Rabu, 04 Februari 2015

HAK ALLAH DILANGGAR

Artikel (ditulis tahun 2005, tetapi baru dimuat sekarang)
Pdt. Marianus T. Waang, M. Th


Di Belanda ada satu program tv berbahasa Inggris dengan judul “The Pet Star“. Binatang-binatang peliharaan seperti anjing, babi, burung kakak tua, juga binatang bukan peliharaan selalu hadir dalam acara ini untuk menunjukkan kepintaran mereka. Ada yang pintar berdansa, menyanyi (misalnya burung kakak tua), dan ada pula yang bisa berdoa (misalnya anjing). Betapa pintarnya binatang-binatang ini. Mereka dapat melakukan hal-hal “sederhana” (= doa), yang sudah tidak dilakukan lagi oleh kebanyakan penduduk dunia; padahal mereka bukanlah makhluk berakal budi. Doa adalah tindakan akal budi. Mengapa anjing mau berdoa, sedangkan kebanyakan manusia sudah tidak mau lagi? Ada yang menjawab, “Ach, sebenarnya anjing itu tidak berdoa. Dia hanya melakukan perintah tuannya”. Mungkin; tetapi tidak apa-apa, sebab anjing masih taat kepada tuannya. Yang lain berkomentar, “Walaupun anjing dapat menunjukkan salah satu sikap berdoa, misalnya berlutut, kemudian menaruh tanganya di atas bangku, lalu menundukkan kepalanya, tidak berarti bahwa dia sedang berdoa. Sebab berdoa berarti berbicara dengan Allah. Jadi ada komunikasi. Padahal anjing tidak bisa berkomunikasi”. Ini juga bisa benar. Tetapi jangan lupa bahwa anjing dapat mengerti apa maksud tuannya, dan dapat melakukan dengan tepat apa yang diperintahkan kepadanya. Di samping itu, ada pula anjing yang dapat memberitahu manusia apa yang manusia perlu tahu, misalnya anjing-anjing dari Brigadir Anjing, milik AU, yang berjarak beberapa ratus meter saja dari kampus SETIA (yang lama).
Fenomena ini menjadi indikasi bahwa setidak-tidaknya anjing dapat berkomunikasi. Jadi pada batas tertentu – dalam kaitan dengan doa - ternyata binatang (anjing) lebih baik daripada manusia. Anjing masih bisa berkomunikasi dengan tuannya, sedangkan manusia tidak lagi. Dalam tulisan ini saya mencoba untuk menunjukkan salah satu kebobrokan manusia gambar Allah, yang karena keinginannya, menginjak-injak kemuliaan Allah dan kehendak-Nya.


Pernikahan pasangan homo dan lesbi (holebi
[1]).

Anjing berdoa, manusia berdua secara non hetero. Dalam skala dunia, setidak-tidaknya sudah ada empat negara yang secara resmi mengakui pernikahan pasangan homo: Belgia, Kanada,
[2] Belanda, dan Spanyol. Inggris pasti akan menyusul lagi sebagai negara kelima pada bulan Desember. Parlemen Spanyol telah menyetujui dan menetapkan peraturan tentang pernikahan pasangan homo pada tanggal 30 Juni yang lalu. Zapatero, Perdana Mentri dan ketua Partai Sosialis Buruh Spanyol mengatakan bahwa dengan keputusan ini, negaranya telah mengalami satu langkah lebih maju dalam perjalanan menuju kebebasan dan toleransi. Tentu kebebasan yang dimaksudkannya adalah kebebasan setiap orang untuk memilih cara hidup sesuai dengan apa yang diinginkannya. Lalu toleransi – sesuai dengan konteks di mana kata ini dipakai – pastilah berarti bahwa setiap orang mempunyai hak untuk dihargai dan dihormati. Apa yang dilakukannya, tidaklah perlu dianggap salah, apalagi dilarang. Sebagai konsekuensinya, maka pasangan holebi pun diberi hak untuk mengangakat anak. Belum jelas bagi saya siapa yang akan dipanggil Bapak dan siapa yang akan dipanggil mamak oleh anak itu.

Di samping itu para pemimpin Gereja Methodis di Amerika Serikat juga telah memberi persetujuan terhadap pernikahan pasangan holebi. Walaupun The United Church of Christ masih agak ragu apakah akan mengikuti langkah suadara sepupunya (methodis), namum kehihatannya hasrat untuk setuju sudah hampir bulat sebab sejak akhir abad ke-20 Gereja ini telah mendapat banyak simpatisan dari holebi.

Protes

Ada demo(-nstrasi) dari saudara-saudara kita beragama Katolik di bawah pinpinan para uskup di sana (Spanyol), tetapi bukti ketidaksetujuan mereka itu tepat seperti apa yang dikatakan pengkhotbah: USAHA MENJARING ANGIN (Pkh. 1:14; 2:11, 17, 26). Atau seperti kata pepatah kita: anjing menggonggong, kafila berlalu. Parlemen Spanyol seolah-olah tidak mempunyai mata dan telinga untuk melihat sikap protes itu dan mendengar teriakan mereka. Mereka yang tentunya adalah gambar dan rupa Allah itu, ternyata buta dan tuli untuk aksi protes dan seruan sekelompok anak Tuhan yang masih berketetapan untuk taat pada kehendak-Nya.
Karena persetujuan terhadap pernikahan holebi dilihat sebagai suatu langkah maju menuju kebesan dan toleransi, maka teriakan saudara-saudara kita yang menentang pastilah dianggap sebagai sikap mengekang kebebasan dan tidak toleran. Padahal mereka menyatakan sikap yang tegas di mata Allah terhadap apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan-Nya; apa yang sesuai dengan kehendak-Nya dan apa yang tidak; mana hubungan sosial yang manusiawi dan mana yang tidak; mana tindakan untuk menikmati seks yang - sudah jelas-jelas adalah pemberian Allah itu - sesuai dengan hakikat pencipataannya dan mana yang tidak. Jadi mereka menyuarakan kebenaran.
Menolak untuk mendengarkan protes mereka sama dengan tidak peduli terhadap seruan kebenaran. Dalam hal ini Allah dan firman-Nya dilihat oleh manusia gambar-Nya itu, sebagai pengekangan dan ketidakhormatan (ketidaktoleranan?) terhadap kebebasan manusia untuk menikmati seks.

Hampir setua usia dunia

Memang menikmati seks secara homo bukanlah sesuatu yang baru dalam sejarah hidup manusia. Alkitab meberitahu kita bahwa umur perbuatan mesum ini hampir setua usia dunia. Dalam Kejadian 19 kita membaca betapa orang-orang Sodom dikuasai nafsu seksnya hingga hendak memakai (pakai = ay. 5) kedua tamu Lot, yang tidak lain adalah dua orang malaikat utusan Allah untuk membinasakan penduduk kota Sodom karena kejahatan mereka. Memang dalam bacaan ini tidak secara eksplisit disebutkan bahwa kedua orang itu laki-laki. Tetapi dari sapaan Lot: tuan-tuan, jelaslah bahwa mereka adalah laki-laki.

Juga dalam Roma 1:27 kita membaca, “Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan istri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, …”

Kebebasan + Toleransi = Wajar?

Dalam Kejadian 19 kita membaca bahwa Lot mencoba untuk menyelamatkan tamu-tamunya dari kecamuk birahi para lelaki kota Sodom dengan menawarkan kedua anak perempuannya. Walaupun memang tindakan Lot ini tidak baik di mata para etikus dan moralis, dan tidak benar di mata Allah, tetapi setidak-tidaknya Lot menawarkan sesuatu yang wajar (ay. 6-8). “…, saudara-saudaraku, janganlah kiranya berbuat jahat”, kata Lot (ay. 7). Dengan nasihat pendek berupa permintaan ini, pastilah Lot mau mengatakan, “Hai saudara-saudara, jika ingin menikmati seks, nikmatilah dengan cara yang wajar: laki-laki dengan perempuan. Ini dua anak perempuan saya. Ambilah! Walaupun ini TIDAK BENAR, tetapi setidak-tidaknya kalian masih bisa melakukannya dengan cara yang wajar: laki-laki dengan perempuan”.

Melakukan ketidakbenaran dalam kewajaran. Bolehkah? Tidak benar, tidak menjadi soal’ yang penting wajar. Benarkah?

Mungkin ada pembaca yang berkata: Mana saya tahu? Atau: Kok tanya saya, tanya aja sama Lot. Kan dia yang nawarin anak perempuannya? Sayang, Lot sudah tidak ada, jadi saya tidak dapat bertanya kepadanya. Tetapi ada Roh Kudus. Saya bisa bertanya kepada-Nya mengapa Lot mau melakukan kebaikan kepada tamu-tamunya dengan jalan kebodohan? Mengapa Lot mau menjadi pahlawan bagi kedua tamunya, tetapi menjadi benteng tak berpintu dan penjaga bagi kedua anak gadisnya? Jawabannya satu: “Saudara-saudaraku, janganlah kiranya berbuat jahat” (ay. 7).

Lot bermaksud menolong orang-orang Sodom yang disapanya sebagai saudara itu agar mereka tidak melakukan kejahatan. Tetapi memberikan kedua anak perempuannya itu juga bukan perbuatan yang baik. Itu pun kejahatan. Kejahatan, baik di mata Allah maupun kedua anaknya. Kalau begitu, apakah Lot bermaksud menghindarkan orang-orang Sodom dari berbuat jahat dengan melakukan kejahatan? Atau apakah dengan tindakannya itu, Lot bermaksud mengatakan bahwa jahat atau tidak benar tidak menjadi soal, asal wajar? Jika orang-orang Sodom menerima permintaan Lot, apakah tidak mungkin bahwa Lot akan dianggap oleh kedua anak perempuan dan istrinya sebagai yang paling jahat dari orang-orang Sodom karena lebih mengasihi tamu-tamu asing itu, daripada mereka sendiri, yang adalah darah dagingnya?

Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas apa sikap dan tanggapan istri dan anak-anak Lot terhadap tindakannya. Saya membatasi tulisan ini hanya pada Lot.

Apa yang dibuat oleh keponakan Bapak semua orang percaya ini, tidak ada hubungan dengan persoalan wajar atau tidak wajar. Tindakannya bukanlah indikasi bahwa dia setuju terhadap perbuatan mesum para lelaki kota Sodom asalkan wajar: laki-laki dan perempuan. Ia hanya berusaha untuk menujukkan kebaikan dan perlindungan kepada kedua tamunya. Melakukan kebaikan terkadang menyaratkan kehilangan sesuatu yang berharga. Tawarannya untuk memberikan kedua anak perempuannya tidak merupakan suatu usaha untuk menunjukkan kewajaran meskipun salah tetapi sebagai sikap protes. “Jika saudara-saudara berniat merusakkan kehidupan kedua tamu saya, rusakkanlah hidup saya sekalian dengan mengambil kedua anak saya ini”. Penawaran Lot tidak dapat dilihat sebagai sikap toleran terhadap kebebasan para lelaki Sodom, juga bukan karena soal ketidakwajaran, melainkan karena kebenaran. Menghargai kebebasan dan bersikap toleran belum tentu menghasilkan sesuatu yang wajar, apalagi benar di mata Allah.

Bagi Zapatero penolakan Lot pastilah merupakan sikap tidak mengahargai (tidak toleran) terhadap kebebasan orang-orang Sodom untuk menikmati seks sesuai dengan yang mereka inginkan. Padahal jika permintaan mereka dipenuhi Lot, maka ia pun tidak toleran terhadap kedua orang tamunya untuk hidup secara bebas. Konsekuensi yang kedua ini namapaknya tidak mendapat perhatian dari para peneriak kebebasan menikmati seks secara non hetero. Betapa tidak, dengan bersikap demikian, mereka telah melanggar kebebasan orang lain untuk mempertahankan pola hidup pernikahan yang wajar dan normal. Mengiakan pernikahan holebi sama dengan memperkecil kemungkian bagi orang lain untuk menikah secara hetero. Usaha mereka untuk mengadopsi anak pun tidak lain adalah pelanggaran terhadap hak dan kebebasan seorang anak untuk memiliki ibu seorang perempuan dan Bapak seorang laki-laki.

Pasangan lesbi hamil dan melahirkan.

Kompas 25 Juli yang lalu memuat sebuah artikel dengan judul: Lesbian: “Anda ingin Bayi? Klik Saja Disini…!” Dalam artikel ini disebutkan bahwa ada terobosan yang menggembirakan bagai pasangan lesbian dan perempuan lajang yang menginginkan anak. Mereka tinggal klik website:
http://www.mannotincluded.com (baca: Man not included, secara harfiah: laki-laki tidak terlibat), dan sperma segera dikirim ke pintu rumah mereka. Sudah ada 16 perempuan dari pasangan lesbi yang hamil melalui jasa internet ini. Sekitar 5.000 perempuan telah mendaftarkan diri dan memesan sperma, dan lebih dari 800 laki-laki telah terdaftar sebagai pendonor. Jaemi (26 thn), salah satu di antara mereka yang sudah hamil bercerita: “Saya melompat-lompat kegirangan ketika test kehamilan saya positif, sedangkan Sarah (pasangannya, 31thn) duduk dengan lemas karena schok. Kami tahu, sejumlah orang akan menentang apa yang telah kami lakukan, tetapi selama anak-anak kami dicintai dengan sepenuh hati, saya tidak melihat ada yang salah.”

Selama anak-anak Jaemi dan Sarah dicintai dengan sepenuh hati, tidak ada yang salah, kata Jaemi. Cinta atau kasih sayang, mereka anggap sebagai kriteria sebuah kebenaran, bukan firman dari Tuhan yang menciptakan mereka. Yang penting ada kasih sayang, bukan Tuhan. Selanjutnya dalam artikel itu juga disebutkan bahwa Josephine Quintavalle dari kelompok Comment on Reproductive Ethics mengeritik tindakan ini. Menurutnya website ini telah mengabaikan hak anak-anak demi sekelompok orang dewasa yang hanya memikirkan kesenangannya sendiri. Dr. Anthony Cole, ketua The Medical Ethics Alliance mengatakan bahwa website ini harus mempertimbangkan kegelisahan yang berkembang di masyarakat akibat penjualan sperma yang semata-mata didasarkan atas kepentingan komersial. Alasannya karena mereka meruntuhkan tatakrama yang sudah dibangun selama berabad-abad.

Atas nama kasih sayang, Jaemi membenarkan tindakannya. Lalu atas nama hak asasi anak-anak dan tata krama, Quintavalle dan Cole mengeritik. Tidak ada yang melihat masalah ini dari segi iman. Mungkin karena mereka sudah tidak percaya lagi. Atau masih percaya tetapi tidak berani berbicara dari sudut pandang iman.

Harkat manusia.

Jika Negara-negara penggagas dan pendudukung pernikahan holebi diperhadapkan dengan Allah yang telah menciptakan dan membesarkan mereka, maka mereka tidak lain adalah pemberontak-pemberontak yang tidak memiliki rasa hormat sedikitpun terhadap Pencipta mereka. Atas nama sikap toleransi terhadap kebebasan pribadi, mereka melanggar hak Allah untuk mendapat hormat dan pujian dari ciptaan-Nya. Atas nama cinta atau kasih sayang, mereka membenarkan apa yang dilarang oleh Allah. Kalau kita pertentangkan mereka dengan Mazmur 150:6, “Biarlah segala yang bernafas memuji Tuhan”, maka mereka pastilah antonim dari segala yang bernafas, alias segala yang tidak bernafas, sebab mereka tidak memuji Allah. Atau dengan Mazmur 8:6, bahwa manusia diciptakan Allah hampir sama seperti Dia, dan Kejadian 1:27, bahwa manusia diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah, maka kita harus berani berksimpulan bahwa mereka bukan manusia
[3], sebab manusia yang diciptakan Allah hampir sama dengan Dia, dan dalam gambar dan rupa-Nya, pastilah mengenal dan menghormati Dia. Nampaknya apa yang dikatakan Blaise Pascal abad ke-17 yang lalu bahwa manusia yang telah rusak karena dosa dan dikuasai oleh dosa, jatuh dari harkatnya sebagai gambar Allah dan menjadi sama seperti binatang, ada benarnya. Sayang dalam konteks holebi, jika dilihat dari segi moral, hak asasi, terutama firman Allah, kelihatannya binatang masih lebih baik dari manusia. Pernahkah ada pembaca yg melihat, membaca, atau mendengar cerita tentang binatang kawin secara holebi? Saya belum pernah.

Carilah Tuhan

Apa yang saya tulis ini adalah apa yang terjadi (atau mungkin baru menjadi persoalan) di dunia Barat: Eropa dan Amerika. Masih terlalu jauh dari jangakuan pandangan secara geografis. Walaupun demikian iptek menghubungkan kita sedemikian dekat ibarat kita memandang telapak tangan sendiri. Artinya, cepat atau lambat, mungkin tidak kita dan anak-anak kita, tetapi cucu-cucu kita, akan bergumul juga dengan persoalan ini, sama seperti saudara-saudara kita di benua Eropa dan Amerika. Setiap orang Kristen di kedua benua ini, yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan mengalami pergumulan yang tidak ringan untuk masa depan Gereja dan keturunan mereka. Tidak ada metode atau cara apa pun yang dapat diandalkan untuk tetap hidup beriman di dunia yang rusak ini. Dalam hal ini firman Tuhan kepada Amos menjadi satu-satunya jalan keluar: Carilah Aku (Allah), maka kamu akan hidup (5:4), Carilah yang baik dan jangan yang jahat (ay 14). Atas nama hak asasi dan toleransi, manusia telah melanggar hak Allah untuk mendapat pujian dan penghormatan yang patut dari ciptaan-Nya.
[1] Selanjutnya kedua kata ini (homo dan lesbi) akan disingkat holebi dalam sisa tulisan ini.[2] “Di Kanada memang masih menunggu keputusan Senat”, demikian komentar satu surat kabar Kristen di Belanda, Nederlands Dagblad, jumad, 1 Juli 2005.[3] Di sini debat teologis: apakah manusia kehilangan gambar Allah setelah kejatuhan menjadi suatu pergumulan.

GEREJA (Bagian satu)

Siapakah engkau

Pdt. Marianus T. Waang, M. Th

Kata ‘gereja’ berasal dari dua kata Yunani yang berbeda: kuriakos dan ekklesia. Kuriakos artinya ‘milik’ atau ‘kepunyaan’ Allah, dan biasa dipakai baik untuk gedung yang dipakai orang Kristen yang berkumpul maupun untuk orang Kristen sendiri sebagai ‘bangunan rohani’ (bdk. 1Pet. 2:5).  Kata ini hanya muncul 2 kali dalam PB (1Kor. 11:20; Why. 1:10). Ekllesia artinya ‘kumpulan’, ‘pertemuan’ dari orang-orang yang telah ditebus Kristus dengan darah-Nya. Kata ini muncul lebih dari 100 kali dalam PB.  

Dalam tulisan ini, istilah Gereja tidak menunjuk kepada bangunan, tetapi kepada ‘orang percaya’.  Artinya, kita tidak berbicara tentang Gereja sebagai organisasi, tetapi sebagai organisme.

Apakah Gereja baru ada dalam PB? Tidak! Gereja sudah ada sejak zaman PL di dalam Israel. Gereja tidak sama dengan Israel karena selalu ada orang Israel yang bukan keturunan Abraham secara rohani (lih. Rm. 9:6-8; bdk. Yoh. 8:37-47). Dengan kata lain Gereja adalah keturunan Abraham secara rohani.

Gereja adalah orang-orang percaya, yakni mereka yang ber-TUHAN-kan Yesus Kristus, tunduk di bawah otoritas-Nya, tinggal di dalam Dia dan berbuah untuk kemuliaan Allah (Yoh. 15:1-17). Jika Gereja tidak percaya kepada Kristus, tidak tinggal di dalam Dia, tidak berbuah untuk kemuliaan Allah, maka ia bukan Gereja melainkan LSM.

Oleh Paulus Gereja disebut ‘orang-orang kudus’, ‘tubuh Kristus’ (Ef. 4:12); ‘keluarga Allah’ (Ef. 2:19; 1Tim. 3:11).


  • Gereja memang adalah orang-orang kudus, yakni orang-orang yang telah dipisahkan atau dikhususkan Allah untuk diri-Nya sendiri, yakni menjadi milik kepunyaan-Nya. Karena itu bagi Gereja mutlak berlaku hukum: ‘Jangan ada padamu Allah lain di hadapan-Ku’.

  •  Gereja adalah tubuh Kristus, berarti bahwa Gereja tidak bisa ada tanpa Kristus. Sama seperti tubuh tanpa kepala adalah mayat, demikianlah Gereja tanpa Kristus sebagai Kepala adalah kumpulan orang-orang ‘mati’. Dari segi pengakuan, semua Gereja mengaku bahwa Kristus adalah Tuhan dan Tuan. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari, justru bukan Kristus yang memegang kendali, melainkan kebutuhan hidup dengan segala tuntutannya.  Hari minggu harus beribadah? Ya, kalau cuaca baik. Ya, kalau ladang sudah dipanen. Ya, kalau sedang kurang atau tidak sibuk. Ya, kalau order (pesanan) lagi sepi, dll. Inilah wajah kebanyakan Gereja abad ke-21. Gereja adalah Tubuh Kristus berarti bahwa Gereja dikendalikan oleh Kristus. Namun dalam kendali kebanyakan orang yang mengaku Gereja ternyata dipegang oleh perusahanya, ladangnya, sawitnya, sawahnya, hobinya, ponselnya, laptopnya, pasangannya, dll.  Inilah orang-orang yang ber-Tuhan-kan perut (Flp. 3:19; lih. juga Rm. 16:8).

  •  Gereja juga adalah sebuah keluarga: keluarga Allah. Artinya di dalam Gereja harus telihat kehidupan sebuah keluarga: ada persekutuan, ada komunikasi, ada saling memperhatikan, ada tanggung jawab, ada nasehat, ada penyelesaian masalah, dll. Saling mencibir, memusuhi dan menjatuhkan mesti tidak kelihatan di dalam Gereja.

Oleh Petrus Gereja juga disebut ‘rumah rohani, imamat yang kudus’ (1Ptr. 2:5); ‘bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri’;  orang-orang ‘yang dahulu bukan umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi umat-Nya, yang dahulu tidak dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belas kasihan’ (1Ptr. 2:9-10).

  •  Gereja adalah ‘rumah rohani’ berarti Gereja adalah tempat hal-hal rohani, yang oleh Paulus disebut ‘perkara-perkara yang di atas’, dibicarakan dan dihidupi.

  • Gereja adalah ‘imamat yang kudus’ atau ‘rajani’ bukan berarti bahwa Gereja tidak lagi berbuat dosa, tetapi bahwa Gereja adalah orang-orang berdosa yang dikhususkan Allah sebagai milik-Nya atas dasar kasih karunia-Nya. Juga gereja bukanlah raja, melainkan pelayan kasih Allah. Imam adalah perantara. Ia berdiri di antara Allah dan manusia. Imam boleh disebut ‘jalan’ yang menghubungkan Allah dan manusia dan sebaliknya. Dalam batasan seperti ini, Gereja adalah jalan antara Allah dan dunia dan sebaliknya. Melalui Gereja, Allah melaksanakan rencana penyelamatan-Nya. Maka sebagai imamat yang kudus dan rajani, Gereja adalah orang-orang yang bertugas dan kewajiban memberitakan kabar baik, yakni Injil kepada dunia.

  • Gereja adalah bangsa yang terpilih. Artinya gereja ada tidak atas kemauannya, tetapi atau kemauan Allah. Dengan begitu Gereja mestilah hidup tidak atas kehendaknya. Sebaliknya kehendak Allah-lah yang mesti mengatur, mengarahkan dan mengontrol hidup dan kerja Gereja
  • Sebelum menjadi Gereja, kita bukan umat Allah dan hidup di luar belaskasihan. Tetapi sekarang, Gereja adalah umat Allah dan hidup dari belaskasihan-Nya. Itu berarti tidak ada alasan untuk membagakan diri betapapun suksesnya. Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia dan untuk Dia (Rm. 11:36)

Kesimpulan

Meskipun istilah Gereja dapat juga merujuk kepada institusi atau lembaga, dalam artikel pendek ini – juga dalam lanjutannya – kita memakai istilah Gereja sebagai rujukan dari orang-orang percaya. Dalam hal ini kita memandang Gereja dari aspek ‘organisme’.
Sebagai Gereja, kita adalah orang-orang yang telah diasingkan dari dunia. Kita adalah satu kawanan milik Allah.  Itu berarti bahwa hidup dan kerja kita adalah cerminan kasih Allah. melalui kita dunia merasakan kasih Allah dan  memuliakan Dia.

Andaikan hari ini Yesus mengadakan SIDAK, akan keluarkah pernyataan berikut ini dari mulut-Nya?  “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba yang setia …. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu?”(Mat. 25:23).  

Hal ini baru akan terjadi ketika Gereja menunjukkan dirinya sebagai milik Allah seutuhnya, tunduk penuh pada perintah-Nya dan hidup sebagai keluarga Allah yang kudus dan imamat yang rajani.

Keluarga Allah berarti keluarga di mana kehendak Allah dicari, diajarkan dan dihidupi. Dan imamat yang rajani berarti bahwa Gereja sebagai kelompok imam, berdiri di antara Allah dan dunia, sama seperti orang Lewi PL berdiri di antara Allah dan kesebelas suku Israel.

Sama seperti melalui keimamatan Lewi, Allah mendamaikan diri dengan Israel dan sebaliknya: Israel diperdamaikan dengan Allah; demikianlah melalui Gereja Allah mendamaikan diri dengan dunia oleh Kristus, dan sebaliknya. Inilah Gereja, yakni orang-orang yang telah diperdamaikan dengan Allah oleh Kristus dan yang ditugaskan untuk membawa berita pendamaian melalui Kristus itu kepada dunia!