Selasa, 27 Januari 2015

ALKITAB BERBICARA PAJAK

Studi Ekspositoris



I.       Pendahuluan.
‘Pajak’ adalah kata yang pelaksanaannya sangat ditekankan dan disukai di satu pihak, tetapi tidak diminati dan dihindari di pihak lain. Pihak pertama adalah pemerintah sebagai penerima dan pengguna. Pihak kedua - yang tidak suka dan cenderung menghindar - adalah pembayar atau wajib pajak. Berbagai peraturan perundang-undangan diterbitkan untuk mengatur dan mengamankan penerimaan dan penggunaan pajak. Pada saat yang sama, para wajib pajak berusaha sebisa mungkin menghindari pembayaran pajak dengan berbagai alasan. Tidak jarang, orang-orang Kristen pun masuk dalam kelompok ini. Padahal, membayar pajak adalah kewajiban seorang warga Negara. 

Apakah Alkitab berbicara tentang pajak? Jika ada, seperti apa? Bukankah orang Kristen adalah pengembara di Bumi? Untuk apa membayar pajak? Pertanyaan-pertanyaan ini akan kita jawab berdasarkan eksposisi teks-teks Alkitab yang berbicara mengenai pajak di bawah ini. Kita akan mulai dengan melihat sejarah perpajakan dalam dunia di sekitar Perjanjian Lama. Lalu akan dilanjutkan dengan ajaran PL dan BP tentang pajak dan potensi kerusakan atau kehancuran yang dapat disebabkan oleh pajak merurut Alkitab. Terakhir, kesimpulan.  

II.    Pajak dalam Dunia Timur Dekat Kuno.
Pajak bukanlah produk modern. Pajak – atau yang dalam terminologi lama disebut upeti – sudah dikenal dalam Dunia Timur Dekat Kuno (Ancient Near East), yakni dalam dunia bangsa-bangsa Sem purba.  

Pembayaran pajak pada masa ini biasanya terjadi di antara Negara penjajah dengan jajahannya atau di antara Negara sahabat secara tahunan. Negara yang ditaklukkan selalu berkewajiban membayar pajak kepada penakluknya.  Tujuannya a.l.: untuk semakin memperlemah dan mempermiskin Negara taklukan, meningkatkan pendapatan Negara penakluk dan memperoleh bahan keperluan yang persediaannya terbatas dalam negeri sendiri. 

Jika lalai membayar, maka kelalaian itu dapat dipandang sebagai indikasi pembangkangan atau perberontakan, dan dapat diganjar dengan serangan militer. 
Kemungkinan Kejadian 14 dapat dimengerti dalam terang informasi perpajakan dalam Dunia Timur Dekat Kuno ini. Perikop pertama pasal ini menceritakan pemberontakan raja Sodom dan sekutunya yang telah duabelas tahun lamanya berada di bawah jajahan Kedorlaomer, raja Elam.  Ketika Abraham berhasil mengalahkan Kedorlaomer, raja Sodom menawarkan harta benda. Abraham memang menolaknya. Tetapi kemungkinan tawaran ini dapat dipandang sebagai upeti.

III. Pajak dalam Alkitab

            A.    Perjanjian Lama
                                      
1)      Oleh Negara jajahan kepada penjajah
Dalam Perjanjian Lama kita menjumpai istilah pajak atau upeti cukup sering. Upeti/pajak dibayar kepada raja penakluk. Demikianlah misalnya orang Moab membayar upeti kepada Daud: “Dan ia memukul kalah orang Moab, lalu sambil menyuruh mereka berbaring di tanah ia mengukur tempat mereka dengan tali; diukurnya dua kali panjang tali itu untuk mematikan dan satu tali penuh untuk membiarkan hidup. Maka orang Moab takluk kepada Daud dan harus mempersembahkan upeti” (2Sam. 8:2). Demikian jugalah dalam doa Salomo untuk kejayaan kerajaannya, ia meminta agar kekuasaannya melampaui batas wilayah Israel dengan konsekuensi ekonomis: raja-raja dari Tarsis dan pulau-pulau membawa upeti kepadanya (Mzm. 72:8-10).  Doa ini terbukti dalam pemerintahan Salomo. Ia berkuasa hingga ke Mesir: “Maka Salomo berkuasa atas segala kerajaan mulai dari sungai Efrat sampai negeri orang Filistin dan sampai ke tapal batas Mesir. Mereka menyampaikan upeti dan tetap takluk kepada Salomo seumur hidupnya” (1Raj. 4:21. Lih. juga ay 24-25). Bahkan dalam 1 Raja-raja 4:34 disebutkan bahwa Salomo mendapat upeti dari semua raja di bumi. Tetapi – pada suatu saat - ketika Israel takluk kepada raja Moab, mereka pun diwajibkan membayar pajak kepada Moab (Hak. 3:15-18).

Jelas terlihat di sini bahwa pajak/upeti adalah kewajiban dari Negara jajahan kepada penjajah. Tujuannya antara lain menambah kekayaan dan kejayaan di satu sisi, dan di sisi lain memperlemah dan memiskinkan. 

2)      Oleh warga Negara sendiri.
Di samping sebagai kewajiban Negara terjajah, pajak juga adalah kewajiban setiap warga Negara. Ketika orang Israel menghendaki seorang raja (+ 1100 sM), Samuel menyampaikan bahwa jika mereka dipimpin oleh seorang raja manusia (bukan langsung oleh Tuhan), maka mereka akan dikenakan tagihan 10% dari hasil gandum dan anggur mereka demi kesejahteraan raja. Tagihan ini dapat dimengerti sebagai pajak atau upeti (1Sam. 8:15). 

Pada masa pemerintahan Yoas, ia meminta mengumpulkan pajak dari semua penduduk Israel. Tujuannya adalah untuk memperbaiki rumah Tuhan yang telah dirusak oleh anak-anak Atalya (1Taw. 24:1-13).

Perintah penagihan pajak dari rakyat ini didasarkan atas ketentuan pajak yang diperintahkan Allah melalui Musa dalam Keluaran 30:11-16.  Perikop ini bercerita tentang pendaftaran orang Israel. Tidak ada kata pajak atau upeti dalam ayat-ayat ini. Yang ada adalah uang pendamaian, yang disebut juga dengan persembahan khusus. Uang ini harus dibayar oleh semua orang Israel sebagai tebusan ganti nyawa mereka. Raja Yoas memahami pembayaran uang ini sebagai pajak.

3)      Untuk TUHAN
Upeti tidak hanya menjadi hak penakluk, tetapi juga menjadi hak Tuhan. Ketika bangsa Israel mengalahkan orang Midian di bawah pimpinan Musa, TUHAN memerintahkan supaya para prajurit yang keluar berperang memberikan upeti dari hasil jarahan mereka kepada TUHAN. Di dalam jarahan itu ada bagian TUHAN. Bagian itu disebut upeti (Bil. 31: 28-29, 37-40).

            B.     Perjanjian Baru
Tidak sesering Perjanjian Lama, pokok tentang pajak dalam Perjanjian Baru hanya muncul dalam kitab-kitab Injil dan surat Paulus kepada jemaat di Roma. Meskipun demikian, ketidakseringan ini tidak mengurangi pentingnya perhatian terhadap pajak dalam PB. 

1)      Kitab-kitab Injil
Ada 5 tempat atau fasal dalam kitab-kitab Injil di mana pokok tentang pajak dibicarakan (Mat. 17, 22, Mrk. 12; Luk. 20, 23). Matius 17 memuat cerita mengenai kewajiban membayar bea bait Allah. Lukas 23 memuat cerita tentang tuduhan palsu ketika Yesus diadili. Sementara Matius 22, Markus 12 dan Lukas 20 merupakan perikop paralel. Perikop-perikop ini memuat cerita mengenai orang-orang suruhan Sanhedrin, yakni beberapa orang Farisi dan Herodian, untuk menjebak Yesus dengan mencari tahu pandangan-Nya tentang pembayaran pajak. 

Utusan-utusan jebakan ini menghampiri Yesus dengan kalimat yang indah: “Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur, dan Engkau tidak takut kepada siapa pun juga, sebab Engkau tidak mencari muka, melainkan dengan jujur mengajar jalan Allah dengan segala kejujuran.” Ini kalimat yang mengindikasikan kekaguman. Sayang, hanya jebakan. Motif menjebak dibungkus rapi dengan kalimat yang mengandung nilai moral tinggi. Lain di hati, lain di mulut!

Merasa Yesus mungkin telah termakan pujian hiasan bibir ini, mereka lalu mengajukan pertanyaan: “Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak? Haruskah kami bayar atau tidak?" (Mrk 12:14).  

Di satu sisi, orang-orang Yahudi adalah jajahan Romawi, maka membayar pajak kepada kekaisaran adalah kebijakan penjajah yang harus ditaati. Tidak membayarnya sama dengan pemberontakan.  Padahal orang-orang Yahudi merasa tidak patut membayar pajak kepada pemerintahan kafir. Namun mereka tidak memiliki keberanian untuk berterus terang.

Di sisi lain, orang-orang Yahudi pun sedang giat-giatnya mencari cela untuk membunuh Yesus. Dan mereka melihat kewajiban pajak yang tidak patut kepada pemerintahan kafir ini, dapat menjadi alasan untuk membunuh Yesus dengan meminjan tangan pemerintahan Ramawi. Mereka melihat bahwa Yesus berani, jujur dan tidak takut siapa pun. Sifat-sifat-Nya ini dapat dimanfaatkan untuk menjebak-Nya. Sebab jika Dia menyatakan mereka tidak harus membayar pajak, itu dapat dijadikan tuduhan bahwa Yesus mengajarkan pemberontakan terhadap kaisar (bdk. Luk 23:2).    

Ternyata Yesus tahu kemunafikan mereka. Ia tidak terlena oleh pujian mereka. Pujian kekaguman itu adalah jaring jebakan!  Mereka sedang mencobai Dia (Mrk. 12:15). Ia kemudian meminta uang 1 dinar – yang adalah upah kerja 1 hari pada zaman itu. Berdasarkan gambar dan tulisan yang tertera pada uang itu, Ia mengajar para penjebak itu untuk memberikan kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah. Dengan kata lain, Yesus menyuruh mereka memberikan dinar itu kepada kaisar sebab uang itu memiliki gambar dan tulisan kaisar. Gambar dan tulisan kaisar adalah lambang kepemilikan atau hak.

Jawaban Yesus mengajarkan 4 hal:
1) Yesus bukan milik kaisar, sebab padanya tidak tertera gambar dan tulisan kaisar. Sebaliknya, Ia adalah milik Allah karena Dia adalah gambar dan tulisan Allah. Maka salahlah orang-orang Yahudi ketika mereka bermaksud menyerahkan-Nya kepada kaisar Romawi. Dinar itulah milik kaisar, sebab di atasnya tertera gambar dan tulisan kaisar. Yang ini wajib mereka berikan kepada kaisar.
2) membayar pajak kepada kaisar bukanlah sesuatu yang tidak patut. Justru sebaliknya, sebab membayar pajak adalah bukti ketaatan. Di samping itu, membayar pajak adalah pemenuhan hak orang lain.
3) pajak diambil dari penghasilan. Maka di dalam pendapatan seseorang terdapat hak pemerintah.
4) kehidupan harus berimbang antara ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada pemerintah.

Memang pertanyaannya adalah bagaimana jika pemerintah itu kafir dan korup? Apakah kepada pemerintahan yang demikian pun kita harus membayar pajak? Pertanyaan ini akan dijawab dalam pembahasan Roma 13.


2)      Roma 13:1-7
Roma 13 dimulai dengan keharusan untuk taat kepada pemerintah. Siapa yang melawan pemerintah, ia melawan Allah sebab pemerintah berasal dari dan ditetapkan oleh Allah. Pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikan rakyatnya.

Membayar pajak adalah salah satu bentuk ketaatan kepada pemerintah. Di samping itu, membayar pajak sama dengan memberi kepercayaan kepada pemerintah sebagai pelayan Allah untuk kebaikan rakyat.

Bagaimana jika pemerintah itu kafir dan korup? Apakah pajak tetap harus dibayar juga? Jawabannya jelas: Ya. “… sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah” (ay 1). Mereka adalah “… pelayan-pelayan Allah” (ay 6). 

Membayar pajak adalah pengamalan hukum kedua, yang menjadi dasar seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi, yakni kasih terhadap sesama (Mat. 22:39). Dengan pajak, pemerintah dapat mengatur kesejahteraan rakyat, yang adalah sesama kita. Karena itu membayar pajak, tidak hanya sebatas bukti ketaatan kepada pemerintah, tetapi juga wujud rasa peduli kita kepada sesama. Dengan kata lain: membayar pajak sama dengan mempraktikkan kasih. Membayar pajak sama dengan meminjam tangan pemerintah untuk mewujudnyatakan belaskasihan kita kepada sesama. Seorang anggota jemaat yang baik, haruslah juga menjadi seorang anggota masyarakat yang baik.


IV. Pajak dapat disalahgunakan

Jika sebuah pemerintahan korup, maka pajak dapat disalahgunakan. Di Negara kita, penyalahgunaan pajak adalah rahasia umum yang pembuktiannya gampang-gampang susah.

Di samping itu, besaran pajak pun perlu mendapat perhatian. Jumlah yang berlebihan berbahaya bagi kelangsungan Negara. Demikianlah nasihat Alkitab: “Dengan keadilan seorang raja menegakkan negerinya, tetapi orang yang memungut banyak pajak meruntuhkannya” (Ams. 29:4). Bajak boleh, atau lebih tepat, harus dipungut, tetapi jangan berlebihan. 

Pajak sungguh berguna. Namun itu hanya terjadi jika raja adil. Tetapi ketidakadilan raja, yang memungkinkan kegunaan pajak tidak kelihatan, tidak boleh menjadi alasan orang Kristen untuk tidak membayar pajak.  Sebab untuk raja atau pemerintah atau pengelola pajak yang tidak adil, telah tersedia hukuman. “… karena kamu menginjak-injak orang lemah dengan mengambil pajak gandum daripadanya, - sekalipun kamu telah mendirikan rumah-rumah dari batu pahat, kamu tidak akan mendiaminya; sekalipun kamu telah membuat kebun anggur yang indah, kamu tidak akan minum anggurnya” (Am. 5:11).

Kesimpulan
Alkitab mengajarkan bahwa kehidupan seorang percaya harus berimbang antara ketaatan kepada Allah dan kepada pemerintah. Seorang percaya hidup dalam dua kewajiban: kewajiban kepada Allah  dan kepada manusia. Ini adalah konsekuensi iman, yang telah menempatkan orang-orang percaya sebagai warga dari dua kerajaan pada saat yang sama, yakni Kerajaan Sorga dan Kerajaan Dunia.

Di samping itu, membayar pajak adalah bentuk pengamalan hukum yang kedua, yakni kasih kepada sesama. Dengan membayar pajak, seorang percaya telah meminjam tangan pemerintah untuk mewujudkan kasihnya kepada sesamanya.
Kebobrokan pemerintah tidak perlu menjadi alasan untuk menahan pembayaran pajak. Mereka adalah pelayan-pelayan Allah. Allah akan menghukum mereka ketika mereka menggelapkan pajak!

Minggu, 25 Januari 2015

BLUSUKAN KERJA ALLAH

Renungan Natal  2014
(Luk. 2:16)

Pdt. Marianus T. Waang, M. Th


Setiap tahun orang Kristen merayakan Natal. Tetapi jika ditanya apakah natal itu, jawabannya tidak selalu sama, sebab makna dan pesan natal selalu disesuaikan dengan  atau lebih tepat ‘disetir’ oleh kebutuhan atau kepentingan komunitas yang merayakannya.

Jika mereka yang merayakannya adalah orang-orang ‘kecil’ atau mereka yang peduli terhadap orang-orang kecil,   maka natal dimaknai sebagai wujud perhatian Allah kepada orang-orang susah, yakni mereka yang hidup dalam kekurangan dan kemiskinan, entahkah secara ekonomis, politis, maupun sosial.  Untuk orang-orang seperti ini, Allah dipandang sebagai pemerhati, pelindung dan pembela hak orang-orang lemah.

Sebaliknya, jika mereka yang merayakannya adalah orang-orang ‘besar’, maka natal dimaknai sebagai ungkapan kerendahan hati. Allah yang mahatinggi berkenan merendahkan diri-Nya menjadi manusia. Pemahaman yang positif! Namun, bagi golongan ini, natal juga dapat menjadi ‘kenderaan’ untuk mencapai tujuan-tujuannya, terutama secara politis. Tuhan dan perayaan-perayaan agamawi menjadi ‘tumpangan’ yang  - dalam konteks Indonesia - masih sangat laku.

Natal juga selalu identik dengan kumpul-kumpul keluarga, kado dan open house. Natal dengan latar belakang seperti ini dimaknai sebagai momentum saling memaafkan dan berbagi.  Anggota keluarga yang berselisih berkunjung dan bermaaf-maafan. Lalu mereka yang berkemampuan secara ekonomis berbagi dengan yang berkekurangan. Para tokoh,  entahkah masyarakat atau politis, menjadikan momentum ini sebagai ajang konsolidasi dan penggalangan.  Pertanyanyaannya adalah INIKAH NATAL?

Berdasarkan tema nasional PGI dan KWI 2014, natal adalah sebuah perjumpaan dengan Allah di dalam keluarga. Dengan tema ini, perhatian kedua lembaga gerejawi tingkat nasional ini jatuh pada pentingnya kehadiran Allah dalam keluarga serta sentralnya peran keluarga dalam sejarah keselamatan. 

Itu berarti natal adalah sebuah perjumpaan. Dan perjumpaan selalu dimulai dengan sebuah kinesis atau gerakan.  Dalam kaitan dengan hubungan antara Allah dan manusia, gerakan untuk berjumpa dimulai dari pihak Allah. Sejak kejatuhan, Allah-lah yang bergerak mencari manusia (bdk. Kej. 3:8 dst.). Maka natal adalah salah satu peristiwa dalam ‘gerakan’ Allah berjumpa dengan manusia dalam sejarah keselamatan, yang mengalami puncaknya dalam paskah.

Jika gerakan Allah untuk mencari dan berjumpa dengan manusia ini dicarikan padanannya yang sedang hangat saat ini, maka kata yang cocok adalah ‘blusukan’.

‘Blusukan’ adalah kata yang mulai popular di Indonesia sejak tahun 2012, ketika Joko Widodo menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sifat kepemimpinannya ditandai sangat kuat oleh gaya ‘blusukannya’.  Gaya itu terus diperlihatkan setelah ia menjadi orang nomor 1 di negeri ini.  Dalam kurun waktu kurang dari 2 bulan ia sudah mengunjungi beberapa wilayah di negeri kepulauan nan luas ini, terutama di daerah-daerah yang sedang mengalami bencana dan masalah. Ia memaknai kepemimpinan sebagai menemui rakyat kecil dan mendengar keluhan mereka secara langsung. Ia bahkan tidak merasa terhina masuk ke dalam selokan sekalipun. Baginya, ciri kepemimpinan bukanlah ruang dan kursi serta meja kerja yang wah, protokoler yang rumit, birokrasi yang berbelit-belit, setelan jas dan dasi impor, rapat-rapat kerja di hotel berbintang, melainkan kesederhanaan dan kerja. Itulah sebabnya kabinetnya pun disebut kabinet kerja.  Ia memaknai kepemimpinan sebagai mencari dan menemukan, bukan dicari dan ditemui - yang sudah berakar berurat dalam sistem feodal.

Jadi natal boleh disebutkan sebagai ‘blusukan kerja’ ( Martin Chen, Direktur Puspas Keuskupan Ruteng, Flores, NTT, menyebutnya ‘blusukan’ illahi).  Untuk berjumpa dengan manusia yang telah terpisah dari,  bahkan menjadi seteru-Nya karena dosa (lih. Rm. 5:10; 11:28), Allah melakukan ‘blusukan kerja’: mencari dan menemukan yang hilang (Yeh. 34:12; Luk. 19:10).

‘Blusukan kerja’ dalam rangka mencari dan menyelamatkan ini dimulai sejak Kejadian 3. Sejak saat itu, Allah berjanji - dalam perjumpaan-Nya dengan Adam dan Hawa itu - bahwa suatu saat nanti akan lahir satu keturunan perempuan, yang akan mengakhiri persahabatan dengan si jahat karena dosa dengan jalan meremukkan kepala ular (Kej. 3:15). Sejak saat itu, Alkitab mencatat peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah keselamatan yang merujuk pada pemenuhan janji ini. Sebut saja beberapa contoh: diluputkannya Nuh dari air bah, panggilan Abraham, kelahiran Isak, pemilihan Israel dan nubuat-nubuat tentang kelahiran seorang Mesias (mis. Yes. 9 dan Mi. 5).  

Semua peristiwa sejarah dan nubuatan ini adalah gambaran dan janji tentang Mesias, sang Putra natal. Penggenapannya terjadi dalam peristiwa persalinan dalam sebuah kandang di kota kecil, Betlehem.  Tujuannya adalah menolong manusia dari ketidakberdayaan karena perbudakan dosa. Maka natal adalah ‘blusukan kerja’ Allah demi kelepasan manusia.

Hal ini terlihat terang benderang dalam kehidupan dan kepemimpinan Yesus. Ia berkeliling ke semua kota dan desa untuk menolong mereka yang lelah dan terlantar seperti domba tak bergembala (Mat. 9:35-36).  Ia ‘blusukan’ sebagai utusan Allah untuk menyelamatkan dunia (Mat. 1:21; Yoh. 1:29), untuk memberdayakan dan membela mereka yang miskin, tertawan dan tertindas (Luk. 4:18-19). ‘Blusukan’ penyelamatan ini didasarkan atas kasih (Yoh. 3:16), bukan atas kepentingan. Tidak jarang Ia mengecam keras para pemimpin agama dan politik yang mengeksploitasi rakyat kecil demi harta dan takhta. ‘Ular beludak’! itulah istilah yang cocok untuk orang-orang terkemuka saat itu (lih. terutama Mat. 23).

Kepada wong cilik Ia menunjukkan kasih, tetapi kepada para pemimpin Ia memberi perintah untuk belajar berbuat kasih (Luk. 10:37). Ia memberi nasihat kepada orang banyak dan murid-murid-Nya untuk menaati pemimpin mereka karena mereka menduduki kursi Musa, tetapi jangan mengikuti kelakuan mereka lantaran mereka hanya berteori (Mat. 23:1-3)

Yesus, yang hari lahir-Nya kita rayakan secara besar-besaran setiap tahun, telah mengajari kita bahwa natal adalah kerja, bukan pesta. Natal adalah menjumpai untuk membebaskan dan menyelamatkan, bukan hura-hura. Natal adalah jembatan ‘blusukan’ Allah demi pemberdayaan mereka yang dibiarkan tidak berdaya, miskin dan terabaikan. Natal bukan aksi-aksi seremonial yang penuh dengan intrik-intrik kepentingan. Natal adalah kerja Allah demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dengan jalan menjadi sama dengan manusia. Dengan Natal, Allah melakukan aksi ‘blusukan’ guna menjawab kebutuhan manusia. Maka Natal dapat dimaknai sebagai ‘blusukan kerja’ Allah  untuk berjumpa dengan manusia yang terbentuk dalam keluarga.

Untuk apa? Tentu saja bukan supaya Dia semakin besar, semakin berkuasa, semakin dikenal; melainkan untuk menolong. Ia lahir bukan untuk diri-Nya melainkan untuk kepentingan dunia yang telah rusak dan terpisah dari-Nya karena dosa. Itu sebabnya natal tidak bisa dipisahkan dari paskah; Betlehem tidak ada maknanya jika Golgota tidak disinggung. Natal dan paskah, Rumah Roti dan Bukit Tengkorak adalah dua peristiwa dan tempat yang penting bagi sejarah dan iman Kristen.

Setiap kali kita merayakan natal, setiap kali itu pula kita memperingati hari ‘blusukan kerja Allah’ menjadi manusia itu. Dalam natal Allah berkerja untuk menjumpai manusia dan menawarkan pengampunan dosa. Dalam natal Allah berjumpa dengan manusia di dalam Yesus. Di dalam Dia ada jalan keluar dari kematian kepada kehidupan. Natal adalah aksi Search and Rescue, SAR,  dari Allah

Sekarang, Yesus telah menyelesaikan tugas penyelamatan-Nya dan sedang berada di sorga. Sebelum kenaikan-Nya ke sorga, Ia telah memberikan perintah ‘blusukan penyelamatan’ - yang dikenal dengan Amanat Agung - kepada para rasul dan gereja-Nya  (Mat. 28:19-20; Mrk. 16:15-16; Luk. 24:46-47: Yoh. 15:16; Kis. 1:8) karena masih banyak domba-Nya yang di luar kandang (Yoh.  10:16).

Itu berarti bahwa setiap kali kita merayakan natal, kita secara sadar atau tidak mengaku terlibat dalam ‘blusukan penyelamatan’ ini. Kita yang merayakan natal adalah kita yang bekerja, kita yang melanjutkan ‘blusukan kerja’ Allah untuk menjumpai dan menyelamatkan yang hilang.

Kita yang merayakan natal, mestilah kita yang telah berjumpa dengan Allah dan yang berkomiten untuk bekerja, mengajak orang lain juga berjumpa dengan Dia!

Amin!