan, dengan mata yang indah, dengan hidung yang mancung. Waspadalah terhadap kegantengan dan kecantikan kita. Jangan biarkan satu pun anggota tubuh kita menjerat kita dengan dosa. Janganlah mereklamekan tubuh!
Dari kata kerja yang dipakai (moicheuein) nampak bahwa Yesus sedang berbicara tentang perselingkuhan, bukan tentang persetubuhan pada umumnya atau pelacuran karena untuk yang ini kata yang biasanya dipakai adalah (porneuein). Ini tidak berarti bahwa mereka yang belum menikah boleh mengingini dan melakukan perzinahan dengan siapa saja asalkan pasangannya bukan suami atau istri orang. TIDAK!


Sekali lagi Yesus membuka kedalaman hukum Taurat. Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat hanya memperhatikan apa yang tampak tetapi Yesus memperhatikan sampai kepada apa yang menjadi dasar atau motifnya. Apa yang terjadi di dalam hati adalah dasar dari apa yang terjadi di luar. Di sana, di dalam hati manusia, terdapat akar dari segala persoalan yang terjadi di luar: “sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang" (Mrk. 7:21-23). Itulah sebabnya ada firman: “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan” (Ams. 4:23; bdk. Mat. 12:35).

Khotbah di Bukit III

Pembunuhan

Matius 5:21-26
21 Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. 22 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. 23 Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, 24 tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu. 25 Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. 26 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas.

Hukum Taurat melarang pembunuhan (Kel. 20:13; Ul. 5:17). Artinya seorang pembunuh adalah seorang pelanggar hukum Allah. Ia dipandang bersalah dan harus dihukum (bdk Ul. 19:21). Apakah itu berarti marah tidak apa-apa? Tidak! Dalam Kerajaan Allah kemarahan sama dengan pembunuhan. Bahkan sebenarnya kemarahan lebih berat dari pembunuhan: orang yang dibunuh hanya sebentar saja merasakan sakit, tetapi rasak sakit karena dimarahi, dicaci maki dan disumpahserapahi dapat berlangsung seumur hidup. Kemarahan menanam dan menumbuhkembangkan kepahitan. Kata-kata yang kasar dan merendahkan adalah pembunuh karakter yang handal. Yesus mengatakan bahwa siapa yang mengatakan kepada saudaranya: kafir! harus diadili dan: jahil! akan dimasukkan ke neraka yang menyala-nyala. Kedalaman makna larangan ‘Jangan membunuh’ diperlihatkan Yesus di sini. Tidak hanya dengan senjata seseorang dapat membunuh, tetapi juga dengan kata-kata. Ungkapan ‘fitnah lebih kejam dari pembunuhan’ menggambarkan dengan jelas kekuatan kata-kata.
Dalam Wahyu 21:8, disebutkan bahwa ‘... orang-orang yang tidak percaya, orang-orang keji, orang-orang pembunuh, orang-orang sundal, tukang-tukang sihir, penyembah-penyembah berhala dan semua pendusta...’ akan mendapat bagian dalam lautan yang menyala-nyala oleh api dan belerang (Why. 21:8). Yesus menyebutkan bahwa orang yang marah kepada saudaranya pun akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. Artinya bahwa orang yang marah dan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas sama dengan mereka yang disebutkan dalam ayat ini. Kemarahan adalah jembatan kejahatan. Karena itu: ”Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan” (Mzm. 37:8).
Kemarahan dan kata-kata yang tidak senonoh tidak hanya merusakkan hubungan antarsesama saudara tetapi juga mengganggu relasi dengan Allah. Jika sedang marah, segeralah berdamai karena saudaramu yang dimarahi akan terus mengadu kepada Allah. Di mata Allah kemarahan lebih berat dari persembahan. Kemarahan menutupi jalan menuju altar persembahan dan doa.Kemarahan merusak kelayakan ibadah kita. Sama seperti nila setitik merusak susu sebelanga, demikianlah kemarahan merusak relasi kita dengan sesama dan dengan Allah. Memarahi dan mencela seseorang sama dengan memarahi atau mencela Allah, karena manusia adalah gambar Allah.

Khotbah di Bukit II

Peraturan Kerajaan: Lebih dari yang sudah lazim

Matius 5:17-20
17 "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.
18 Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.
19 Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga. 20 Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.


Ibarat rantai, ayat 17-21 merupakan penyatu antara ayat 3-16 dan ayat 21-48. Kualifikasi warga kerajaan Allah seperti dalam ayat 3-12 tidak pernah ada dalam pengajaran dan kehidupan para ahli taurat dan orang farisi (ay 20). Orang Israel tidak menyadari hal itu. Mereka tentu sudah terbiasa dengan ajaran para pemimpin rohani mereka ini dan percaya bahwa pengajaran mereka benar adanya. Ketika mendengar bahwa pemilik kerajaan Allah adalah mereka yang miskin dalam roh, pemilik bumi adalah mereka yang lemah lembut dan bahwa anak-anak Allah adalah mereka yang membawa damai bukan yang berprinsip mata ganti mata dan gigi ganti gigi, mereka tentu berpikir bahwa Yesus telah mengubah hukum Taurat. Tetapi Yesus menegur dengan keras. Tidak boleh ada yang menyangka demikian. Ia tidak datang untuk meniadakan hukum Taurat dan kitab para nabi melainkan menggenapinya. Istilah menggenapi dapat berarti: pertama, memenuhi apa yang dijanjikan dahulu (nubuatan) dan kedua, melengkapi apa yang masih kurang. Semuanya harus terjadi seperti yang difirmankan (ay 17-18, bdk Yes. 55:10-11). Jika ada orang yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat, meskipun yang paling kecil, ia akan mendapat hukuman. Sebaliknya, setiap orang yang melakukan dan mengajarkan perintah-perintah itu dengan benar atau tepat akan mendapat upah (bdk Why, 22:18-19). Atau jika ada orang yang hanya mengajarkannya tetapi tidak melakukannya, ia pun tidak akan luput dari hukuman: “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Mat. 5:20). Mengapa hidup keagamaan para pemimpin rohani ini tidak memungkinkan mereka menjadi warga Kerajaan Allah? Karena mereka omdo alias omong doang. Inilah penilaian Yesus terhadap kesenjangan antara teori dan praktik, antara orthoksi dan orthopraksis, antara iman dan penerapan dari para pemimpin umat: “Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya” (Mat. 23:2-4). Dalam ayat 21-48 Yesus memberikan beberapa contoh mengenai tugas-Nya untuk memenuhi hukum Taurat dan kitab bara nabi itu.
Ayat-ayat ini biasanya disebut antithesis atau pertentangan. Bagian pertama dipertentangkan dengan bagian kedua: ‘Kamu telah mendengar … - ‘tetapi Aku berkata kepadamu…’ Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa apa yang diajarkan Yesus tentang bagaimana seseorang dapat menjadi warga Kerajaan Allah lebih dari apa yang diajarkan oleh para ahli Taurat. Tafsiran-Nya yang tampak bertentangan dengan hukum Taurat tidak dimaksudkan untuk memperbaiki hukum Taurat tetapi untuk membetulkan penyimpangan yang sudah ada dan berkembang saat itu.

Khotbah di Bukit I

Sinai Perjanjian Baru

Matius 5:1-16


Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya. 2 Maka Yesuspun mulai berbicara dan mengajar mereka, kata-Nya: 3 "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. 4 Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur. 5 Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi. 6 Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan. 7 Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. 8 Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. 9 Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. 10 Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. 11 Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. 12 Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu." 13 "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. 14 Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. 15 Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. 16 Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga."

Pasal 5:1-7:29 adalah pengajaran pertama dari lima pengajaran Yesus dalam Injil Matius (5-7; 10; 13; 18-20; 24-25). Bagian ini biasanya disebut Khotbah di Bukit. Meskipun ada lima pengajaran Yesus dalam Injil ini, barangkali Khotbah di Bukit adalah yang paling diingat, paling sulit dimengerti dan bahkan sangat sering dilanggar.
Pengajaran pertama ini dimulai dengan kata ‘berbahagialah’, yang biasanya disebut beatitude, dari bahasa Latin beatus, yang berarti ‘benar-benar bahagia’. Dalam pengajaran ini Yesus membuka realitas kehadiran Kerajaan Allah dalam kehidupan nyata sehari-hari, yakni bagaimana hidup secara sorgawi di bumi. Ada orang yang berpendapat bahwa pengajaran ini hanya bersifat sementara dan hanya untuk orang Israel. Tetapi dari Matius 28:16 (-20) jelaslah bahwa pengajaran ini dimaksudkan Yesus untuk Israel dan untuk segala bangsa, dahulu, sekarang dan nanti.
Jika diperhatikan, apalagi jika Khotbah di Bukit disejajarkan dengan pengajaran di gunung Sinai, maka dapat dikatakan bahwa isi khotbah di Bukit adalah peraturan-peraturan tentang kehidupan dalam Kerjaan Allah.
Pasal 4 berakhir dengan cerita bahwa orang banyak dari seluruh wilayah Israel (Galilea, Dekapolis, Yerusalem, Yudea dan Perea) berbondong-bondong mengikuti Yesus. Dalam pasal 5:1 respons Yesus terhadap kehadiran orang banyak ini dinyakatan: ‘Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke bukit, ... datanglah murid-murid-Nya ....” Dua kelompok orang terlihat di sini: orang banyak dan murid. ‘Orang banyak’ adalah mereka yang tertarik pada dan sering tercengang oleh pengajaran dan mukjizat Yesus (bdk Mat. 9:33; 12:23; Mrk. 11:32; Luk. 11:14), sedangkan murid atau rasul adalah mereka yang telah percaya bahwa Yesus adalah Yang diurapi dari Allah dan telah mengambil komitmen untuk hidup bagi Dia dan bekerja untuk Kerajaan Allah.
Setelah mengajar di Synagoge (4:23), sekarang Ia pergi ke bukit. Kali ini tidak untuk berdoa seperti biasanya (Mrk. 6:46) tetapi untuk mengajar. Bukit doa-Nya berubah menjadi bukit pengajaran. Ini tentu saja dapat mengingatkan kita kepada gunung Sinai. Sama seperti umat perjanjian mengikuti Musa ke bukit itu untuk mendapatkan hukum Tuhan (dasa titah dalam 2 loh batu), demikian jugalah sekarang keturunan mereka mengikuti Yesus ke bukit ini untuk mendapatkan pengajaran. Sama seperti dasa titah mengatur perjalanan umat perjanjian menuju tanah perjanjian dan bagaimana mereka harus hidup di sana, demikianlah sekarang pengajaran di bukit ini mengatur langkah dan hidup murid-murid-Nya – juga orang percaya sekarang dan nanti - dalam Kerajaan Allah.
Kita juga dapat membandingkan bukit ini dengan gunung Sion. Ke sana orang-orang Israel selalu pergi untuk bertemu Allah dalam Bait-Nya (Bait Allah). Demikian juga sekarang orang banyak itu ‘digiring’ Yesus ke bukit ini untuk bertemu dengan Allah melalui pengajaran-Nya.
Di tempat lain Yesus sering bertemu dengan pendengar yang kritis dan yang secara terencana berusaha menjembak-Nya. Tipe pendengar yang ini selalu berasal dari kelompok terpelajar dalam Hukum Taurat (para rabi, ahli Taurat dan orang-orang Farisi - Mat. 7:28-29; 9:3dst.; 12:24dst.; 15:1; 19:3dst.; 22:35-36: Mrk. 2:6-7; 7:1dst.; 9:14; 15:31; Luk. 5:30dst.; 10:25dst.). Di sini, di bukit ini, Yesus bertemu dengan orang-orang yang rindu dan haus akan pengajaran-Nya, yakni para murid di hadapan orang banyak yang juga ikut mendengarkan (Mat. 7:28-29). Setelah memberitakan Injil Kerajaan Allah (4:23), sekarang Yesus mengajar tentang bagaimana seharusnya hidup dalam kerajaan itu (5:20; 7:13, 21-23) dan apa keuntungannya. Yang kedua ini memiliki dua fungsi: kebahagiaan manusia (5:2;12) dan kemuliaan Allah (5:16). Dengan pengajaran ini Yesus memimpin orang banyak itu meninggalkan para pemimpin agama yang suka mencobai dan mengeritik di Sinagoge kepada para murid yang senang mendengar dan menaati hukum-hukum-Nya (Mat. 5:19-20; 7:24-27). Apakah gereja zaman ini tidak memiliki tipe pendengar yang pertama – yang suka mencobai dan mengeritik? Justru pendengar jenis ini semakin banyak dan lebih berani saat ini. Banyak orang yang terpelajar dalam teologi dengan berbagai gelar dan jabatan semakin terang-terangan menyangkal Alkitab dan Yesus dengan berbagai teori. Di Indonesia pun kelompok pendengar jenis ini sudah semakin banyak.

Sifat Kerajaan Allah: sudah dan belum
Semua ucapan ‘bahagia’ dalam ayat 3-12 terdiri atas dua bagian. Bagian pertama adalah kualifikasi untuk menjadi warga Kerajaan Allah: miskin di dalam roh (ay 3), berdukacita (ay 4), lemah lembut (ay. 5), lapar dan haus akan kebenaran (ay 6), murah hati (ay 7), suci hati (ay 8), membawa damai (ay 9), difitnah dan dianiaya karena kebenaran (ay 10-12). Bagian kedua adalh upah jika kualifikasi itu terpenuhi: empunya Kerajaan Sorga (ay 3), akan dihibur (ay 4), akan memiliki bumi (ay 5), akan dipuaskan (ay 6), akan beroleh kemurahan (ay 7), akan melihat Allah (ay 8), akan disebut anak-anak Allah (ay 9), empunya kerajaan sorga (ay 10), upah besar di sorga (ay 12). Semua ini menjadikan mereka orang-orang yang berbahagia.
Di samping itu, dari segi waktu atau tense, ucapan bahagia yang pertama dan yang kedelapan dalam bentuk waktu sekarang (‘karena merekalah yang empunya... ‘), sedangkan ucapan-ucapan yang diapit keduanya dalam bentuk waktu yang akan datang (‘karena mereka akan ...’).
Meskipun masing-masing kualifikasi memiliki imbalan tersendiri, kedelapan ucapan ini tidak perlu dipandang sebagai kriteria-kriteria rohani yang berdiri sendiri-sendiri sehingga kita dapat memilih mana yang kita sukai atau yang cocok dengan sifat dan sikap kita. Mereka harus dilihat sebagai satu kesatuan yang menunjukkan sifat Kerajaan Allah yang ‘sudah dan belum’.
Karena kita percaya, maka Kerajaan Allah itu telah menjadi milik kita (bdk Yak. 2:5). Kita adalah warga Kerajaan itu (2Tes. 1:5). Tetapi pada saat yang bersamaan masih ada berkat-berkat kerajaan itu yang belum diberikan atau baru berupa ‘uang muka’. Keselamatan memang telah menjadi milik kita tetapi hidup yang kekal masih harus kita tunggu hingga kedatangan Kristus kembali. Kristus memang sudah menang atas Iblis, dosa dan maut. Kematian dan kebangkitan-Nya menandai kemenangan itu, tetapi kemenangan akhir belum tercapai.
Meski demikian, kita tidak perlu ragu karena kebangkitan-Nya adalah jaminan dari kemenangan akhir yang masih harus kita tunggu itu. Di samping itu Roh Kudus adalah jaminan dari semua berkat Kerajaan yang belum kita terima seutuhnya itu (2Kor. 1:22; 5:5; Ef. 1:14; bdk Ibr. 7:22; Mzm. 119:122). Ilustrasi berikut dapat menolong kita memahami sifat Kerajaan Allah yang already dan not yet ini: dalam Perang Dunia II pantai Normandy merupakan penentu kemenangan pasukan sekutu. Para panglima pasukan sekutu menyadari benar bahwa sekali pantai itu dikuasai, maka kehancuran atau kekalahan total pasukan Hitler tidak dapat dicegah lagi. Tetapi kemenangan akhir itu belum terjadi untuk beberapa bulan lamanya meskipun mereka berhasil menguasai pantai itu. Kemenangan baru benar-benar diperoleh setelah membayar harga melalui banyak korban jiwa.
Demikian jugalah kehidupan dalam Kerajaan Allah. Masih ada peperangan rohani. Kemenangan akhir akan memerlukan waktu dan pengorbanan besar dari gereja-Nya. Meskipun Rajanya telah menang dan kita telah memiliki kerajaan itu dan hidup di dalamnya, kita masih tetap mengalami duka cita, celaan, hinaan dan penganiayaan. Tetapi kita tidak perlu tawar hati. Sama seperti Normandi jaminan kemenangan pasukan sekutu atas Hitler, demikianlah kebangkitan Kristus dan Roh Kudus menjadi jaminan kemenangan akhir kita.

Kualifikasi warga Kerajaan Allah
Jika diperhatikan ternyata kualifikasi pewaris atau warga kerajaan yang menang ini bertolak belakang dengan prinsip dan sifat kerajaan-kerajaan dunia ini. Dalam kerajaan duniawi, para pemilik kerajaan adalah mereka yang telah berjasa atau yang memiliki kemampunan lebih di atas yang lain. Jasa dan keunggulan mereka itulah yang menentukan menjadi apa atau siapakah mereka dalam kerajaan itu. Tetapi bagaimana dengan pewaris atau pemilik Kerajaan Allah?
• Miskin dalam roh > mereka yang sadar bahwa mereka memerlukan pertolongan Allah. Secara fisik bisa jadi sehat dan kuat, secara ekonomis mampu bahkan kaya, secara sosial terhormat dll., tetapi untuk mewarisi Kerajaan Sorga mereka sadar bahwa mereka bergantung pada belaskasihan Allah sepenuhnya (bdk Ef. 2:8; 2Kor. 3:5; Rm. 4:16). Orang miskin dalam roh adalah mereka yang telah kehilangan Allah. Secara rohani semua manusia miskin, bahkan pengemis. Ptochos dalam ayat 3 secara harfiah berarti pengemis. Terjemahan Baru dan BIS LAI yang menggantikan frase ‘... dalam roh’ dengan ‘... di hadapan Allah’ dengan gampang mengaburkan makna kata ‘miskin’ yang dipakai secara figuratif di sini, seolah-olah Yesus sedang berbicara tentang kemiskinan sosial atau ekonomis. Orang miskin dapat hidup dari hari ke hari atas sedikit yang ada padanya, tetapi pengemis akan segera mati tanpa belaskasihan orang lain dari hari ke hari. Murid-murid Yesus bukanlah orang miskin, apalagi pengemis, karena mereka sendiri berbicara tentang orang miskin sebagai komunitas di luar mereka dan Yesus pun membenarkan itu (Mat. 26:9, 11). Memang di dalam Gereja tidak terdapat banyak orang yang bijak, orang yang berpengaruh, banyak orang yang terpandang (1Kor. 1:26-28), tetapi mereka bukanlah komunitas pengemis. Maka jelaslah bahwa Yesus tidak sedang berbicara tentang orang-orang yang miskin secara sosial-ekonomis, tetapi secara rohani. Keterpurukan rohani itu begitu dalam hingga bukan kondisi orang miskin padanannya, melainkan pengemis. Setiap orang yang insyaf akan keterpurukan yang demikian akan merasakan adanya kebutuhan akan Yesus. Jika kebutuhan ini terpenuhi, maka Kerajaan Sorga akan menjadi bagian mereka.



• Yang berduka > Inilah mereka yang menyadari kemiskinan mereka di dalam roh atau keterasingan mereka dari Allah karena dosa. Paulus menasihati jemaat di Korintus agar mereka perlu berdukcita karena dosa (1Kor. 5:2; bdk 2Kor. 12:21; Mat. 11:21) sebab dukacita yang demikian dapat membawa mereka kepada pertobatan (2Kor. 7:9). Inilah dukacita yang dikenan Allah, yang patut diupahi dengan penghiburan. Dukacita jenis ini dimiliki semua manusia tetapi hanya sedikit yang merasakannya. Yesus tidak sedang berbicara tentang dukacita karena meninggalnya seseorang yang dikasihi, tetapi dukacita karena kehilangan relasi dengan Allah: dukacita rohani. Yesuslah jembatan kepada pemulihan relasi itu. Setiap orang yang belum memiliki-Nya mestilah berdukacita.



• Yang lemah lembut > ini tidak hanya soal sifat tetapi juga sikap. Warga kerajaan sorga haruslah bersifat dan bersikap lemah lembut dan ramah baik terhadap sesama warga maupun orang lain. Dalam Alkitab, lemah lembut menunjuk pada sifat pemerintahan Yesus (Mat. 11:29; 21:5 bdk Zak. 9:9). Dan Ia mengajar murid-murid-Nya untuk bersikap demikian pula: “… pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu” (Mat. 20:25-26). Dalam 2 Korintus 10:1 Paulus menyebutkan kelemahlembutan sebagai sikap Yesus terhadap manusia selama hidup-Nya di bumi dan menasihati gereja supaya ia pun bersikap demikian terhadap orang lain.
Sama seperti Yesus yang lemah lembut dan ramah dalam pelayanan-Nya, demikian jugalah seharusnya para murid dahulu dan orang percaya atau gereja sekarang - entah pribadi atau kelompok. Kelemahlembutan dan keramahtamaan Yesus tidak bersyarat. Ia tidak bersikap lembah lembut dan ramah serta penuh belaskasihan sebagai balasan dari kelemahlembutan dan keramahantamahan orang terhadap-Nya. Demikian jugalah seharusnya orang percaya saat ini: bersikap lemah lembut, ramah serta penuh belaskasihan kepada siapa saja tanpa syarat. Terlihatkah sifat dan sikap seperti ini dalam gereja Tuhan di abad ini?



• Yang lapar dan haus akan kebenaran > mereka yang sadar akan kebutuhan rohani mereka, yakni bahwa mereka memerlukan Yesus, jika mau menjadi warga kerajaan-Nya dan mengambil bagian dalam semua berkat kerajaan itu. Yesuslah kebenaran itu. Dengan percaya kepada-Nya, kelaparan dan kehausan jiwa terpuaskan (bdk. Yoh. 7:37; Why. 21:6; 22:17). Orang-orang Yahudi merasa bahwa status mereka sebagai keturunan Abraham dapat menolong mereka (bdk Yoh. 8:33), tetapi Yohanes Pembaptis mengajarkan bahwa status orang Yahudi sebagai keturunan Abrahama tidak dapat menolong. Mereka harus bertobat (Mat. 3:7-9). Sama seperti status sebagai keturunan Abraham tidak menolong demikianlah status sebagai orang Kristen, sebab banyak orang Kristen hidup tanpa Kristus. Seorang bapa Gereja yang bernama Agustinus sudah mengatakan itu 1800-an tahun yang lalu: ada banyak serigala di dalam gereja dan ada banyak domba di luar gereja.



• Yang murah hatinya > Yesus murah hati dan Ia meminta agar warga Kerajaannya merefleksikan sifat itu di dunia ini. Ia selalu berbelaskasihan setiap kali melihat orang-orang yang bermasalah dan menolong mereka (Mat. 9:13, 36; 14:14; 15:32; 20:24 dan ayat-ayat paralelnya). Ia mengecam dengan keras ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang mengabaikan belaskasihan: “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan” (Mat. 23:23).



• Yang suci hatinya > mereka yang menjaga hatinya dari segala yang jahat dan yang hidup dalam kekudusan. Hidup dalam Kerajaan Allah, berarti hidup di hadapan dan di bawah pinpinan Allah yang kudus. Itu berarti rakyat-Nya pun haruslah demikian: ‘Kuduslah kamu, sebab Aku kudus’ (1Ptr. 1:16; Im. 11:44-45; 19:2). Tuntutan ini sangat berbeda dengan kebanyakan pemerintahan di dunia ini termasuk Indonesia: pemerintah korup tetapi rakyatnya dituntut ‘bersih’. Lebih parah lagi pemimpin-pemimpin gereja tertentu hidup dalam kecemaran, tetapi berkhotbah setiap minggu tentang kekudusan. Ahli-ahli Taurat dan orang-orang farisi kelihatan suci dan kudus dari luar, tetapi hati mereka adalah gudang kemunafikan dan kebohongan (Mat. 23 dan 28). Apakah gereja zaman ini berbeda dengan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi zaman Yesus? Yesus mengajar orang Israel bahwa kesuciaan sesungguhnya bersumber dari hati (bdk. Mat. 15:17-20). Itu tidak berarti bahwa kesucian lahiriah tidak penting, tetapi bahwa tanpa kesucian hati kesuciaan lahiriah hanyalah kemufikan.



• Membawa damai > Yesus tidak sedang berbicara tentang perantara dua pihak yang sedang berseteru, tetapi tentang mereka yang tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Seorang perantara dapat mendamaikan pihak-pihak yang diantarainya, tetapi ia sendiri belum tentu bisa berdamai dengan orang-orang yang menyakitinya. Seorang pembawa damai adalah dia yang melakukan apa yang baik bagi semua orang, selalu mengampuni dan mengalahkan kejahatan dengan kebaikan (Rm. 12:17-21). Dasar dari sikap damai ini adalah Allah yang mau berdamai dengan manusia yang memberontak terhadap kekuasaan dan kemuliaan-Nya (Kol. 1:20-22). Inkarnasi Yesus, imanuel, membuktikan bagaimana Allah mau berdamai dengan manusia yang memusihi-Nya melalui dosa-dosa mereka. Siapa yang mau menjadi warga Kerajaan dari Raja yang suka damai ini, ia pun harus suka damai. Tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan (5:38-42).



• Yang dianiaya, dicela dan difitnah karena kebenaran > mereka yang tidak mau berkompromi dengan dan yang tidak takut terhadap dunia tetapi yang berani menjadi saksi Kristus. Jika diperhatikan, sasaran pembicaraan Yesus dalam ayat 3-10 bersifat abstrak (umum): ‘… orang yang …’, sedangkan dalam ayat 11 (dan 12) bersifat khusus: ‘berbahagialah kamu, jika karena Aku ...’: murid-murid dan Yesus (bdk ay 1-2). Semua pembicaraan sebelumnya mengerucut di sini. Puncak dari kerucut itu ialah kebenaran (ay 10) yakni Yesus (ay 12).
Dalam ayat 3-10 Yesus berbicara tentang kondisi ideal, yakni bahwa siapa yang mau menjadi warga Kerajaan Allah ia harus menyadari keterhilangannya di hadapan Allah dan berduka karenanya, bersifat dan bersikap lemah lembut dan murah hati, merasa membutuhkan Yesus, memiliki kesucian hati dan mencintai kedamaian. Tetapi dalam ayat 11-12 disebutkan kondisi riel yang akan dihadapi para rasul. Setelah menjadi warga Kerajaan Allah dengan kualifikasi-kualifikasi seperti di atas, mereka akan menjadi musuh dunia ini: dicela, difitnah dan dianiaya bahkan dibunuh. Yesus dicela, difitnah dan dianiaya sampai mati. Demikian jugalah para murid dahulu dan orang percaya sekarang dan nanti (Yoh. 5:20).
Tetapi mengapa Yesus, sang Raja, menempatkan murid-murid dan gereja-Nya sekarang dalam kondisi sulit seperti itu? Apakah Dia tidak senang melihat kita hidup dalam ketenangan dan kedamaian? Mengapa Dia mengizinkan kita masuk dalam situasi yang tidak menyenangkan seperti itu? Jawabannya adalah karena Dia yang berdaulat, telah memanggil dan menempatkan kita di dunia ini dengan tugas tertentu: menggarami dan menyinari.
Penganiayaan karena Yesus tidak perlu membuat para rasul berdukacita dan mengeluh karena para nabi yang mendahului mereka pun telah mengalami penganiayaan itu, bahkan orang-orang yang akan percaya karena pemberitaan mereka akan mendapat bagian dalam penderitaan itu.
Peralihan ‘kependudukan’ dari kerajaan-kerajaan dunia ke Kerajaan Allah, telah menjadikan kita musuh dunia ini. Seorang musuh tidak akan dibiarkan hidup dalam ketenangan. Demikianlah dunia tidak akan membiarkan kita hidup dalam ketenangan. Bahkan Allah sendiri yang menempatkan permusuhan itu (Kej. 3:15) dan Dia pulalah yang akan menolong kita untuk menang.
Penderitaan ini akan hilang, kalau seluruh dunia telah menjadi sahabat Allah, tetapi itu tidak mungkin. Jadi bagaimana? Berduka dan meninggalkan kewarganegaraan kita? TIDAK!
Yesus berkata dalam Yohanis 15:20 bahwa dalam hal penganiayaan, seorang hamba tidak akan lebih dari tuannya. Dunia telah menganiaya Sang Tuan, Yakni Yesus, dan karena itu kita pun akan dianiaya. Tetapi ingatlah: aniaya yang kita alami tidak sebanding yang dialami Yesus, Tuhan dan Tuan kita.
Dalam suratnya kepada jemaat Kristus di perantaun, rasul Petrus menasihatkan agara mereka perlu berbahagia karena Kristus. Daripada menderita sebagai pencuri atau pembunuh atau penjahat atau pengacau, lebih baik menderita sebagai pengikut Kristus (1Ptr. 4:14-16). Dari pada dipenjarakan karena korupsi, pungli, pemerkosaan, penipuan, obat-obat terlarang, perselingkuhan, dll., lebih baik masuk bui lantaran menjadi saksi Kristus. Setiap orang yang makan pasti kenyang, yang minum pasti kehilangan rasa haus, yang mandi pasti basah, yang tidak buta pasti bisa melihat; demikianlah setiap pengikut Kristus, warga Kerajaan Allah pasti mengalami celaan, fitnahan, penganiayaan karena Kristus. Kita beroleh anugerah tidak hanya untuk percaya tetapi juga untuk menderita karena Kristus (dan pemberitaan Injil): “Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia (Flp. 1:29).
Kewajiban warga kerajaan Allah: menggarami dan menerangi.
TB-LAI memisahkan ayat 1-12 dari ayat 13-16. Pemisahan ini – kemungkinan – didasarkan atas absennya kata ‘berbahagialah’ dalam keempat ayat ini. Pemisahan yang demikian kurang tepat.
Yesus mengajar murid-murid dan orang banyak tentang natur kehidupan dalam kerajaan Allah, yakni kehidupan yang berkebahagiaan karena kulifikasi atau syarat seperti terdapat dalam ayat 3-12.
Peranan murid-murid dalam mempraksiskan kualifikasi atau natur itu sangat penting dan menentukan. Untuk menolong mereka memahami pentingnya peran itu, Yesus memakai ilustrasi garam dan terang, dua unsur yang sangat penting dan dibutuhkan manusia (5:13-14). Dengan memperlihatkan hidup yang diupahi kebahagiaan (5:3-12), mereka‘menggarami’ dan ‘menerangi’ dunia.
Para rasul dan orang banyak - jika mereka pun percaya seperti para rasul - adalah garam. Ketidaktawaran, ketidakhambaran dan ketidakbusukan dunia ini bergantung pada mereka. Jika mereka tidak dapat menolong dunia ini untuk mengenal atau merasakan kemiskinan rohani mereka, duka karena keterhilangan mereka di hadapan Allah, kelaparan dan kehausan akan Yesus Kristus sang kebenaran, maka mereka telah menjadi garam yang kehilangan keasinannya. Garam yang demikian akan dibuang. Yohanis Pembaptis sudah mengatakannya: ‘...setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api’ (Mat. 3:7-10; bdk Yoh. 15:2).
Di samping itu mereka juga adalah terang. Menjadi terang berarti memperlihatkan kebaikan: lemah lembut, murah hati, suci hati dan membawa damai. Perbuatan-perbuatan yang demikian akan menarik perhatian orang, tidak kepada murid-murid dan orang banyak per se, tetapi kepada Allah. Melalui kebaikan-kebaikan ini, para rasul dan orang banyak merefleksikan kehadiran Allah bagi mereka yang miskin dalam roh, penghiburan Allah bagi mereka yang berdukacita, serta kepuasan dari Allah bagi mereka yang lapar dan haus akan kebenaran.
Dengan begitu mereka memuliakan Allah, sebab untuk itulah mereka dipanggil (bdk. Yoh. 15:8; Yes. 61:3; 2Kor. 9:13; Flp. 1:11). Itulah sebabnya mengapa pemisahan 5:1-12 dari 13-16 dianggap kurang tepat.
Kualitas para rasul tidak ditentukan oleh seberapa banyak mereka berteori dalam berkhotbah, mengajar, mengkonseling dan memimpin (5:20; bdk. Rm. 10:3) melainkan oleh seberapa banyak mereka membuahkan ajaran iman itu dalam praktik (7:21; Luk. 6:46; Rm. 2:13; Yak. 1:22; Hos. 8:1-2; Yoh. 15:16). Demikian jugalah kita – orang percaya – saat ini.
Apakah dengan menjadi ‘terang’ dunia, orang-orang percaya (gereja) telah menggantikan Yesus yang adalah terang dunia (Yoh. 8:12; 9:5)? TIDAK! Orang percaya adalah ‘kabel’ yang melaluinya ‘terang yang sesungguhnya’ itu berjalan dari kehidupan orang percaya kepada dunia ini. Sama seperti kabel yang sudah tidak berfungsi dibuang, demikian jugalah orang Kristen yang tidak berfungsi. Dosa dan kejahatan telah menggelapan dan menghambarkan atau bahkan membusukkan dunia milik Allah. Yesus telah memberikan tanggungjawab penerangan dan pengawetan itu kepada gerja-Nya. Adakah seorang ayah yang meluputkan hukuman dari anaknya yang tidak bertanggung jawab? Adakah seorang pimpinan yang membiarkan bawahannya dari disiplin manakala ia melalaikan kewajibannya? TIDAK! Demikian jugalah Allah. Ia tidak akan meluputkan gereja yang mengabaikan tugas ‘penggaraman’ dan ‘penerangan’ ini dari hukuman. Kedua tugas ini disimpulkannya dalam apa yang selalu kita sebut Amanat Agung.

Book Review

The Sources of the Self : The Making of the Modern Identity
Penulis : Charles Taylor
Tebal : 521 halaman (tidak termasuk halaman pengantar , end notes dan indeks)
Penerbit : Cambridge: Harvard University Press, 1989


Charles Taylor telah bekerja selama bertahun-tahun sebagai profesor filsafat moral di Oxford, kemudian menjadi guru besar ilmu politik dan filsafat di Universitas McGill. Ia telah menulis banyak artikel dan buku. Pada tahun 2007 ia memenangkan Templeton Prize
Bukunya ini, The Source of the Self, terdiri atas 5 bagian dan 25 pasal. Intinya ada pada bagian 2-5. Sesuai dengan pengakuan Taylor, buku ini ditulis dengan tujuan untuk: 1) mengartikulasikan dan memaparkan sejarah identitas modern, 2) menunjukkan how the ideals and interdicts of this identity shape our philosophical thought, our epistemology and our philosophy of language; 3) menyediakan titik berangkat bagi pemahaman baru tentang identitas modern. Menurut Taylor, identitas modern terdiri atas tiga fase: modern inwardness, affirmation of ordinary life, dan expressivist notion of nature as an inner moral source. Tahapan-tahapan ini dibahasnya dalam bab ii – iv. Kemudian di dalam bagian yang ke- 5 ia berbicara mengenai peranan bahasa dalam kebudayaan modern.

Sumber pertama dari moralitas manusia modern, yaitu inwardness. Taylor memulainya dari Plato kemudian Agustinus, Descartes lalu Locke. Meskipun tokoh-tokoh ini dianggap oleh Taylor memiliki konsepsi yang sama mengenai sumber moral yang pertama ini, toh mereka memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Taylor juga menempatkan Montaigne dalam ‘barisan’ ini, bukan karena pemikiran Montaigne berakar di dalam pemikiran keempat tokoh di atas, melainkan karena aksennya terhadap prinsip inwardness atau internalization.

Faktor penting yang berhubungan dengan sumber moral modern yang pertama ini adalah perbedaan atau klasifikasi konsepsi ‘in side-outside’ atau ‘inner-outer’ dalam upaya memahami sumber-sumber moral modern. Menurutnya, pengertian kita tentang pribadi, the self, berhubungan dengan atau terbentuk dari a certain sense of inwardness. Pertentangan ‘in side-outside’ memainkan peran yang penting di sini. Pikiran, gagasan, perasaan dan kemampuan dianggap berada ‘di dalam’ kita, sedangkan objek interaksi mereka di dalam dunia dipandang sebagai berada ‘tanpa’ atau ‘di luar’ kita. Singkatnya Taylor memulai bagian ini dengan moral topografi. Menurutnya orang-orang modern melokalisasikan pribadi mereka, the self, ‘di dalam’ diri sendiri bertengan dengan dunia ‘di luar’ mereka. Bahkan kesadaran moral pun bersumber di dalam diri sendiri. Untuk memperjelas pengamatannya ini, ia membahas konsepsi penguasaan diri dari Plato. Menguasai diri berarti, menurut Plato, dikuasai oleh rasio. Rasio adalah sumber moral. Seseorang menjadi baik ketika rasionya ‘memerintah’, tetapi ia akan menjadi buruk jika ‘dinahkodai’ oleh perasaannya. Ketika manusia diperintah oleh rasionya, maka ada keteraturan di dalam jiwa, ada ketenangan, kedamaian, kepuasan dan ada penguasaan diri. Sebaliknya, ketika seseorang diperintah oleh perasaannya, maka yang ada adalah ketidakteraturan, chaos, kekacauan, ketidakpuasan dan kurangnya penguasaan diri. Dengan kata lain, rasio adalah kemampuan, power, untuk melihat sesuatu secara benar dan syarat bagi penguasaan diri. Menjadi rasional berarti, menurut Plato, menjadi penguasa atas diri sendiri. Di dalam pengamatan Taylor, the self mastery Plato masih tetap berlaku bagi manusia modern saat ini.
Dari paparan pendek ini jelas bahwa dalam pengajaran Plato ada dualisme sumber-sumber moral, yaitu rasio vs perasaan, jiwa vs badan, material vs imaterial, abadi vs semestara.
Dari Plato, Taylor kemudian beralih kepada Agustinus: interiore homine. Menurut Taylor Agustinus tidak bebas dari pengaruh Plato. Agustinus berdiri di antara Plato dan Descartes. Pertentangan antara keingingan daging dan keinginan roh dalam kekristenan, bagi Taylor, merupakan perkembangan dari dualisme Plato (pertentangan antara materi dan non materi). Ide tentang the Good dalam filsafat Plato menjadi God dalam teologi Agustinus. Penciptaan ex nihilo dikawinkan dengan pengajaran Plato mengenai partisipasi. Ontologi Plato menjadi ontologi Agustinus. Akibatnya a.l.: 1) Segala sesuatu seperti Allah. Hal ini terjadi melalui partisipasi atau keserupaan dengan Allah. Tetapi yang betul-betul serupa dengan Allah, menurut Agustinus, hanyalah The Word of God, Yesus Kristus. 2) alam semesta adalah realisasi eksternal dari sebuah tatantan rasional. 3) Segala yang ada itu baik, segala sesuatu dikerjakan untuk the good. Di sinilah terjadi ‘pertunangan’ antara theisme Yahudi dan filsafat Yunani. Yang lebih menarik lagi adalah bahwa menurut Taylor, pengajaran Agustinus tentang Allah sebagai sumber pengetahuan berasal dari filsafat Plato mengenai matahari sebagai sumber terang.
Meskipun dalam tulisan Taylor kelihatan ada kesamaan filsafat plato dan teologi Agustinus (seperti di atas), tetap ada perbedaan, a.l.: 1) bagi Plato, perhatian dan cinta yang menentukan arah seseorang; menurut Agustinus bukan perhatian melainkan cinta satu-satunya faktor penentu. 2) Plato membedakan manusia dalam kategori ‘higher/lower’, spirit/matter’ sedangkan Agustinus ‘inner/outer’; 3) bagi Plato, prinsip tertinggi dapat diketahui dengan jalan kembali kepada the domain objects which it organizes, namun menurut Agustinus, rute utama kita kepada Allah bukanlah kembali melainkan masuk ke dalam diri sendiri, inwardness, the care for ourselves. Dengan kata lain, cara mengetahui bagi Plato adalah toward sedangkan bagi Agustinus inward. Kembali kepada Allah berarti masuk ke dalam diri sendri. Maka tidak mengherankan bahwa tekanan Agustinus dalan hal mengenal Allah terletak pada the radical reflexivity, the importance of cogito, dan the proof of God’s existence from ‘within’.
Descartes, demikian Taylor, mengikuti jejak Agustinus sebab ia juga mengajarkan radical reflexivity, pentingnya rasio dan pembuktian keberadaan Allah dari dalam, from within. Tetapi Descartes membuat perubahan: sumber moral itu ada dalam diri kita. Manusia adalah sumber moral, bukan sesuatu yang berada di luar: the Idea of Good (Plato) atau God (Agustinus). Bagi Agustinus, ‘masuk ke dalam’ berarti bergerak ke atas: kepada Allah, sedangkan menurut Descartes ‘masuk ke dalam’ berarti mendapatkan kepastian bahwa kita ini self-sufficient. Dengan gagasan seperti ini jalan kepada deisme menjadi terbuka. Konsepsi inwardness diberi muatan baru yakni the inwardness of self-sufficiency, of autonomous powers of ordering by reason. Menurut Taylor, ketidakpercayaan orang-orang modern berakar di sini.
Beda dengan Agustinus dan Descartes, yang oleh Taylor dianggap mengikuti Plato, John Locke justru menolak ajaran tentang the innate ideas. Locke mengusulkan otonomi rasio. Rasio harus bebas dari prinsip-prinsip innate apapun. Dalam hal ini Locke mengikuti Baconian. Ia menolak faham teleologis tentang manusia, pengetahuan dan moralitas. Pikiran manusia pada mulanya (waktu lahir) tidak beda dengan kertas kosong, tabula rasa. Artinya bahwa semua pengetahuan kita terkonstruksi di dalam pikiran melalui suatu proses komposisi dan dekomposisi yang konstan terhadap input yang kita terimana melalui sense kita. Tidak ada relasi ontis antara the good dan kita. Ada disengagement antara pengetahuan yang kita miliki dan kita sendiri. Lalu siapakah Allah bagi Locke? Menurut Taylor, Allah bagi Locke adalah pemberi hukum alam. Hukum alam ini sebenarnya diperuntukkan bagi kebahagiaan manusia. Baik suka maupun duka adalah berkat dan hukuman dari Allah. Hukum Allahlah sumber moral. Mengaga? Karena hukum ini diberikan oleh Dia yang sanggup mendatangkan sakit bagi mereka yang tidak taat. Di samping keempat tokoh di atas, Taylor juga meneliti sumber moral modern dari pemikiran seorang humanis berkebangsaan Francis, Michel de Montaigne (1533-1592): self-exploring atau self-examining.
Kita telah melihat peta penyebaran pemikiran tentang sumber moral modern yang pertama: ‘internalization’ dari Plato (self-master) > Agustinus (inwardness/interiore homine) > Desecartes (disengaged reason) > Locke (disengagement). Self-examining dari Montaigne dapat digolongkan ke dalam radikal refleksi dari Agustinus dan Descartes. Namun penekanan Montaigne terletak pada ‘aku’, bukan pada pengamatan terhadap objek di luar diri kita. Menurutnya self-exploring atau self-examining berarti pengeksplorasian dari siapa kita dalam rangka membangun indentitas kita, sebab pada dasarnya kita belum tahu siapa kita.
Secara ringkas boleh disimpulkan, menurut Taylor, bahwa sejak Plato hingga Montaigne ada tiga ciri pada moralitas modern: 1) lokalisasi: isi dan sifat dari sesuatu ditempatkan di dalam sesuatu itu sendiri; 2) ide yang baru mengenai ketidakbergantungan individual: semua subjek adalah makhuk yang independen; 3) kemampuan berkarya, poetic powers: manusia mampu menciptakan keteraturan.

Lalu sumber moral kedua: the affirmation of ordinary life. Pasal 13 dikhususkan untuk topik ini. Kemudian di dalam pasal 14 ia membahas fusi dari the ethic of ordinary life, the philosophy of disengaged freedom dan rasionalitas dalam permulaan abad ke-18. Deisme Locke disinggung juga di sini. Sesudah itu dalam pasal 15-17 Taylor berbicara mengenai sentimen-sentimen moral dari Shaftesbury dan pengikutnya, Hutcheson.
Apa sebenarnya ordinary life itu? Ordinary life menunjuk kepada proses produksi, reproduksi dan keluarga, misalnya pekerjaan, pembuatan kebutuhan manusia dan kehidupan manusia sebagai makluk seksual termasuk pernikahan dan keluarga. Lalu dimanakah akar etika kehidupan sehari-hari? Taylor mengemukan dua sumber: 1) sercara tradisional ditemukan dalam spritualitas Yudais-Kristen dan 2) pada abad modern dari ajaran Reformasi (Calvinisme dan secara khusus Puritasnisme). Pemahaman kaum Puritan tentang kekudusan hidup berakibat pada pemahaman tentang pernikahan. Pernikahan mendapat makna spiritual: menikah tidak untuk kepentingan pernikahan itu sendiri melainkan untuk melayani Allah. Dengan kata lain pernikahan adalah pelayanan, menikan berarti melayani Allah.
Fusi antara etika kehidupan sehari-hari, filsafat kebebasan yang tak terbatas dan rasionalitas menghasilkan beberapa hal, menurut Taylor, a.l.: 1) dalam tahap-tahap permulaan masih ada pemahaman teologis terhadap kehidupan sehari-hari, 2) namun menjelang akhir abad ke- 18 terjadi pergeseran disertai munculnya naturalisme (kadang-kandang anti agama).

Sumber moral modern yang ketiga: alam. Ini dibicarakan dalam bagain 4. Deisme Pencerahan dan naturalisme, misalnya teori otonomi dari Kant dan Romantisisme dikritiki oleh Taylor di sini. Pandangan Enlightenment yang standar dianggap hanya berdimensi tunggal. Apa yang membuat hidup memimiliki signifikansi tidak kelihatan di sini. Melihat kenyataan ini, muncul dua reaksi. Di satu sisi Kant tampil dengan ajarannya mengenai otonomi radikal dari manusia sebagai agen rasional. Kehidupan yang hanya terisi dengan desire-fulfilment tidak hanya dangkal tetapi juga heterogen. Kita membutuhkan kebebasan untuk memanifestasikan diri kita. Kehidupan yang paling signifikan adalah kehidupan yang kita pilih sendiri. Di sisi lain, kaum expresivist (romantisme) muncul sebagai oposan dengan ajaran bahwa alam tidak semata-mata sebagai objek analisis tetapi juga sembagai sumber moral. Bukan hanya manusia, melainkan juga alam adalah ‘sumur’ moral. Taylor menganggap ada dua macam Aufklärer, Pencerahan, yaitu standar dan radikal. Di dalam yang pertama kehadiran Allah dan pemeliharaan-Nya masih diakui. Di dalam yang kedua ide tentang adanya suatu kekuatan yang memelihara sama sekali tidak ada tempatnya. Etika murni didasarkan pada asas manfaat. Filsafat hedonistic Locke bersama dengan teori tabula rasanya ‘mengenakan’ bentuk yang lebih radikal di sini. Pembicaraan tentang etika tidak perlu dimulai dengan rujukan tertentu kepada hukum alam, hukum rasio, penalan yang benar, kebenaran alamiah, aturan yang baik, dll. Sebaliknya, diskusi tentang etika harus dimulai dari fakta bahwa manusia menginginkan kebahagiaan dan mengaharapkan ketiadaan penderitaan. Jadi sebenarnya isu utama soal etika adalah memaksimalkan kebahagiaan.

Evaluasi:
Kesan saya ketika melihat buku ini adalah bahwa ini pasti sebuah buku yang baik, dan memang benar demikian. Meskipun begitu buku ini tidak terlalu gampang dibaca, terutama oleh pembaca yang masing asing di bidang filsafat. Di samping itu, sulit juga untuk menemukan inti pembicaraan dengan cepat lantaran sama sekali tidak ada sub-sub judul.
Sumber-sumber moral, seperti disebutkan dia atas, memberikan pemahaman mengenai bagaimana budaya dan moralitas tertentu muncul atau terbentuk. Jika diperhatikan dengan baik, maka ketiga sumber moral itu sebenarnya berasal dari dua sumber yang berbeda: paganism dan religions (Yudais-Kristen dan Islam). Kedua-duanya telah dikembangkan oleh pemikir-pemikir besar baik secara filofis maupun teologis. Dari tulisan Taylor menjadi jelas mengapa manusia, sejak Renaissance mulai bertanya secara radikal siapa mereka dan siapa Tuhan. Pergumulan terhadap pertanyaan inilah yang telah melahirkan Pencerahan dan Romantisme, di mana kebanyakan orang Eropa mulai menyatakan good bye kepada Allah. Pertanyaan saya, yang tidak saya temukan jawabannya dalam buku Taylor adalah: mengapa usaha membelakangi Allah ini baru muncul beberapa saat setelah Reformasi? Mengapa tidak pada Abad Pertengahan? Di samping itu, kesimpulan Taylor tentang ajaran Agustinus mengenai Allah sebagai sumber terang yang dianggapnya berasal atau modifikasi dari filsafat Plato, tidaklah terlalu beralasan.
Peralihan kesadaran diri manusia modern kepada diri sendiri dibarengi dengan penolakan terhadap tatanan objektif dari rasio telah membawa manusia modern kepada subjektivisme dan nihilisme. Kritikan bahwa bahwa tantanan moderen tidak memiliki nilai moral yang baik ditolak oleh Taylor. Menurutnya pemahaman modern tentang the self menyediakan kerangka acuan yang lengkap mengenai substansi pemahaman tentang rasionalitas. Subjetivitas modern, menurut Taylor, baik secara epistemologis, aestetis, politis, maupun sosial berakar di dalam pemahaman tentang the human good. Jika Taylor benar, tidaklah heran bahwa sejak Renaissance, manusia mulai membelakangi Allah dan perintah-perintah-Nya.


Rekomendasi:
Buku cocok dibaca oleh mahasiswa teologi dan filsafat pada tingkat magister dan dosen-dosen kedua bidang ilmu ini. Bagi mahasiswa teologi dan filsafat strata satu, buku ini masih terlalu sulit. Membacanya hanya akan membuang-buang waktu. Tingkat kesulitan bahasa dan isi masih jauh di atas kemampuan mahasiswa tingkat ini. Bagi yang bukan mahasiswa dan dosen teologi dan filsafat buku ini tidak terlalu bermanfaat.