Pendahuluan
Dengan judul ‘diberkati untuk menjadi berkat’ tulisan ini terutama bertujuan untuk mengulas untuk apa seorang percaya diberkati. Rujukan kita adalah pemanggilan Abraham. Sebelum sampai ke sana, kita akan melihat lebih dahulu apa itu berkat dan darimana asalnya.
Apa itu berkat dan dari mana asalnya?
Istilah ‘berkat’ (Ibr.: berakha, Yun.: eulogia) adalah sebuah terminologi teologis. Artinya hanya dalam ranah rohani istilah ini dipakai. Alkitab penuh dengan istlilah ini dan dalam kamus-kamus teologi pembahasannya selalu disatukan dengan kutuk. Meskipun begitu istilah ini dalam bentuk kata kerjanya sudah muncul sejak Kejadian 1:22 dan 28. Dalam ayat 22 binatang diberkati dengan keturunan sedangkan dalam ayat 28 manusia diberkati dengan berkat keturunan dan kebijakan.
Berkat dapat berupa ucapan dan pemberian. Yang pertama biasa disebut dengan benediction. Rumusannya terdapat, misalnya, dalam Bilangan 6:24-26 dan 2 Korintus 1:2, dll., sedangkan yang kedua adalah pemberian dalam bentuk sesuatu. Yang terakhir ini biasanya dipilah lagi: materi dan rohani.
Berkat selalu diasosiakian dengan (perjanjian/covenant) Allah. Ini berarti: pertama, berkat ada karena perjanjian Allah, bukan karena jasa manusia; kedua, Allah adalah sumber dari berkat itu. Jadi jika seseorang menyebut sesuatu sebagai berkat, maka sadar atau tidak ia sedang mengatakan bahwa ia ada dalam perjanjian Allah dan bahwa sesuatu itu berasal dari Allah, apakah dia adalah pemberi atau penerima. Jadi berkat berarti sesuatu yang baik dari Allah. Dengan begitu, maka memberkati berarti memohon perlindungan dan pemeliharaan Allah dan diberkati berarti dilindungi dan dipelihara oleh Allah.
Siapakah yang diberkati?
Berkat adalah sesuatu yang baik dari Allah yang baik. Tetapi kepada siapa? Kepada orang yang baik pula? TIDAK! Kepada the covenant people, umat perjanjian. Bukan kebaikan manusia ‘motor’ berkat melainkan perjanjian Allah.
Dalam kedaulatan kehendak-Nya, Allah telah menetapkan untuk memanggil satu orang, yakni Abraham, mengikat perjanjian dengannya dan memberkati dia (Kej. 12, 15 dan 17). Perjanjian itu terus berlanjut dalam setiap keturunannya - Isak, Yakub dan Israel - dengan berpuncak pada apa yang biasa kita sebut perjanjian Sinai. Memang Ismael pun diberkati. Namun berkat itu berada di luar perjanjian Allah dengan Abraham. Bahkan jika diperhatikan berkat Ismael adalah hasil doa atau permintaan Abraham (Kej. 17:20-21). Artinya bukan Allah inisiator berkat Ismael melainkan Abraham. Sebaliknya dalam hal Ishak, Allahlah inisiator berkat karena perjanjian-Nya.
Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa berkat (dan kutuk adalah dua) unsur yang melekat pada perjanjian atau covenant. Bagi umat perjanjian yang menaati perjanjian itu, tersedia berkat (keturunan, kesehatan, keamanan, kesejahteraan, kemerdekaan dan kemakmuran) sedangan bagi yang tidak taat tersedia kutuk (kemandulan, sakit penyakit, perbudakan dan kemiskinan). Itulah apa yang kita baca dalam Ulangan 27-28 dan Yosua 23-24.
Diberkati karena …. atau untuk …?
Apakah ketaatan mendatangkan berkat berarti bahwa ketaatan adalah pintu kepada berkat? Atau apakah ketaatan diupahi berkat berarti jasa kita adalah penyebab datangnya berkat? TIDAK! Perjanjianlah pintu kepada berkat. Jika tidak ada perjanjian, untuk apa ketaatan? Ketaatan adalah wujud hormat manusia kepada Allah karena iman sedangkan berkat adalah reflektor kasih Allah kepada manusia karena perjanjian-Nya. Memang bahasa Alkitab sering memberi kesan seolah-oleh berkat Allah bergantung pada ketaataan, kesalehan, kesucian dan iman kita. Namun itulah apa yang disebut Calvin sebagai accommodatio Dei, yaitu bahwa Allah menyesuaikan maksud-Nya dengan kemampuan pemahaman kita. Dengan demikian maka prinsip Alkitab jelas: kita diberkati untuk ..., bukan karena ....
Untuk apa berkat itu?
Allah memanggil Abraham dan mengikat perjanjian dengannya dengan tujuan untuk merealisasikan rencana penebusan-Nya melalui dia. Allah telah menjanjikan penebusan itu dalam Kejadian 3:15. Untuk menggenapinya Ia memilih Habel/Set, kemudian Nuh lalu Abraham sebagai ‘perpanjangan tangan-Nya’. Prinsip ‘perpanjangan tangan’ ini sudah sangat eksplisit sejak pemanggilan Abraham : ‘… dan engkau akan menjadi berkat’ (ay 2); lebih sangat eksplisit lagi: ‘… dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat’ (ay 3; 18:18; lih. juga 26:4; 28:14). Panggilan dan perjanjian itu menempatkan Abraham di satu sisi sebagai yang terberkati dan di sini lain sebagai penyalur berkat. Jadi jelaslah bahwa tujuan Allah memanggil Abraham dan mengikat perjanjian dengannya adalah supaya melalui dia berkat Allah sampai kepada semua kaum di muka bumi. Panggilan dan perjanjian itulah berkat yang sesungguhnya dari Allah kepada Abraham. Berkat-berkat lain seperti negeri, keturunan, kemasyuran dan keamanan mengikuti berkat utama ini. Melalui Abraham Allah mau memanggil dan mengikat perjanjian-Nya dengan bangsa-bangsa lain.
Dengan kata lain, firman: ‘… olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat’ telah menempatkan Abraham sebagai pembawa titipan atau ‘tukang pos’ dari Allah kepada bangsa-bangsa lain. Abraham adalah ‘kapal kargo’ dari Allah. Analogi lain yang dapat menolong kita untuk lebih mengerti peran yang diberikan Allah kepada Abraham dalam menghadirkan pemeliharaan, perlindungan serta keselamatan kepada bangsa-bangsa lain adalah pipa air. Abraham ibarat pipa air. Berkat adalah air. Pipa bukan tujuan akhir aliran air melainkan saluran yang membawa air itu kepada tujuan akhirnya yakni pengguna. Barangkali analogi ini terlalu ekstrim, seolah-olah Abraham tidak mendapat apa-apa sama seperti pipa tidak mendapat apa-apa. Penekanan analogi ini tidak pada soal kebagian atau tidak, tetapi pada urgensi kehadiran pipa itu dan fungsinya: ada sebagai saluran air. Demikianlah Abraham dipanggil atau diberkati untuk menjadi saluran berkat. IA ADA SEBAGAI PENYALUR, BUKAN PENIMBUN!
Berkat apa?
Di atas telah disebutkan bahwa panggilan dan perjanjian itulah berkat utama dari Allah kepada Abraham. Berkat itu pula yang akan Allah berikan kepada bangsa-bangsa lain dengan perantaraannya. Ini berarti bahwa berkat ini bersifat rohani, yakni keselamatan di dalam Yesus Kristus. Berkat-berkat lain, seperti negeri, kemasyuran, keamanan, keturunan dan kekayaan diberikan kepada Abraham dalam rangka perealisasian berkat rohani ini.
Kesimpulan
Berkat adalah pemberian Allah. Abraham dipanggil kepada berkat untuk menjadi penyalur berkat. Ia tidak dipanggil kepada berkat demi keterberkatannya sendiri. Sebaliknya Ia dipanggil untuk memberi dirinya sebagai ‘tukang pos’, ‘kapal kargo’, atau ‘pipa berkat’ dari Allah. Itulah arti dari firman: ‘… olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat’.
Dalam konteks historia revelationis, sejarah keselamatan, Abraham dipanggil dengan tujuan misi. Dan dia melakukannya dengan suka rela: ‘Lalu pergilah Abram seperti yang difirmankan TUHAN kepadanya’ (12:4a). Untuk tujuan misi itu, Abraham diberkati dengan negeri, kemasyuran, keturunan, kekayaan dan keamanan. Jika ia tidak menjadi penyalur berkat, ia ibarat tukang pos yang kabur membawa barang kiriman, kapal kargo yang tenggelam dan pipa air yang rusak. Begitukah Abraham? TIDAK!
Bagaimana dengan Gereja? Gereja atau orang percaya adalah keturunan Abraham karena iman dan dengan demikian Gereja juga adalah umat perjanjian (Gal 3). Sebagai umat perjanjian yang baru, baik sebagai institusi atau individu, Gereja berhak mendapat berkat-berkat yang melekat pada perjanjian dengan Abraham itu. Namun, sama seperti ketaatan Israel mendatangkan berkat demikian jugalah ketaatan Gereja; sama seperti ketidaktaatan Israel mendatangkan kutuk, demikian jugalah ketidaktaatan Gereja.
Gereja mengemban panggilan Abaraham yakni panggilan untuk menjadi berkat. Allah telah memanggil dan menetapkan Gereja sebagai ‘pembawa titipan’ atau ‘kapal kargo’ atau ‘pipa berkat’ Allah kepada segala bangsa dan kaum di muka bumi.
Karena itu bagi Gereja berlaku pula firman: ‘… olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat’. Artinya, sama seperti Abraham dipanggil untuk misi, demikianlah Gereja juga terbentuk untuk misi. Gereja diberkati untuk menjadi berkat. Apakah Gereja melakukannya pula sama seperti Abraham? Ataukah Gereja telah menjadi tukang pos yang kabur, kapal kargo yang tenggelam dan pipa yang bocor? Ini pertanyaan-pertanyaan retoris-kontemplatif. Jawabannya positif atau negatif? Dua-duanya!
Sabtu, 06 Agustus 2011
Selasa, 11 Januari 2011
Dipanggil karena Dipilih (Rm. 9:11)
(orasi ilmiah)
Pendahuluan
Sekitar 2 minggu yang lalu, saya mendapat panggilan telpon dari Ketua STIJA. Dalam pembicaraan itu beliau meminta agar saya menyampaikan orasi ilmiah pada hari ini. Setelah sejenak berpikir, apakah itu mungkin atau tidak, saya lalu mengatakan bisa. Kehadiran saya di hadapan bapak/ibu serta wisudawan dan para undangan hari ini adalah konsekuensi dari kata bisa itu tadi. Untuk undangan ini saya mengucapkan terima kasih.
Tema kita, DIPANGGIL KARENA DIPILIH, adalah rangkuman dari Roma 9-11 ketika Paulus berbicara tentang keterbuangan orang Israel dari komunitas umat perjanjian dan masuknya orang-orang bukan Yahudi di ke dalam komunitas itu. Roma 9:11 mengalimatkan rangkuman itu secara singkat, tetapi padat dan jelas.
Dalam orasi ini, kita akan membahas tema kita dalam beberapa tahapan. Pertama, kita akan melihat konteks Roma 9. Kedua, kita akan melihat kata pertama dalam tema kita, yaitu pemilihan. Hal ini dimaksudkan untuk menolong kita memahami istilah pemilihan dalam konteks keseluruhan Alkitab. Tentu saja pemahaman ini bersifat teologis, bukan eksegisis. Sebenarnya kata ‘panggilan’ pun perlu diteliti, namun karena keterbatasan ruang dan waktu, maka kata ini dibiarkan tidak terbahas. Meskipun demikian, dalam tafsiran nanti kata ini akan disinggung juga. Sesudah itu, sebagai yang ketiga, kita akan mengeksposisi Roma 9:6-13; lalu, sebagai tahap yang terakhir atau keempat, kita akan mengakhiri pembahasa kita dengan kesimpulan.
Konteks Roma 9
Surat kepada jemaat di Roma, atau yang biasa kita sebut kitab Roma, ditulis oleh Paulus di Korintus, ibu kota Akhaia, setelah perjalanan misinya yang kedua. Secara umum surat ini biasa dipilah dalam dua bagian besar, 1-11 dan 12-16. Dalam bagian pertama Paulus berbicara tentang doktrin, kemudian dalam bagian kedua, ia berbicara tentang persoalan praktis. Dengan kata lain, di dalam pasal 1-11 Paulus mengajarkan apa yang harus dipercaya, sedangan dalam pasal 12-16 ia mengarahkan perhatiannya kepada apa yang harus dikerjakan - ortodoksi dan ortopraksis. Dalam bagian yang pertama, Paulus membahas dua pertanyaan besar yang sudah diperdepatkan sejak permulaan pemberitaan Injil antara orang-orang Yahudi dan orang Kristen mula-mula, yaitu pembenaran dan panggilan bangsa-bangsa bukan Yahudi alias gentiles. Di satu sisi, orang-orang Yahudi keberatan terhadap sebuah ajaran pembenaran yang tidak sejalan dengan hukum Taurat. Hukum Taurat mengajarkan pembenaran oleh perbuatan, sedangkan Paulus mengajarkan suatu pembenaran yang asing, yaitu pembenaran oleh iman. Di sisi lain, karena posisi mereka sebagai umat perjanjian, orang-orang Yahudi merasa bahwa panggilan untuk orang-orang bukan Yahudi kepada pengenalan atau pengetahuan akan Allah, dan dengan demikian kepada keselamatan karena anugerah, telah mengusik hak ekslusif mereka. Paulus berhadapan dengan dua keberatan ini. Menurut Paulus dasar pembenaran bukanlah the gentiles’ work of nature (pasal 1), juga bukan the Jews’ work by the low (pasal 2 dan 3) – karena kedua-duanya berada di bawah kutuk karena dosa - ; melainkan oleh iman di dalam Yesus Kristus (pasal 3 dan 4). Untuk mengambil bagian dalam keselamatan ini seseorang harus berdamai dengan Allah (pasal 5), mengalami pengudusan (pasal 6 dan 7) dan pemuliaan (pasal 8).
Seperti sudah disebutkan di atas, pasal 9 adalah salah satu dari tiga pasal di mana Paulus mengarahkan perhatiannya pada keberatan orang-orang Yahudi yang kedua, yaitu panggilan orang-orang bukan Yahudi. Setelah dalam pasal 1-8 pembenaran oleh iman atau anugerah diulas, sekarang Paulus mulai berbicara tentang ketiadaan perbedaan antara the covenant people dan the gentiles berkaitan dengan pemilihan yang dasarnya bukan ketaatan terhadap hukum Taurat melainkan kedaulatan Allah. Kita akan melihat hal ini dalam tafsiran sebentar.
Studi kata
Tema kita, ‘dipanggil karena dipilih’ diambil dari ayat 11. Ini adalah argumentasi Paulus tentang mengapa Yakub ditetapkan untuk menjadi tuan atas Esau, kakaknya, bahkan sebelum mereka lahir. Ada dua kata yang menarik untuk diteliti dalam ayat ini yaitu ‘pemilihan’ dan ‘panggilan’. Tetapi karena keterbatasan ruang dan waktu, kita hanya akan melihat kata yang pertama.
‘Pemilihan’ adalah terjemahan dari eklogē. Kata lain yang masih serumpun dengan eklogē adalah eklegomai yang berarti ‘memilih bagi diri sendiri’, ‘memilih (dari antara)’ dan ekletos, ‘yang dipilih’. Dalam Yunani klasik, rumpun istilah ini merujuk pada pemilihan orang atau benda. Eklogē kadang-kadang dipakai dalam konteks pemilihan para lelaki untuk menjadi tentara atau pemilihan tentara tertentu secara individual untuk melakukan tugas-tugas yang sulit atau tugas yang mulia. Penulis Stoik tertentu memakai kata ini untuk menunjuk pada ‘a single person’s free decision between two or more possibilities with respect to one’s manner of life, …’ . Kata benda eklogē tidak muncul di dalam PL (LXX) karena tidak ada padanannya dalam bahasa Ibrani. Fakta bahwa hanya kata kerja yang dikenal dalam PL menunjukkan bahwa dalam soal pemilihan tekanan terletak tidak pada predikat (pekerjaan) melainkan pada subjek, yakni orang yang memilih dan obyek, dia yang dipilih (ekletos). Kata kerja eklegō dalam bentuk aktif hanya muncul 10 kali dalam LXX. Kata yang lebih sering muncul adalah eklegomai dan hampir selalu merupakan terjemahan dari kata Ibrani bāhar, yang berarti ‘memilih’ atau ‘menyukai’. Di dalam banyak konteks di mana kata bāhar ditemukan, Allah adalah Sang Pemilih. Dalam kitab Ulangan kita membaca bahwa di samping umat Israel yang dikuduskan dari antara bangsa-bangsa yang lain untuk misi tertentu (4:37; 7:7; 14:2), Allah juga memilih satu tempat khusus untuk mereka sebagai pusat ibadah dan persembahan, yaitu Yerusalem (16:6-7; 18:5-6; 26:2). Yesaya dalam nubuatannya berbicara tentang pemilihan seorang hamba (43:10) dan pemilihan Yakob dan Abraham (41:8) oleh Allah. Penekanan pada tindakan Allah dalam memilih lebih ditegaskan lagi oleh kenyataan bahwa bentuk partisip dari bāhûr , yang menunjuk pada kualitas dari objek tidak pernah digunakan untuk Israel sebagai umat pilihan; sebaliknya yang dipakai adalah kata sifat bāhîr. Kenyataan ini secara teologis menunjukkan bahwa dalam hal pemilihan, kedaulatan Allah-lah penentu atau dasarnya; bukan kualitas moral atau spiritual atau status sosial Israel. Dengan kata lain, pemilihan mutlak tidak dapat dipisahkan dari kesucian, keunikan, kemurahhatian dan kedaulatan Allah yang tidak bersyarat. Garis pemikiran ini mencapai klimaksnya dalam pasal-pasal kitab Yesaya yang berbicara tentang hamba Tuhan (pais theou), yang akan (sudah) datang sebagai utusan Allah untuk menebus manusia, yaitu Yesus Kristus.
Di dalam Perjanjian Baru, kata kerja eklegomai muncul 22 kali dan kata benda eklogē 7kali; kebanyakan dalam tulisan Paulus. Eklogē dipakai secara eksklusif tanpa ambiguitas untuk menunjuk kepada tindakan Allah dalam memilih, misalnya dalam Roma 9:11; 11:5, 7 dan 28 tentang pemilihan Israel dan dalam 1 Tesalonika 1:4 dan 2 Petrus 1:10 di mana gereja diingatkan bahwa dasar eksistensinya adalah pemilihan Allah.
Kesimpulannya adalah bahwa makna istilah bahar dan eklogē tidak memberi ruang kepada kualifikasi apa pun dalam obyek yang dipilih, tetapi kepada subjek yang memilih.
Tafsiran
Setelah dalam pasal 8:3-39 Paulus dengan yakin mengatakan bahwa tidak ada yang dapat memisahkan orang percaya dari kasih Allah, tiba-tiba terjadi perubahan yang drastis dalam pasal 9, seolah-olah Paulus yang sedang di puncak gunung dengan tiba-tiba berada di lembah yang dalam (bdk. Van Bruggen, Romeinen, … 133). Ia menjadi sangat berduka dan bersedih, bahkan rela terkutuk, anathema, dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudara sebangsanya (ay. 2-3) yang ternyata Menolak Mesias. Mereka telah menerima dari Allah apa yang tidak diberikan kepada bangsa-bangsa lain. Mereka telah diadopsi menjadi anak (huiothesia), menerima kemuliaan (doxa), perjanjian (diathekai), hukum Taurat (nomothesia), ibadah (latreia) dan janji-janji (epangeliai). Bahkan mereka dan Mesias, yang mereka tolak, memiliki bapak leluhur yang sama (ay. 4-5a). Mesias ini tidak lain adalah Allah sendiri yang harus dipuji selama-lamanya (ay. 5b). Kenyataan ini mengimplikasikan bahwa menolak Mesias identik dengan menolak Allah . Ini perbuatan yang sangat mendudukan Paulus karena dengan menolak Mesias, saudara-saudara sebangsa dan sedarahnya itu telah menolak Allah dan perjanjian-Nya.
Tetapi kemudian ia bangun dari kesedihannya sebab penolakan Israel ini adalah bagian dari kedaulatan Allah. Ia berkata ouks … ekpeptoken ho logos tou Theou, ‘… firman Allah tidak mungkin gagal’ (ay. 6a). Tidak semua orang Israel adalah orang Israel. Inilah tesis dari ayat 6-13. Menurut Paulus, sesuai dengan remnant theology Perjanjian Lama, ada spiritual Israel di antara ethnic Israel yang lebih luas . Paulus menjelaskan pandangannya tentang ‘Israel di dalam Israel’ dengan dua argumentasi dari Perjanjian Lama, yaitu perjanjian (ay. 7 – 10) dam pemilihan (ay. 11 – 13). Dalam ayat 7 – 10 Paulus menunjukkan bahwa menjadi keturunan Abraham secara fisik bukanlah jaminan untuk menjadi umat Allah secara rohani. Ismael dan Isak adalah anak-anak Abraham secara lahiriah, tetapi hanya Isaklah yang diperhitungkan Allah sebagai keturunan Abraham (bdk. Kej. 12:21). Dasar pemilihan Isak adalah perjanjian Allah (Kej. 17:16, 19, 21; 18:10, 14). Ini berarti, menurut Paulus, bukan anak-anak menurut daging adalah anak-anak Allah, melainkan anak-anak menurut perjanjian. Dengan kata lain hak untuk menjadi keturunan Abraham sejati bukan terletak pada soal kelahiran melainkan pada janji Allah. Janji Allah-lah dasar dari masuknya seseorang ke dalam bilangan keturunan Abraham yang sejati.
Seolah-olah covenant based argument ini belum cukup, Paulus memberikan contoh dari generasi sesudah Isak, yakni kedua anaknya. Bisa jadi ini disebakan oleh adanya penolakan terhadap covenant based argument ini bahwa bukan perjanjian yang membedakan Ismael dan Isak melainkan kelahiran: yang pertama lahir dari seorang hamba, Hagar, sedang yang kedua dari seroang nyonya, Sara, (bdk. Gal. 4:21-23). Untuk mengatasi argumentasi yang demikikan Paulus mengambil contoh keluarga Isak. Esau dan Yakub tidak mengenali kelahiran seperti Ismael dan Isak. Mereka lahir tidak hanya dari satu ibu yang sama, tetapi juga dikandung pada saat yang bersamaan. Meskipun demikian ada perbedaan antara keduanya: Esau menjadi hamba Yakub (ay. 12). Penentuan ini bahkan terjadi jauh sebelum keduanya lahir. Mengapa harus demikian? Itulah yang Paulus bahas dalam ayat 11, yang menjadi tema acara wisuda ini. Penentuan hak Yakub pra- kelahiran dan pra-kerja ini dimaksudkan Allah untuk membuktikan bahwa pemilihan-Nya tidak didasarkan atas kualitas moral atau spiritual apapun dari manusia melainkan atas dasar kedaulatan kehendak-Nya. ‘Ketetapan Allah akan tetap berlaku: Allah tidak memilih seseorang berdasarkan perbuatannya, melainkan karena Ia memanggil mereka’. (Van Bruggen, Romeinen … 138). Tujuan dari panggilan ini adalah untuk meneguhkan pilihan-Nya. Untuk menunjukkan bahwa bukan karena kemurnian akhlak atau kebaikan moral, juga bukan karena kesalehan perbuatan atau amal ibadah Yakub menjadi tuan atas Esau melainkan bahwa Yakub telah dipilih untuk itu, maka Allah memanggil Yakub sebelum ia lahir. Apakah ini berarti Allah tidak adil? Apakah jika Allah memilih Yakub dan melewati Isak berarti Allah pandang bulu? Mustahil Allah tidak adil (ay. 14). Memilih yang satu dan membiarkan yang lain ada dalam kedaulatan Allah. Ia menaruh belaskasihan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan bermurah hati kepada saiapa yang dikenan-Nya (ay. 15). Jadi, demikian kesimpulan Paulus, dasar pemilihan Yakub bukan karena perbuatannya melainkan karena kemurahan hati Allah (ay. 16). Apakah manusia boleh protes? Silakan saja. Tetapi sama seperti tukang periuk memiliki hak atas tanah liatnya untuk membentuk dari gumpal yang sama suatu benda untuk tujuan yang mulia dan benda lain untuk tujuan biasa, demikianlah manusia di hadapan penciptanya (ay. 19-21).
Meskipun argumentasi Paulus dalan menunjukkan kedaulatan Allah atas manusia sudah sangat jelas, namun masih ada satu pertanyaan lagi yang harus kita ajukan, yakni mengapa Allah sama sekali tidak memperhitungkan perbuatan baik atau jasa manusia dalam pemilihan-Nya? Jawaban atas pertanyaan ini kita temukan dalam Roma 3:10-18. Ayat-ayat itu adalah kutipan dari Mazmur 14:1-3; 53:2-4; 5:10; 140:4; 10:7; Yesaya 59:7-8; Mazmur 36:2. Kesimpulan dari ayat-ayat ini adalah bahwa tidak ada seorang pun yang benar dalam ukuran Allah. Jadi jika pemilihan Allah didasarkan atas ketaatan atau kesalehan atau jasa manusia, maka tidak ada seorang pun yang akan selamat. Jika demikian tidak adakah sedikipun kesalehan pada manusia? Ada! Tetapi tidak lebih baik dari kain kotor , beged iddim (Yes. 64:6). Kata iddim berasal dari kata idda yang berarti menstruasi. Dalam Perjanjian Lama perempuan yang sedang mengalami menstruasi dipandang najis selama tujuh hari dan kenajisan itu dapat menular. Demikianlah kita baca, misalnya dalam Ulangan 15:19 bahwa setiap orang yang bersentuhan dengan perempuan yang sedang mengalami ‘sakit reguler’ ini, orang itu menjadi najis sampai matahari terbenam; bahkan orang yang bersentuhan dengan tempat tidurnya pun menjadi najis sampai matahari terbenam (Ul. 15:21). Inilah kualitas kesalehan manusia: kotor dan tidak menyenangkan, menular dan berbuah kejahatan. Apa yang akan terjadi jika Allah mendasarkan pemilihan-Nya pada kesalehan dengan kualitas seperti ini? Hukuman! Itulah sebabnya Paulus dengan sangat tegas berkata bahwa keselamatan itu adalah kasih karunia atau pemberian Allah, bukan hasil usaha manusia (Ef. 2:8-9)
Kesimpulan
Pemilihan dan panggilan ibarat satu koin dengan dua sisi. Pemilihan adalah dasar dari panggilan. Panggilan mengimplikasikan beberapa hal. Pertama, panggilan dimaksudkan untuk meneguhkan pemilihan; kedua, panggilan menunjukkan bahwa dasar dari pemilihan bukanlah jasa manusia melainkan belaskasihan atau kemurahan hati Allah. Hal ini tersirat baik dalam pemakaian kata bahar, yang memperlihatkan bahwa tekanan dalam pemilihan tidak terdapat pada proses dan objek tetapi pada subjek, yakni Allah, maupun ekloge, yang juga menunjuk pada tindakan Allah dalam memilih berdasarkan belaskasihan dan kemurahhatian-Nya. Paulus membahas hal ini dengan sangat jelas dalam Roma 9-11.
Mengapa Allah memanggil yang satu dan membiarkan yang lain? Pertanyaan ini logis, tetapi tidak ada yang dapat menjawabnya sesuai dengan keinginan manusia. Manusia menganggap kenyataan ini sebagai ketidakadilan, tetapi justru inilah keadilan. Manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Allah mengetahui hal itu dengan jelas. Jika Ia meminta dari kita syarat untuk keselamatan kita, padahal Ia sendiri tahu bahwa hal itu mustahil bagi kita, barulah kita boleh mengatakan Ia tidak adil.
Bibliografi:
G. J. Wenham, J. A. Motyer, D. A. Carson and R. T. France, ed., New Bible Commentary. Illionis: IVP Academic dan England: InterVarsity Press, 1994
Jacob van Bruggen, Romeinen: Christenen tussen stad en synagogue, CNT, Kampen: Uitgevers-maatschappij J. H. Kok, 2006
Robert Haldane, Romans: Geneva Series of commentaries, Pennsylvania, USA:The Banner of Truth Trust, 1996
Robert L. Reymond, A New Systematic Theology of the Christian Faith, second edition – revised and updated, in one volume, Nashville: Thomas Nelson Publishers, 1998
Th. van den End, Tafsiran Alkitab: Surat Roma, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995
Verlyn D. Verbrugge, ed., The NIV Theological Dictionary of the Newtestament Words, USA: The Zondervan Corporation, 2000
Pendahuluan
Sekitar 2 minggu yang lalu, saya mendapat panggilan telpon dari Ketua STIJA. Dalam pembicaraan itu beliau meminta agar saya menyampaikan orasi ilmiah pada hari ini. Setelah sejenak berpikir, apakah itu mungkin atau tidak, saya lalu mengatakan bisa. Kehadiran saya di hadapan bapak/ibu serta wisudawan dan para undangan hari ini adalah konsekuensi dari kata bisa itu tadi. Untuk undangan ini saya mengucapkan terima kasih.
Tema kita, DIPANGGIL KARENA DIPILIH, adalah rangkuman dari Roma 9-11 ketika Paulus berbicara tentang keterbuangan orang Israel dari komunitas umat perjanjian dan masuknya orang-orang bukan Yahudi di ke dalam komunitas itu. Roma 9:11 mengalimatkan rangkuman itu secara singkat, tetapi padat dan jelas.
Dalam orasi ini, kita akan membahas tema kita dalam beberapa tahapan. Pertama, kita akan melihat konteks Roma 9. Kedua, kita akan melihat kata pertama dalam tema kita, yaitu pemilihan. Hal ini dimaksudkan untuk menolong kita memahami istilah pemilihan dalam konteks keseluruhan Alkitab. Tentu saja pemahaman ini bersifat teologis, bukan eksegisis. Sebenarnya kata ‘panggilan’ pun perlu diteliti, namun karena keterbatasan ruang dan waktu, maka kata ini dibiarkan tidak terbahas. Meskipun demikian, dalam tafsiran nanti kata ini akan disinggung juga. Sesudah itu, sebagai yang ketiga, kita akan mengeksposisi Roma 9:6-13; lalu, sebagai tahap yang terakhir atau keempat, kita akan mengakhiri pembahasa kita dengan kesimpulan.
Konteks Roma 9
Surat kepada jemaat di Roma, atau yang biasa kita sebut kitab Roma, ditulis oleh Paulus di Korintus, ibu kota Akhaia, setelah perjalanan misinya yang kedua. Secara umum surat ini biasa dipilah dalam dua bagian besar, 1-11 dan 12-16. Dalam bagian pertama Paulus berbicara tentang doktrin, kemudian dalam bagian kedua, ia berbicara tentang persoalan praktis. Dengan kata lain, di dalam pasal 1-11 Paulus mengajarkan apa yang harus dipercaya, sedangan dalam pasal 12-16 ia mengarahkan perhatiannya kepada apa yang harus dikerjakan - ortodoksi dan ortopraksis. Dalam bagian yang pertama, Paulus membahas dua pertanyaan besar yang sudah diperdepatkan sejak permulaan pemberitaan Injil antara orang-orang Yahudi dan orang Kristen mula-mula, yaitu pembenaran dan panggilan bangsa-bangsa bukan Yahudi alias gentiles. Di satu sisi, orang-orang Yahudi keberatan terhadap sebuah ajaran pembenaran yang tidak sejalan dengan hukum Taurat. Hukum Taurat mengajarkan pembenaran oleh perbuatan, sedangkan Paulus mengajarkan suatu pembenaran yang asing, yaitu pembenaran oleh iman. Di sisi lain, karena posisi mereka sebagai umat perjanjian, orang-orang Yahudi merasa bahwa panggilan untuk orang-orang bukan Yahudi kepada pengenalan atau pengetahuan akan Allah, dan dengan demikian kepada keselamatan karena anugerah, telah mengusik hak ekslusif mereka. Paulus berhadapan dengan dua keberatan ini. Menurut Paulus dasar pembenaran bukanlah the gentiles’ work of nature (pasal 1), juga bukan the Jews’ work by the low (pasal 2 dan 3) – karena kedua-duanya berada di bawah kutuk karena dosa - ; melainkan oleh iman di dalam Yesus Kristus (pasal 3 dan 4). Untuk mengambil bagian dalam keselamatan ini seseorang harus berdamai dengan Allah (pasal 5), mengalami pengudusan (pasal 6 dan 7) dan pemuliaan (pasal 8).
Seperti sudah disebutkan di atas, pasal 9 adalah salah satu dari tiga pasal di mana Paulus mengarahkan perhatiannya pada keberatan orang-orang Yahudi yang kedua, yaitu panggilan orang-orang bukan Yahudi. Setelah dalam pasal 1-8 pembenaran oleh iman atau anugerah diulas, sekarang Paulus mulai berbicara tentang ketiadaan perbedaan antara the covenant people dan the gentiles berkaitan dengan pemilihan yang dasarnya bukan ketaatan terhadap hukum Taurat melainkan kedaulatan Allah. Kita akan melihat hal ini dalam tafsiran sebentar.
Studi kata
Tema kita, ‘dipanggil karena dipilih’ diambil dari ayat 11. Ini adalah argumentasi Paulus tentang mengapa Yakub ditetapkan untuk menjadi tuan atas Esau, kakaknya, bahkan sebelum mereka lahir. Ada dua kata yang menarik untuk diteliti dalam ayat ini yaitu ‘pemilihan’ dan ‘panggilan’. Tetapi karena keterbatasan ruang dan waktu, kita hanya akan melihat kata yang pertama.
‘Pemilihan’ adalah terjemahan dari eklogē. Kata lain yang masih serumpun dengan eklogē adalah eklegomai yang berarti ‘memilih bagi diri sendiri’, ‘memilih (dari antara)’ dan ekletos, ‘yang dipilih’. Dalam Yunani klasik, rumpun istilah ini merujuk pada pemilihan orang atau benda. Eklogē kadang-kadang dipakai dalam konteks pemilihan para lelaki untuk menjadi tentara atau pemilihan tentara tertentu secara individual untuk melakukan tugas-tugas yang sulit atau tugas yang mulia. Penulis Stoik tertentu memakai kata ini untuk menunjuk pada ‘a single person’s free decision between two or more possibilities with respect to one’s manner of life, …’ . Kata benda eklogē tidak muncul di dalam PL (LXX) karena tidak ada padanannya dalam bahasa Ibrani. Fakta bahwa hanya kata kerja yang dikenal dalam PL menunjukkan bahwa dalam soal pemilihan tekanan terletak tidak pada predikat (pekerjaan) melainkan pada subjek, yakni orang yang memilih dan obyek, dia yang dipilih (ekletos). Kata kerja eklegō dalam bentuk aktif hanya muncul 10 kali dalam LXX. Kata yang lebih sering muncul adalah eklegomai dan hampir selalu merupakan terjemahan dari kata Ibrani bāhar, yang berarti ‘memilih’ atau ‘menyukai’. Di dalam banyak konteks di mana kata bāhar ditemukan, Allah adalah Sang Pemilih. Dalam kitab Ulangan kita membaca bahwa di samping umat Israel yang dikuduskan dari antara bangsa-bangsa yang lain untuk misi tertentu (4:37; 7:7; 14:2), Allah juga memilih satu tempat khusus untuk mereka sebagai pusat ibadah dan persembahan, yaitu Yerusalem (16:6-7; 18:5-6; 26:2). Yesaya dalam nubuatannya berbicara tentang pemilihan seorang hamba (43:10) dan pemilihan Yakob dan Abraham (41:8) oleh Allah. Penekanan pada tindakan Allah dalam memilih lebih ditegaskan lagi oleh kenyataan bahwa bentuk partisip dari bāhûr , yang menunjuk pada kualitas dari objek tidak pernah digunakan untuk Israel sebagai umat pilihan; sebaliknya yang dipakai adalah kata sifat bāhîr. Kenyataan ini secara teologis menunjukkan bahwa dalam hal pemilihan, kedaulatan Allah-lah penentu atau dasarnya; bukan kualitas moral atau spiritual atau status sosial Israel. Dengan kata lain, pemilihan mutlak tidak dapat dipisahkan dari kesucian, keunikan, kemurahhatian dan kedaulatan Allah yang tidak bersyarat. Garis pemikiran ini mencapai klimaksnya dalam pasal-pasal kitab Yesaya yang berbicara tentang hamba Tuhan (pais theou), yang akan (sudah) datang sebagai utusan Allah untuk menebus manusia, yaitu Yesus Kristus.
Di dalam Perjanjian Baru, kata kerja eklegomai muncul 22 kali dan kata benda eklogē 7kali; kebanyakan dalam tulisan Paulus. Eklogē dipakai secara eksklusif tanpa ambiguitas untuk menunjuk kepada tindakan Allah dalam memilih, misalnya dalam Roma 9:11; 11:5, 7 dan 28 tentang pemilihan Israel dan dalam 1 Tesalonika 1:4 dan 2 Petrus 1:10 di mana gereja diingatkan bahwa dasar eksistensinya adalah pemilihan Allah.
Kesimpulannya adalah bahwa makna istilah bahar dan eklogē tidak memberi ruang kepada kualifikasi apa pun dalam obyek yang dipilih, tetapi kepada subjek yang memilih.
Tafsiran
Setelah dalam pasal 8:3-39 Paulus dengan yakin mengatakan bahwa tidak ada yang dapat memisahkan orang percaya dari kasih Allah, tiba-tiba terjadi perubahan yang drastis dalam pasal 9, seolah-olah Paulus yang sedang di puncak gunung dengan tiba-tiba berada di lembah yang dalam (bdk. Van Bruggen, Romeinen, … 133). Ia menjadi sangat berduka dan bersedih, bahkan rela terkutuk, anathema, dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudara sebangsanya (ay. 2-3) yang ternyata Menolak Mesias. Mereka telah menerima dari Allah apa yang tidak diberikan kepada bangsa-bangsa lain. Mereka telah diadopsi menjadi anak (huiothesia), menerima kemuliaan (doxa), perjanjian (diathekai), hukum Taurat (nomothesia), ibadah (latreia) dan janji-janji (epangeliai). Bahkan mereka dan Mesias, yang mereka tolak, memiliki bapak leluhur yang sama (ay. 4-5a). Mesias ini tidak lain adalah Allah sendiri yang harus dipuji selama-lamanya (ay. 5b). Kenyataan ini mengimplikasikan bahwa menolak Mesias identik dengan menolak Allah . Ini perbuatan yang sangat mendudukan Paulus karena dengan menolak Mesias, saudara-saudara sebangsa dan sedarahnya itu telah menolak Allah dan perjanjian-Nya.
Tetapi kemudian ia bangun dari kesedihannya sebab penolakan Israel ini adalah bagian dari kedaulatan Allah. Ia berkata ouks … ekpeptoken ho logos tou Theou, ‘… firman Allah tidak mungkin gagal’ (ay. 6a). Tidak semua orang Israel adalah orang Israel. Inilah tesis dari ayat 6-13. Menurut Paulus, sesuai dengan remnant theology Perjanjian Lama, ada spiritual Israel di antara ethnic Israel yang lebih luas . Paulus menjelaskan pandangannya tentang ‘Israel di dalam Israel’ dengan dua argumentasi dari Perjanjian Lama, yaitu perjanjian (ay. 7 – 10) dam pemilihan (ay. 11 – 13). Dalam ayat 7 – 10 Paulus menunjukkan bahwa menjadi keturunan Abraham secara fisik bukanlah jaminan untuk menjadi umat Allah secara rohani. Ismael dan Isak adalah anak-anak Abraham secara lahiriah, tetapi hanya Isaklah yang diperhitungkan Allah sebagai keturunan Abraham (bdk. Kej. 12:21). Dasar pemilihan Isak adalah perjanjian Allah (Kej. 17:16, 19, 21; 18:10, 14). Ini berarti, menurut Paulus, bukan anak-anak menurut daging adalah anak-anak Allah, melainkan anak-anak menurut perjanjian. Dengan kata lain hak untuk menjadi keturunan Abraham sejati bukan terletak pada soal kelahiran melainkan pada janji Allah. Janji Allah-lah dasar dari masuknya seseorang ke dalam bilangan keturunan Abraham yang sejati.
Seolah-olah covenant based argument ini belum cukup, Paulus memberikan contoh dari generasi sesudah Isak, yakni kedua anaknya. Bisa jadi ini disebakan oleh adanya penolakan terhadap covenant based argument ini bahwa bukan perjanjian yang membedakan Ismael dan Isak melainkan kelahiran: yang pertama lahir dari seorang hamba, Hagar, sedang yang kedua dari seroang nyonya, Sara, (bdk. Gal. 4:21-23). Untuk mengatasi argumentasi yang demikikan Paulus mengambil contoh keluarga Isak. Esau dan Yakub tidak mengenali kelahiran seperti Ismael dan Isak. Mereka lahir tidak hanya dari satu ibu yang sama, tetapi juga dikandung pada saat yang bersamaan. Meskipun demikian ada perbedaan antara keduanya: Esau menjadi hamba Yakub (ay. 12). Penentuan ini bahkan terjadi jauh sebelum keduanya lahir. Mengapa harus demikian? Itulah yang Paulus bahas dalam ayat 11, yang menjadi tema acara wisuda ini. Penentuan hak Yakub pra- kelahiran dan pra-kerja ini dimaksudkan Allah untuk membuktikan bahwa pemilihan-Nya tidak didasarkan atas kualitas moral atau spiritual apapun dari manusia melainkan atas dasar kedaulatan kehendak-Nya. ‘Ketetapan Allah akan tetap berlaku: Allah tidak memilih seseorang berdasarkan perbuatannya, melainkan karena Ia memanggil mereka’. (Van Bruggen, Romeinen … 138). Tujuan dari panggilan ini adalah untuk meneguhkan pilihan-Nya. Untuk menunjukkan bahwa bukan karena kemurnian akhlak atau kebaikan moral, juga bukan karena kesalehan perbuatan atau amal ibadah Yakub menjadi tuan atas Esau melainkan bahwa Yakub telah dipilih untuk itu, maka Allah memanggil Yakub sebelum ia lahir. Apakah ini berarti Allah tidak adil? Apakah jika Allah memilih Yakub dan melewati Isak berarti Allah pandang bulu? Mustahil Allah tidak adil (ay. 14). Memilih yang satu dan membiarkan yang lain ada dalam kedaulatan Allah. Ia menaruh belaskasihan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan bermurah hati kepada saiapa yang dikenan-Nya (ay. 15). Jadi, demikian kesimpulan Paulus, dasar pemilihan Yakub bukan karena perbuatannya melainkan karena kemurahan hati Allah (ay. 16). Apakah manusia boleh protes? Silakan saja. Tetapi sama seperti tukang periuk memiliki hak atas tanah liatnya untuk membentuk dari gumpal yang sama suatu benda untuk tujuan yang mulia dan benda lain untuk tujuan biasa, demikianlah manusia di hadapan penciptanya (ay. 19-21).
Meskipun argumentasi Paulus dalan menunjukkan kedaulatan Allah atas manusia sudah sangat jelas, namun masih ada satu pertanyaan lagi yang harus kita ajukan, yakni mengapa Allah sama sekali tidak memperhitungkan perbuatan baik atau jasa manusia dalam pemilihan-Nya? Jawaban atas pertanyaan ini kita temukan dalam Roma 3:10-18. Ayat-ayat itu adalah kutipan dari Mazmur 14:1-3; 53:2-4; 5:10; 140:4; 10:7; Yesaya 59:7-8; Mazmur 36:2. Kesimpulan dari ayat-ayat ini adalah bahwa tidak ada seorang pun yang benar dalam ukuran Allah. Jadi jika pemilihan Allah didasarkan atas ketaatan atau kesalehan atau jasa manusia, maka tidak ada seorang pun yang akan selamat. Jika demikian tidak adakah sedikipun kesalehan pada manusia? Ada! Tetapi tidak lebih baik dari kain kotor , beged iddim (Yes. 64:6). Kata iddim berasal dari kata idda yang berarti menstruasi. Dalam Perjanjian Lama perempuan yang sedang mengalami menstruasi dipandang najis selama tujuh hari dan kenajisan itu dapat menular. Demikianlah kita baca, misalnya dalam Ulangan 15:19 bahwa setiap orang yang bersentuhan dengan perempuan yang sedang mengalami ‘sakit reguler’ ini, orang itu menjadi najis sampai matahari terbenam; bahkan orang yang bersentuhan dengan tempat tidurnya pun menjadi najis sampai matahari terbenam (Ul. 15:21). Inilah kualitas kesalehan manusia: kotor dan tidak menyenangkan, menular dan berbuah kejahatan. Apa yang akan terjadi jika Allah mendasarkan pemilihan-Nya pada kesalehan dengan kualitas seperti ini? Hukuman! Itulah sebabnya Paulus dengan sangat tegas berkata bahwa keselamatan itu adalah kasih karunia atau pemberian Allah, bukan hasil usaha manusia (Ef. 2:8-9)
Kesimpulan
Pemilihan dan panggilan ibarat satu koin dengan dua sisi. Pemilihan adalah dasar dari panggilan. Panggilan mengimplikasikan beberapa hal. Pertama, panggilan dimaksudkan untuk meneguhkan pemilihan; kedua, panggilan menunjukkan bahwa dasar dari pemilihan bukanlah jasa manusia melainkan belaskasihan atau kemurahan hati Allah. Hal ini tersirat baik dalam pemakaian kata bahar, yang memperlihatkan bahwa tekanan dalam pemilihan tidak terdapat pada proses dan objek tetapi pada subjek, yakni Allah, maupun ekloge, yang juga menunjuk pada tindakan Allah dalam memilih berdasarkan belaskasihan dan kemurahhatian-Nya. Paulus membahas hal ini dengan sangat jelas dalam Roma 9-11.
Mengapa Allah memanggil yang satu dan membiarkan yang lain? Pertanyaan ini logis, tetapi tidak ada yang dapat menjawabnya sesuai dengan keinginan manusia. Manusia menganggap kenyataan ini sebagai ketidakadilan, tetapi justru inilah keadilan. Manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Allah mengetahui hal itu dengan jelas. Jika Ia meminta dari kita syarat untuk keselamatan kita, padahal Ia sendiri tahu bahwa hal itu mustahil bagi kita, barulah kita boleh mengatakan Ia tidak adil.
Bibliografi:
G. J. Wenham, J. A. Motyer, D. A. Carson and R. T. France, ed., New Bible Commentary. Illionis: IVP Academic dan England: InterVarsity Press, 1994
Jacob van Bruggen, Romeinen: Christenen tussen stad en synagogue, CNT, Kampen: Uitgevers-maatschappij J. H. Kok, 2006
Robert Haldane, Romans: Geneva Series of commentaries, Pennsylvania, USA:The Banner of Truth Trust, 1996
Robert L. Reymond, A New Systematic Theology of the Christian Faith, second edition – revised and updated, in one volume, Nashville: Thomas Nelson Publishers, 1998
Th. van den End, Tafsiran Alkitab: Surat Roma, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995
Verlyn D. Verbrugge, ed., The NIV Theological Dictionary of the Newtestament Words, USA: The Zondervan Corporation, 2000
Langganan:
Postingan (Atom)