Kamis, 08 Maret 2012

Khotbah di Bukit V

Perceraian

Matius 5:31-32
31 Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. 32 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.

Setelah berbicara tentang kemarahan dan perzinahan, sekarang Yesus menyinggung soal perceraian: “Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya” (ay 31). Ini adalah kutipan dari Ulangan 24:1. Di sana disebutkan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya ‘... jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, ...’ dengan memberikan surat cerai.Ada dua pandangan yang berkembang di kalangan orang Yahudi pada masa Yesus mengenai ungkapan ‘yang tidak senonoh’ ini. Yang pertama adalah orang Farisi dari kalangan sekolah Shammai. Menurut mereka frase ini khusus menunjuk pada perzinahan. Yang kedua berasal dari sekolah Hillel. Menurut kelompok ini setiap alasan perceraian adalah sah, misalnya jika sang istri membiarkan masakan hangus atau suami melihat perempuan yang lebih cantik.
Dalam tradisi Yahudi, perempuan tidak berhak menceraikan suaminya. Kalau sang istri sudah benar-benar tidak dapat menanggung perlakukan suaminya, paling banter ia lari. Seorang perempuan boleh diizinkan meninggalkan suaminya, jika sang suami tidak memberikan tiga hal: makanan, pakaian dan persetubuhan: “Jika tuannya itu mengambil perempuan lain, ia tidak boleh mengurangi makanan perempuan itu, pakaiannya dan persetubuhan dengan dia. Jika tuannya itu tidak melakukan ketiga hal itu kepadanya, maka perempuan itu harus diizinkan keluar, dengan tidak membayar uang tebusan apa-apa" (Kel. 21:10-11).
Bagaimana pandangan Yesus tentang hal ini? Ini dia: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah” (ay 32). Apakah pernyataan Yesus ini berarti bahwa menurut Dia ada satu dasar atau alasan bagi perceraian yaitu perzinahan? Jika demikian mengapa Ia menolak pemberian surat cerai? Jawaban atas pertanyaan ini akan kita bahas ketika kita menafsir pasal 19:3-9 dan ayat parelnya dalam Markus 10:1-12.
Hukum Musa memperbolehkan perceraian. Perempuan yang diceraikan boleh dinikahi. Yang tidak dibolehkan adalah jika perempuan yang sudah diceraikan itu telah menikah dengan laki-laki lain dan diceraikan lagi atau suaminya yang kedua itu meninggal, maka mantan suaminya yang pertama tidak boleh mengambil dia sebagai istrinya lagi sebab perempuan itu telah tercemar atau dicemari (Ul. 24:1-4). Dengan kata lain yang dilarang adalah pernikahan ulang.
Melihat latar belakang ini, maka jawaban Yesus sangat mengagetkan. Hukum Kerajaan Allah ternyata tidak mengehendaki perceraian dari anggota Kerajaan itu. Siapa yang menceraikan istrinya, telah menjerumuskan istrinya dan lelaki yang menikahinya ke dalam perzinahan. Jadi seorang suami yang menceraikan istrinya menyebabkan dua orang melakukan dosa perzinahan, yakni mantan istrinya dan suaminya. Apa yang diperbolehkan di dalam hukum Musa sama sekali tidak diperbolehkan dalam Kerajaan Allah.
Dalam kehidupan gereja dewasa ini, entahkah di Barat atau di Timur, di Amerika, Jerman atau Indonesia, terdapat berbagai alasan bagi perceraian. Ada yang bercerai karena perselingkuhan. Ada pula karena ketidakcocokan yang selalu berujung pada pertengkaran yang tiada hentinya. Yang lain lagi karena alasan keturunan (istri tidak memberi anak), isteri atau suami terlalu cemburu, suami kehilangan pekerjaan, salah satu pihak bertemu mantan pacar, dan seterusnya. Memang tidak ada kebaktian perceraian. Tetapi ini tidak berarti gereja tidak menyetujui perceraian. Gereja biasanya memberkarti orang-orang yang bercerai itu jika mereka menikah lagi dengan orang lain. Sikap ini secara tidak langsung menunjukkan persetujuan gereja terhadap perceraian. Padahal, sikap Yesus Sang Kepala gereja sangat jelas dalam hal ini: TIDAK BOLEH.

Khotbah di Bukit IV

Perzinahan

Matius 5:27-30
27 Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. 28 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. 29 Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka. 30 Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka.

Dalam keenam ayat ini, Yesus berbicara tentang perzinahan: “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah” (ay 27). Firman yang dimaksudkan-Nya ialah hukum yang ketujuh dari Dasa Titah (Kel. 20:14 ; Ul. 5:18; Mat. 19:18). “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya” (28). Ternyata hukum Kerajaan Allah memandang bersalah tidak hanya apa sudah terjadi atau perbuatan tetapi juga apa yang masih tersebunyi di dalam hati yakni keinginan. Itulah sebabnya mengapa Yesus menyebut: ‘berbahagialah orang yang suci hatinya,karena merekalah yang akan melihat Allah’ (5:8). Dalam kebudayaan dunia Oriental, perempuan kurang mendapat perhatian dari laki-laki. Dalam kebudayaan yang demikian, jika ternyata ada seorang laki-laki yang memandang seorang perempuan, maka pandangan itu ‘berbicara’ banyak, juga bagi perempuan itu. Ada peribahasa kita yang mengungkapkan hal ini dengan baik: ‘dari mana datangnya linta, dari sawah turun ke kali; dari mana datangnya cinta, dari mata turun ke hati. Tatapan sang lelaki menyampaikan keinginan seks yang di dalam hatinya kepada sang perempuan melalui matanya. Hati bertemu hati melalui mata. Persetubuhan terjadi di sana. Itulah sebabnya mengapa Yesus tidak mengatakan bahwa laki-laki itu berdosa dalam keinginannya tetapi bahwa laki-laki itu sudah melakukan perzinahan dengan perempuan itu di dalam hatinya. Salah satu anggota tubuh – yang paling kecil sekalipun – dapat membahayakan seluruh tubuh. “Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka” (ay 29). Demikianlah juga dengan tangan (ay 30). Kalau begitu apakah kita harus memotong setiap bagian tubuh yang akan mendatangkan dosa? Tidak! Sebab itu berarti kita membunuh diri sendiri, karena cepat atau lambat semua anggota tubuh akan habis. Hanya ada satu cara untuk luput dari dosa, yaitu berhati-hati dengan tubuh kita: dengan paha yang mulus, dengan pipi yang lesung, dengan senyum yang menawan, dengan mata yang indah, dengan hidung yang mancung. Waspadalah terhadap kegantengan dan kecantikan kita. Jangan biarkan satu pun anggota tubuh kita menjerat kita dengan dosa. Janganlah mereklamekan tubuh!
Dari kata kerja yang dipakai (moicheuein) nampak bahwa Yesus sedang berbicara tentang perselingkuhan, bukan tentang persetubuhan pada umumnya atau pelacuran karena untuk yang ini kata yang biasanya dipakai adalah (porneuein). Ini tidak berarti bahwa mereka yang belum menikah boleh mengingini dan melakukan perzinahan dengan siapa saja asalkan pasangannya bukan suami atau istri orang. TIDAK!


Sekali lagi Yesus membuka kedalaman hukum Taurat. Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat hanya memperhatikan apa yang tampak tetapi Yesus memperhatikan sampai kepada apa yang menjadi dasar atau motifnya. Apa yang terjadi di dalam hati adalah dasar dari apa yang terjadi di luar. Di sana, di dalam hati manusia, terdapat akar dari segala persoalan yang terjadi di luar: “sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang" (Mrk. 7:21-23). Itulah sebabnya ada firman: “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan” (Ams. 4:23; bdk. Mat. 12:35).

Khotbah di Bukit III

Pembunuhan

Matius 5:21-26
21 Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. 22 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. 23 Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, 24 tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu. 25 Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. 26 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas.

Hukum Taurat melarang pembunuhan (Kel. 20:13; Ul. 5:17). Artinya seorang pembunuh adalah seorang pelanggar hukum Allah. Ia dipandang bersalah dan harus dihukum (bdk Ul. 19:21). Apakah itu berarti marah tidak apa-apa? Tidak! Dalam Kerajaan Allah kemarahan sama dengan pembunuhan. Bahkan sebenarnya kemarahan lebih berat dari pembunuhan: orang yang dibunuh hanya sebentar saja merasakan sakit, tetapi rasak sakit karena dimarahi, dicaci maki dan disumpahserapahi dapat berlangsung seumur hidup. Kemarahan menanam dan menumbuhkembangkan kepahitan. Kata-kata yang kasar dan merendahkan adalah pembunuh karakter yang handal. Yesus mengatakan bahwa siapa yang mengatakan kepada saudaranya: kafir! harus diadili dan: jahil! akan dimasukkan ke neraka yang menyala-nyala. Kedalaman makna larangan ‘Jangan membunuh’ diperlihatkan Yesus di sini. Tidak hanya dengan senjata seseorang dapat membunuh, tetapi juga dengan kata-kata. Ungkapan ‘fitnah lebih kejam dari pembunuhan’ menggambarkan dengan jelas kekuatan kata-kata.
Dalam Wahyu 21:8, disebutkan bahwa ‘... orang-orang yang tidak percaya, orang-orang keji, orang-orang pembunuh, orang-orang sundal, tukang-tukang sihir, penyembah-penyembah berhala dan semua pendusta...’ akan mendapat bagian dalam lautan yang menyala-nyala oleh api dan belerang (Why. 21:8). Yesus menyebutkan bahwa orang yang marah kepada saudaranya pun akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. Artinya bahwa orang yang marah dan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas sama dengan mereka yang disebutkan dalam ayat ini. Kemarahan adalah jembatan kejahatan. Karena itu: ”Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan” (Mzm. 37:8).
Kemarahan dan kata-kata yang tidak senonoh tidak hanya merusakkan hubungan antarsesama saudara tetapi juga mengganggu relasi dengan Allah. Jika sedang marah, segeralah berdamai karena saudaramu yang dimarahi akan terus mengadu kepada Allah. Di mata Allah kemarahan lebih berat dari persembahan. Kemarahan menutupi jalan menuju altar persembahan dan doa.Kemarahan merusak kelayakan ibadah kita. Sama seperti nila setitik merusak susu sebelanga, demikianlah kemarahan merusak relasi kita dengan sesama dan dengan Allah. Memarahi dan mencela seseorang sama dengan memarahi atau mencela Allah, karena manusia adalah gambar Allah.

Khotbah di Bukit II

Peraturan Kerajaan: Lebih dari yang sudah lazim

Matius 5:17-20
17 "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.
18 Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.
19 Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga. 20 Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.


Ibarat rantai, ayat 17-21 merupakan penyatu antara ayat 3-16 dan ayat 21-48. Kualifikasi warga kerajaan Allah seperti dalam ayat 3-12 tidak pernah ada dalam pengajaran dan kehidupan para ahli taurat dan orang farisi (ay 20). Orang Israel tidak menyadari hal itu. Mereka tentu sudah terbiasa dengan ajaran para pemimpin rohani mereka ini dan percaya bahwa pengajaran mereka benar adanya. Ketika mendengar bahwa pemilik kerajaan Allah adalah mereka yang miskin dalam roh, pemilik bumi adalah mereka yang lemah lembut dan bahwa anak-anak Allah adalah mereka yang membawa damai bukan yang berprinsip mata ganti mata dan gigi ganti gigi, mereka tentu berpikir bahwa Yesus telah mengubah hukum Taurat. Tetapi Yesus menegur dengan keras. Tidak boleh ada yang menyangka demikian. Ia tidak datang untuk meniadakan hukum Taurat dan kitab para nabi melainkan menggenapinya. Istilah menggenapi dapat berarti: pertama, memenuhi apa yang dijanjikan dahulu (nubuatan) dan kedua, melengkapi apa yang masih kurang. Semuanya harus terjadi seperti yang difirmankan (ay 17-18, bdk Yes. 55:10-11). Jika ada orang yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat, meskipun yang paling kecil, ia akan mendapat hukuman. Sebaliknya, setiap orang yang melakukan dan mengajarkan perintah-perintah itu dengan benar atau tepat akan mendapat upah (bdk Why, 22:18-19). Atau jika ada orang yang hanya mengajarkannya tetapi tidak melakukannya, ia pun tidak akan luput dari hukuman: “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Mat. 5:20). Mengapa hidup keagamaan para pemimpin rohani ini tidak memungkinkan mereka menjadi warga Kerajaan Allah? Karena mereka omdo alias omong doang. Inilah penilaian Yesus terhadap kesenjangan antara teori dan praktik, antara orthoksi dan orthopraksis, antara iman dan penerapan dari para pemimpin umat: “Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya” (Mat. 23:2-4). Dalam ayat 21-48 Yesus memberikan beberapa contoh mengenai tugas-Nya untuk memenuhi hukum Taurat dan kitab bara nabi itu.
Ayat-ayat ini biasanya disebut antithesis atau pertentangan. Bagian pertama dipertentangkan dengan bagian kedua: ‘Kamu telah mendengar … - ‘tetapi Aku berkata kepadamu…’ Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa apa yang diajarkan Yesus tentang bagaimana seseorang dapat menjadi warga Kerajaan Allah lebih dari apa yang diajarkan oleh para ahli Taurat. Tafsiran-Nya yang tampak bertentangan dengan hukum Taurat tidak dimaksudkan untuk memperbaiki hukum Taurat tetapi untuk membetulkan penyimpangan yang sudah ada dan berkembang saat itu.

Khotbah di Bukit I

Sinai Perjanjian Baru

Matius 5:1-16


Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya. 2 Maka Yesuspun mulai berbicara dan mengajar mereka, kata-Nya: 3 "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. 4 Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur. 5 Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi. 6 Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan. 7 Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. 8 Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. 9 Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. 10 Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. 11 Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. 12 Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu." 13 "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. 14 Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. 15 Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. 16 Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga."

Pasal 5:1-7:29 adalah pengajaran pertama dari lima pengajaran Yesus dalam Injil Matius (5-7; 10; 13; 18-20; 24-25). Bagian ini biasanya disebut Khotbah di Bukit. Meskipun ada lima pengajaran Yesus dalam Injil ini, barangkali Khotbah di Bukit adalah yang paling diingat, paling sulit dimengerti dan bahkan sangat sering dilanggar.
Pengajaran pertama ini dimulai dengan kata ‘berbahagialah’, yang biasanya disebut beatitude, dari bahasa Latin beatus, yang berarti ‘benar-benar bahagia’. Dalam pengajaran ini Yesus membuka realitas kehadiran Kerajaan Allah dalam kehidupan nyata sehari-hari, yakni bagaimana hidup secara sorgawi di bumi. Ada orang yang berpendapat bahwa pengajaran ini hanya bersifat sementara dan hanya untuk orang Israel. Tetapi dari Matius 28:16 (-20) jelaslah bahwa pengajaran ini dimaksudkan Yesus untuk Israel dan untuk segala bangsa, dahulu, sekarang dan nanti.
Jika diperhatikan, apalagi jika Khotbah di Bukit disejajarkan dengan pengajaran di gunung Sinai, maka dapat dikatakan bahwa isi khotbah di Bukit adalah peraturan-peraturan tentang kehidupan dalam Kerjaan Allah.
Pasal 4 berakhir dengan cerita bahwa orang banyak dari seluruh wilayah Israel (Galilea, Dekapolis, Yerusalem, Yudea dan Perea) berbondong-bondong mengikuti Yesus. Dalam pasal 5:1 respons Yesus terhadap kehadiran orang banyak ini dinyakatan: ‘Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke bukit, ... datanglah murid-murid-Nya ....” Dua kelompok orang terlihat di sini: orang banyak dan murid. ‘Orang banyak’ adalah mereka yang tertarik pada dan sering tercengang oleh pengajaran dan mukjizat Yesus (bdk Mat. 9:33; 12:23; Mrk. 11:32; Luk. 11:14), sedangkan murid atau rasul adalah mereka yang telah percaya bahwa Yesus adalah Yang diurapi dari Allah dan telah mengambil komitmen untuk hidup bagi Dia dan bekerja untuk Kerajaan Allah.
Setelah mengajar di Synagoge (4:23), sekarang Ia pergi ke bukit. Kali ini tidak untuk berdoa seperti biasanya (Mrk. 6:46) tetapi untuk mengajar. Bukit doa-Nya berubah menjadi bukit pengajaran. Ini tentu saja dapat mengingatkan kita kepada gunung Sinai. Sama seperti umat perjanjian mengikuti Musa ke bukit itu untuk mendapatkan hukum Tuhan (dasa titah dalam 2 loh batu), demikian jugalah sekarang keturunan mereka mengikuti Yesus ke bukit ini untuk mendapatkan pengajaran. Sama seperti dasa titah mengatur perjalanan umat perjanjian menuju tanah perjanjian dan bagaimana mereka harus hidup di sana, demikianlah sekarang pengajaran di bukit ini mengatur langkah dan hidup murid-murid-Nya – juga orang percaya sekarang dan nanti - dalam Kerajaan Allah.
Kita juga dapat membandingkan bukit ini dengan gunung Sion. Ke sana orang-orang Israel selalu pergi untuk bertemu Allah dalam Bait-Nya (Bait Allah). Demikian juga sekarang orang banyak itu ‘digiring’ Yesus ke bukit ini untuk bertemu dengan Allah melalui pengajaran-Nya.
Di tempat lain Yesus sering bertemu dengan pendengar yang kritis dan yang secara terencana berusaha menjembak-Nya. Tipe pendengar yang ini selalu berasal dari kelompok terpelajar dalam Hukum Taurat (para rabi, ahli Taurat dan orang-orang Farisi - Mat. 7:28-29; 9:3dst.; 12:24dst.; 15:1; 19:3dst.; 22:35-36: Mrk. 2:6-7; 7:1dst.; 9:14; 15:31; Luk. 5:30dst.; 10:25dst.). Di sini, di bukit ini, Yesus bertemu dengan orang-orang yang rindu dan haus akan pengajaran-Nya, yakni para murid di hadapan orang banyak yang juga ikut mendengarkan (Mat. 7:28-29). Setelah memberitakan Injil Kerajaan Allah (4:23), sekarang Yesus mengajar tentang bagaimana seharusnya hidup dalam kerajaan itu (5:20; 7:13, 21-23) dan apa keuntungannya. Yang kedua ini memiliki dua fungsi: kebahagiaan manusia (5:2;12) dan kemuliaan Allah (5:16). Dengan pengajaran ini Yesus memimpin orang banyak itu meninggalkan para pemimpin agama yang suka mencobai dan mengeritik di Sinagoge kepada para murid yang senang mendengar dan menaati hukum-hukum-Nya (Mat. 5:19-20; 7:24-27). Apakah gereja zaman ini tidak memiliki tipe pendengar yang pertama – yang suka mencobai dan mengeritik? Justru pendengar jenis ini semakin banyak dan lebih berani saat ini. Banyak orang yang terpelajar dalam teologi dengan berbagai gelar dan jabatan semakin terang-terangan menyangkal Alkitab dan Yesus dengan berbagai teori. Di Indonesia pun kelompok pendengar jenis ini sudah semakin banyak.

Sifat Kerajaan Allah: sudah dan belum
Semua ucapan ‘bahagia’ dalam ayat 3-12 terdiri atas dua bagian. Bagian pertama adalah kualifikasi untuk menjadi warga Kerajaan Allah: miskin di dalam roh (ay 3), berdukacita (ay 4), lemah lembut (ay. 5), lapar dan haus akan kebenaran (ay 6), murah hati (ay 7), suci hati (ay 8), membawa damai (ay 9), difitnah dan dianiaya karena kebenaran (ay 10-12). Bagian kedua adalh upah jika kualifikasi itu terpenuhi: empunya Kerajaan Sorga (ay 3), akan dihibur (ay 4), akan memiliki bumi (ay 5), akan dipuaskan (ay 6), akan beroleh kemurahan (ay 7), akan melihat Allah (ay 8), akan disebut anak-anak Allah (ay 9), empunya kerajaan sorga (ay 10), upah besar di sorga (ay 12). Semua ini menjadikan mereka orang-orang yang berbahagia.
Di samping itu, dari segi waktu atau tense, ucapan bahagia yang pertama dan yang kedelapan dalam bentuk waktu sekarang (‘karena merekalah yang empunya... ‘), sedangkan ucapan-ucapan yang diapit keduanya dalam bentuk waktu yang akan datang (‘karena mereka akan ...’).
Meskipun masing-masing kualifikasi memiliki imbalan tersendiri, kedelapan ucapan ini tidak perlu dipandang sebagai kriteria-kriteria rohani yang berdiri sendiri-sendiri sehingga kita dapat memilih mana yang kita sukai atau yang cocok dengan sifat dan sikap kita. Mereka harus dilihat sebagai satu kesatuan yang menunjukkan sifat Kerajaan Allah yang ‘sudah dan belum’.
Karena kita percaya, maka Kerajaan Allah itu telah menjadi milik kita (bdk Yak. 2:5). Kita adalah warga Kerajaan itu (2Tes. 1:5). Tetapi pada saat yang bersamaan masih ada berkat-berkat kerajaan itu yang belum diberikan atau baru berupa ‘uang muka’. Keselamatan memang telah menjadi milik kita tetapi hidup yang kekal masih harus kita tunggu hingga kedatangan Kristus kembali. Kristus memang sudah menang atas Iblis, dosa dan maut. Kematian dan kebangkitan-Nya menandai kemenangan itu, tetapi kemenangan akhir belum tercapai.
Meski demikian, kita tidak perlu ragu karena kebangkitan-Nya adalah jaminan dari kemenangan akhir yang masih harus kita tunggu itu. Di samping itu Roh Kudus adalah jaminan dari semua berkat Kerajaan yang belum kita terima seutuhnya itu (2Kor. 1:22; 5:5; Ef. 1:14; bdk Ibr. 7:22; Mzm. 119:122). Ilustrasi berikut dapat menolong kita memahami sifat Kerajaan Allah yang already dan not yet ini: dalam Perang Dunia II pantai Normandy merupakan penentu kemenangan pasukan sekutu. Para panglima pasukan sekutu menyadari benar bahwa sekali pantai itu dikuasai, maka kehancuran atau kekalahan total pasukan Hitler tidak dapat dicegah lagi. Tetapi kemenangan akhir itu belum terjadi untuk beberapa bulan lamanya meskipun mereka berhasil menguasai pantai itu. Kemenangan baru benar-benar diperoleh setelah membayar harga melalui banyak korban jiwa.
Demikian jugalah kehidupan dalam Kerajaan Allah. Masih ada peperangan rohani. Kemenangan akhir akan memerlukan waktu dan pengorbanan besar dari gereja-Nya. Meskipun Rajanya telah menang dan kita telah memiliki kerajaan itu dan hidup di dalamnya, kita masih tetap mengalami duka cita, celaan, hinaan dan penganiayaan. Tetapi kita tidak perlu tawar hati. Sama seperti Normandi jaminan kemenangan pasukan sekutu atas Hitler, demikianlah kebangkitan Kristus dan Roh Kudus menjadi jaminan kemenangan akhir kita.

Kualifikasi warga Kerajaan Allah
Jika diperhatikan ternyata kualifikasi pewaris atau warga kerajaan yang menang ini bertolak belakang dengan prinsip dan sifat kerajaan-kerajaan dunia ini. Dalam kerajaan duniawi, para pemilik kerajaan adalah mereka yang telah berjasa atau yang memiliki kemampunan lebih di atas yang lain. Jasa dan keunggulan mereka itulah yang menentukan menjadi apa atau siapakah mereka dalam kerajaan itu. Tetapi bagaimana dengan pewaris atau pemilik Kerajaan Allah?
• Miskin dalam roh > mereka yang sadar bahwa mereka memerlukan pertolongan Allah. Secara fisik bisa jadi sehat dan kuat, secara ekonomis mampu bahkan kaya, secara sosial terhormat dll., tetapi untuk mewarisi Kerajaan Sorga mereka sadar bahwa mereka bergantung pada belaskasihan Allah sepenuhnya (bdk Ef. 2:8; 2Kor. 3:5; Rm. 4:16). Orang miskin dalam roh adalah mereka yang telah kehilangan Allah. Secara rohani semua manusia miskin, bahkan pengemis. Ptochos dalam ayat 3 secara harfiah berarti pengemis. Terjemahan Baru dan BIS LAI yang menggantikan frase ‘... dalam roh’ dengan ‘... di hadapan Allah’ dengan gampang mengaburkan makna kata ‘miskin’ yang dipakai secara figuratif di sini, seolah-olah Yesus sedang berbicara tentang kemiskinan sosial atau ekonomis. Orang miskin dapat hidup dari hari ke hari atas sedikit yang ada padanya, tetapi pengemis akan segera mati tanpa belaskasihan orang lain dari hari ke hari. Murid-murid Yesus bukanlah orang miskin, apalagi pengemis, karena mereka sendiri berbicara tentang orang miskin sebagai komunitas di luar mereka dan Yesus pun membenarkan itu (Mat. 26:9, 11). Memang di dalam Gereja tidak terdapat banyak orang yang bijak, orang yang berpengaruh, banyak orang yang terpandang (1Kor. 1:26-28), tetapi mereka bukanlah komunitas pengemis. Maka jelaslah bahwa Yesus tidak sedang berbicara tentang orang-orang yang miskin secara sosial-ekonomis, tetapi secara rohani. Keterpurukan rohani itu begitu dalam hingga bukan kondisi orang miskin padanannya, melainkan pengemis. Setiap orang yang insyaf akan keterpurukan yang demikian akan merasakan adanya kebutuhan akan Yesus. Jika kebutuhan ini terpenuhi, maka Kerajaan Sorga akan menjadi bagian mereka.



• Yang berduka > Inilah mereka yang menyadari kemiskinan mereka di dalam roh atau keterasingan mereka dari Allah karena dosa. Paulus menasihati jemaat di Korintus agar mereka perlu berdukcita karena dosa (1Kor. 5:2; bdk 2Kor. 12:21; Mat. 11:21) sebab dukacita yang demikian dapat membawa mereka kepada pertobatan (2Kor. 7:9). Inilah dukacita yang dikenan Allah, yang patut diupahi dengan penghiburan. Dukacita jenis ini dimiliki semua manusia tetapi hanya sedikit yang merasakannya. Yesus tidak sedang berbicara tentang dukacita karena meninggalnya seseorang yang dikasihi, tetapi dukacita karena kehilangan relasi dengan Allah: dukacita rohani. Yesuslah jembatan kepada pemulihan relasi itu. Setiap orang yang belum memiliki-Nya mestilah berdukacita.



• Yang lemah lembut > ini tidak hanya soal sifat tetapi juga sikap. Warga kerajaan sorga haruslah bersifat dan bersikap lemah lembut dan ramah baik terhadap sesama warga maupun orang lain. Dalam Alkitab, lemah lembut menunjuk pada sifat pemerintahan Yesus (Mat. 11:29; 21:5 bdk Zak. 9:9). Dan Ia mengajar murid-murid-Nya untuk bersikap demikian pula: “… pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu” (Mat. 20:25-26). Dalam 2 Korintus 10:1 Paulus menyebutkan kelemahlembutan sebagai sikap Yesus terhadap manusia selama hidup-Nya di bumi dan menasihati gereja supaya ia pun bersikap demikian terhadap orang lain.
Sama seperti Yesus yang lemah lembut dan ramah dalam pelayanan-Nya, demikian jugalah seharusnya para murid dahulu dan orang percaya atau gereja sekarang - entah pribadi atau kelompok. Kelemahlembutan dan keramahtamaan Yesus tidak bersyarat. Ia tidak bersikap lembah lembut dan ramah serta penuh belaskasihan sebagai balasan dari kelemahlembutan dan keramahantamahan orang terhadap-Nya. Demikian jugalah seharusnya orang percaya saat ini: bersikap lemah lembut, ramah serta penuh belaskasihan kepada siapa saja tanpa syarat. Terlihatkah sifat dan sikap seperti ini dalam gereja Tuhan di abad ini?



• Yang lapar dan haus akan kebenaran > mereka yang sadar akan kebutuhan rohani mereka, yakni bahwa mereka memerlukan Yesus, jika mau menjadi warga kerajaan-Nya dan mengambil bagian dalam semua berkat kerajaan itu. Yesuslah kebenaran itu. Dengan percaya kepada-Nya, kelaparan dan kehausan jiwa terpuaskan (bdk. Yoh. 7:37; Why. 21:6; 22:17). Orang-orang Yahudi merasa bahwa status mereka sebagai keturunan Abraham dapat menolong mereka (bdk Yoh. 8:33), tetapi Yohanes Pembaptis mengajarkan bahwa status orang Yahudi sebagai keturunan Abrahama tidak dapat menolong. Mereka harus bertobat (Mat. 3:7-9). Sama seperti status sebagai keturunan Abraham tidak menolong demikianlah status sebagai orang Kristen, sebab banyak orang Kristen hidup tanpa Kristus. Seorang bapa Gereja yang bernama Agustinus sudah mengatakan itu 1800-an tahun yang lalu: ada banyak serigala di dalam gereja dan ada banyak domba di luar gereja.



• Yang murah hatinya > Yesus murah hati dan Ia meminta agar warga Kerajaannya merefleksikan sifat itu di dunia ini. Ia selalu berbelaskasihan setiap kali melihat orang-orang yang bermasalah dan menolong mereka (Mat. 9:13, 36; 14:14; 15:32; 20:24 dan ayat-ayat paralelnya). Ia mengecam dengan keras ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang mengabaikan belaskasihan: “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan” (Mat. 23:23).



• Yang suci hatinya > mereka yang menjaga hatinya dari segala yang jahat dan yang hidup dalam kekudusan. Hidup dalam Kerajaan Allah, berarti hidup di hadapan dan di bawah pinpinan Allah yang kudus. Itu berarti rakyat-Nya pun haruslah demikian: ‘Kuduslah kamu, sebab Aku kudus’ (1Ptr. 1:16; Im. 11:44-45; 19:2). Tuntutan ini sangat berbeda dengan kebanyakan pemerintahan di dunia ini termasuk Indonesia: pemerintah korup tetapi rakyatnya dituntut ‘bersih’. Lebih parah lagi pemimpin-pemimpin gereja tertentu hidup dalam kecemaran, tetapi berkhotbah setiap minggu tentang kekudusan. Ahli-ahli Taurat dan orang-orang farisi kelihatan suci dan kudus dari luar, tetapi hati mereka adalah gudang kemunafikan dan kebohongan (Mat. 23 dan 28). Apakah gereja zaman ini berbeda dengan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi zaman Yesus? Yesus mengajar orang Israel bahwa kesuciaan sesungguhnya bersumber dari hati (bdk. Mat. 15:17-20). Itu tidak berarti bahwa kesucian lahiriah tidak penting, tetapi bahwa tanpa kesucian hati kesuciaan lahiriah hanyalah kemufikan.



• Membawa damai > Yesus tidak sedang berbicara tentang perantara dua pihak yang sedang berseteru, tetapi tentang mereka yang tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Seorang perantara dapat mendamaikan pihak-pihak yang diantarainya, tetapi ia sendiri belum tentu bisa berdamai dengan orang-orang yang menyakitinya. Seorang pembawa damai adalah dia yang melakukan apa yang baik bagi semua orang, selalu mengampuni dan mengalahkan kejahatan dengan kebaikan (Rm. 12:17-21). Dasar dari sikap damai ini adalah Allah yang mau berdamai dengan manusia yang memberontak terhadap kekuasaan dan kemuliaan-Nya (Kol. 1:20-22). Inkarnasi Yesus, imanuel, membuktikan bagaimana Allah mau berdamai dengan manusia yang memusihi-Nya melalui dosa-dosa mereka. Siapa yang mau menjadi warga Kerajaan dari Raja yang suka damai ini, ia pun harus suka damai. Tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan (5:38-42).



• Yang dianiaya, dicela dan difitnah karena kebenaran > mereka yang tidak mau berkompromi dengan dan yang tidak takut terhadap dunia tetapi yang berani menjadi saksi Kristus. Jika diperhatikan, sasaran pembicaraan Yesus dalam ayat 3-10 bersifat abstrak (umum): ‘… orang yang …’, sedangkan dalam ayat 11 (dan 12) bersifat khusus: ‘berbahagialah kamu, jika karena Aku ...’: murid-murid dan Yesus (bdk ay 1-2). Semua pembicaraan sebelumnya mengerucut di sini. Puncak dari kerucut itu ialah kebenaran (ay 10) yakni Yesus (ay 12).
Dalam ayat 3-10 Yesus berbicara tentang kondisi ideal, yakni bahwa siapa yang mau menjadi warga Kerajaan Allah ia harus menyadari keterhilangannya di hadapan Allah dan berduka karenanya, bersifat dan bersikap lemah lembut dan murah hati, merasa membutuhkan Yesus, memiliki kesucian hati dan mencintai kedamaian. Tetapi dalam ayat 11-12 disebutkan kondisi riel yang akan dihadapi para rasul. Setelah menjadi warga Kerajaan Allah dengan kualifikasi-kualifikasi seperti di atas, mereka akan menjadi musuh dunia ini: dicela, difitnah dan dianiaya bahkan dibunuh. Yesus dicela, difitnah dan dianiaya sampai mati. Demikian jugalah para murid dahulu dan orang percaya sekarang dan nanti (Yoh. 5:20).
Tetapi mengapa Yesus, sang Raja, menempatkan murid-murid dan gereja-Nya sekarang dalam kondisi sulit seperti itu? Apakah Dia tidak senang melihat kita hidup dalam ketenangan dan kedamaian? Mengapa Dia mengizinkan kita masuk dalam situasi yang tidak menyenangkan seperti itu? Jawabannya adalah karena Dia yang berdaulat, telah memanggil dan menempatkan kita di dunia ini dengan tugas tertentu: menggarami dan menyinari.
Penganiayaan karena Yesus tidak perlu membuat para rasul berdukacita dan mengeluh karena para nabi yang mendahului mereka pun telah mengalami penganiayaan itu, bahkan orang-orang yang akan percaya karena pemberitaan mereka akan mendapat bagian dalam penderitaan itu.
Peralihan ‘kependudukan’ dari kerajaan-kerajaan dunia ke Kerajaan Allah, telah menjadikan kita musuh dunia ini. Seorang musuh tidak akan dibiarkan hidup dalam ketenangan. Demikianlah dunia tidak akan membiarkan kita hidup dalam ketenangan. Bahkan Allah sendiri yang menempatkan permusuhan itu (Kej. 3:15) dan Dia pulalah yang akan menolong kita untuk menang.
Penderitaan ini akan hilang, kalau seluruh dunia telah menjadi sahabat Allah, tetapi itu tidak mungkin. Jadi bagaimana? Berduka dan meninggalkan kewarganegaraan kita? TIDAK!
Yesus berkata dalam Yohanis 15:20 bahwa dalam hal penganiayaan, seorang hamba tidak akan lebih dari tuannya. Dunia telah menganiaya Sang Tuan, Yakni Yesus, dan karena itu kita pun akan dianiaya. Tetapi ingatlah: aniaya yang kita alami tidak sebanding yang dialami Yesus, Tuhan dan Tuan kita.
Dalam suratnya kepada jemaat Kristus di perantaun, rasul Petrus menasihatkan agara mereka perlu berbahagia karena Kristus. Daripada menderita sebagai pencuri atau pembunuh atau penjahat atau pengacau, lebih baik menderita sebagai pengikut Kristus (1Ptr. 4:14-16). Dari pada dipenjarakan karena korupsi, pungli, pemerkosaan, penipuan, obat-obat terlarang, perselingkuhan, dll., lebih baik masuk bui lantaran menjadi saksi Kristus. Setiap orang yang makan pasti kenyang, yang minum pasti kehilangan rasa haus, yang mandi pasti basah, yang tidak buta pasti bisa melihat; demikianlah setiap pengikut Kristus, warga Kerajaan Allah pasti mengalami celaan, fitnahan, penganiayaan karena Kristus. Kita beroleh anugerah tidak hanya untuk percaya tetapi juga untuk menderita karena Kristus (dan pemberitaan Injil): “Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia (Flp. 1:29).
Kewajiban warga kerajaan Allah: menggarami dan menerangi.
TB-LAI memisahkan ayat 1-12 dari ayat 13-16. Pemisahan ini – kemungkinan – didasarkan atas absennya kata ‘berbahagialah’ dalam keempat ayat ini. Pemisahan yang demikian kurang tepat.
Yesus mengajar murid-murid dan orang banyak tentang natur kehidupan dalam kerajaan Allah, yakni kehidupan yang berkebahagiaan karena kulifikasi atau syarat seperti terdapat dalam ayat 3-12.
Peranan murid-murid dalam mempraksiskan kualifikasi atau natur itu sangat penting dan menentukan. Untuk menolong mereka memahami pentingnya peran itu, Yesus memakai ilustrasi garam dan terang, dua unsur yang sangat penting dan dibutuhkan manusia (5:13-14). Dengan memperlihatkan hidup yang diupahi kebahagiaan (5:3-12), mereka‘menggarami’ dan ‘menerangi’ dunia.
Para rasul dan orang banyak - jika mereka pun percaya seperti para rasul - adalah garam. Ketidaktawaran, ketidakhambaran dan ketidakbusukan dunia ini bergantung pada mereka. Jika mereka tidak dapat menolong dunia ini untuk mengenal atau merasakan kemiskinan rohani mereka, duka karena keterhilangan mereka di hadapan Allah, kelaparan dan kehausan akan Yesus Kristus sang kebenaran, maka mereka telah menjadi garam yang kehilangan keasinannya. Garam yang demikian akan dibuang. Yohanis Pembaptis sudah mengatakannya: ‘...setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api’ (Mat. 3:7-10; bdk Yoh. 15:2).
Di samping itu mereka juga adalah terang. Menjadi terang berarti memperlihatkan kebaikan: lemah lembut, murah hati, suci hati dan membawa damai. Perbuatan-perbuatan yang demikian akan menarik perhatian orang, tidak kepada murid-murid dan orang banyak per se, tetapi kepada Allah. Melalui kebaikan-kebaikan ini, para rasul dan orang banyak merefleksikan kehadiran Allah bagi mereka yang miskin dalam roh, penghiburan Allah bagi mereka yang berdukacita, serta kepuasan dari Allah bagi mereka yang lapar dan haus akan kebenaran.
Dengan begitu mereka memuliakan Allah, sebab untuk itulah mereka dipanggil (bdk. Yoh. 15:8; Yes. 61:3; 2Kor. 9:13; Flp. 1:11). Itulah sebabnya mengapa pemisahan 5:1-12 dari 13-16 dianggap kurang tepat.
Kualitas para rasul tidak ditentukan oleh seberapa banyak mereka berteori dalam berkhotbah, mengajar, mengkonseling dan memimpin (5:20; bdk. Rm. 10:3) melainkan oleh seberapa banyak mereka membuahkan ajaran iman itu dalam praktik (7:21; Luk. 6:46; Rm. 2:13; Yak. 1:22; Hos. 8:1-2; Yoh. 15:16). Demikian jugalah kita – orang percaya – saat ini.
Apakah dengan menjadi ‘terang’ dunia, orang-orang percaya (gereja) telah menggantikan Yesus yang adalah terang dunia (Yoh. 8:12; 9:5)? TIDAK! Orang percaya adalah ‘kabel’ yang melaluinya ‘terang yang sesungguhnya’ itu berjalan dari kehidupan orang percaya kepada dunia ini. Sama seperti kabel yang sudah tidak berfungsi dibuang, demikian jugalah orang Kristen yang tidak berfungsi. Dosa dan kejahatan telah menggelapan dan menghambarkan atau bahkan membusukkan dunia milik Allah. Yesus telah memberikan tanggungjawab penerangan dan pengawetan itu kepada gerja-Nya. Adakah seorang ayah yang meluputkan hukuman dari anaknya yang tidak bertanggung jawab? Adakah seorang pimpinan yang membiarkan bawahannya dari disiplin manakala ia melalaikan kewajibannya? TIDAK! Demikian jugalah Allah. Ia tidak akan meluputkan gereja yang mengabaikan tugas ‘penggaraman’ dan ‘penerangan’ ini dari hukuman. Kedua tugas ini disimpulkannya dalam apa yang selalu kita sebut Amanat Agung.

Book Review

The Sources of the Self : The Making of the Modern Identity
Penulis : Charles Taylor
Tebal : 521 halaman (tidak termasuk halaman pengantar , end notes dan indeks)
Penerbit : Cambridge: Harvard University Press, 1989


Charles Taylor telah bekerja selama bertahun-tahun sebagai profesor filsafat moral di Oxford, kemudian menjadi guru besar ilmu politik dan filsafat di Universitas McGill. Ia telah menulis banyak artikel dan buku. Pada tahun 2007 ia memenangkan Templeton Prize
Bukunya ini, The Source of the Self, terdiri atas 5 bagian dan 25 pasal. Intinya ada pada bagian 2-5. Sesuai dengan pengakuan Taylor, buku ini ditulis dengan tujuan untuk: 1) mengartikulasikan dan memaparkan sejarah identitas modern, 2) menunjukkan how the ideals and interdicts of this identity shape our philosophical thought, our epistemology and our philosophy of language; 3) menyediakan titik berangkat bagi pemahaman baru tentang identitas modern. Menurut Taylor, identitas modern terdiri atas tiga fase: modern inwardness, affirmation of ordinary life, dan expressivist notion of nature as an inner moral source. Tahapan-tahapan ini dibahasnya dalam bab ii – iv. Kemudian di dalam bagian yang ke- 5 ia berbicara mengenai peranan bahasa dalam kebudayaan modern.

Sumber pertama dari moralitas manusia modern, yaitu inwardness. Taylor memulainya dari Plato kemudian Agustinus, Descartes lalu Locke. Meskipun tokoh-tokoh ini dianggap oleh Taylor memiliki konsepsi yang sama mengenai sumber moral yang pertama ini, toh mereka memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Taylor juga menempatkan Montaigne dalam ‘barisan’ ini, bukan karena pemikiran Montaigne berakar di dalam pemikiran keempat tokoh di atas, melainkan karena aksennya terhadap prinsip inwardness atau internalization.

Faktor penting yang berhubungan dengan sumber moral modern yang pertama ini adalah perbedaan atau klasifikasi konsepsi ‘in side-outside’ atau ‘inner-outer’ dalam upaya memahami sumber-sumber moral modern. Menurutnya, pengertian kita tentang pribadi, the self, berhubungan dengan atau terbentuk dari a certain sense of inwardness. Pertentangan ‘in side-outside’ memainkan peran yang penting di sini. Pikiran, gagasan, perasaan dan kemampuan dianggap berada ‘di dalam’ kita, sedangkan objek interaksi mereka di dalam dunia dipandang sebagai berada ‘tanpa’ atau ‘di luar’ kita. Singkatnya Taylor memulai bagian ini dengan moral topografi. Menurutnya orang-orang modern melokalisasikan pribadi mereka, the self, ‘di dalam’ diri sendiri bertengan dengan dunia ‘di luar’ mereka. Bahkan kesadaran moral pun bersumber di dalam diri sendiri. Untuk memperjelas pengamatannya ini, ia membahas konsepsi penguasaan diri dari Plato. Menguasai diri berarti, menurut Plato, dikuasai oleh rasio. Rasio adalah sumber moral. Seseorang menjadi baik ketika rasionya ‘memerintah’, tetapi ia akan menjadi buruk jika ‘dinahkodai’ oleh perasaannya. Ketika manusia diperintah oleh rasionya, maka ada keteraturan di dalam jiwa, ada ketenangan, kedamaian, kepuasan dan ada penguasaan diri. Sebaliknya, ketika seseorang diperintah oleh perasaannya, maka yang ada adalah ketidakteraturan, chaos, kekacauan, ketidakpuasan dan kurangnya penguasaan diri. Dengan kata lain, rasio adalah kemampuan, power, untuk melihat sesuatu secara benar dan syarat bagi penguasaan diri. Menjadi rasional berarti, menurut Plato, menjadi penguasa atas diri sendiri. Di dalam pengamatan Taylor, the self mastery Plato masih tetap berlaku bagi manusia modern saat ini.
Dari paparan pendek ini jelas bahwa dalam pengajaran Plato ada dualisme sumber-sumber moral, yaitu rasio vs perasaan, jiwa vs badan, material vs imaterial, abadi vs semestara.
Dari Plato, Taylor kemudian beralih kepada Agustinus: interiore homine. Menurut Taylor Agustinus tidak bebas dari pengaruh Plato. Agustinus berdiri di antara Plato dan Descartes. Pertentangan antara keingingan daging dan keinginan roh dalam kekristenan, bagi Taylor, merupakan perkembangan dari dualisme Plato (pertentangan antara materi dan non materi). Ide tentang the Good dalam filsafat Plato menjadi God dalam teologi Agustinus. Penciptaan ex nihilo dikawinkan dengan pengajaran Plato mengenai partisipasi. Ontologi Plato menjadi ontologi Agustinus. Akibatnya a.l.: 1) Segala sesuatu seperti Allah. Hal ini terjadi melalui partisipasi atau keserupaan dengan Allah. Tetapi yang betul-betul serupa dengan Allah, menurut Agustinus, hanyalah The Word of God, Yesus Kristus. 2) alam semesta adalah realisasi eksternal dari sebuah tatantan rasional. 3) Segala yang ada itu baik, segala sesuatu dikerjakan untuk the good. Di sinilah terjadi ‘pertunangan’ antara theisme Yahudi dan filsafat Yunani. Yang lebih menarik lagi adalah bahwa menurut Taylor, pengajaran Agustinus tentang Allah sebagai sumber pengetahuan berasal dari filsafat Plato mengenai matahari sebagai sumber terang.
Meskipun dalam tulisan Taylor kelihatan ada kesamaan filsafat plato dan teologi Agustinus (seperti di atas), tetap ada perbedaan, a.l.: 1) bagi Plato, perhatian dan cinta yang menentukan arah seseorang; menurut Agustinus bukan perhatian melainkan cinta satu-satunya faktor penentu. 2) Plato membedakan manusia dalam kategori ‘higher/lower’, spirit/matter’ sedangkan Agustinus ‘inner/outer’; 3) bagi Plato, prinsip tertinggi dapat diketahui dengan jalan kembali kepada the domain objects which it organizes, namun menurut Agustinus, rute utama kita kepada Allah bukanlah kembali melainkan masuk ke dalam diri sendiri, inwardness, the care for ourselves. Dengan kata lain, cara mengetahui bagi Plato adalah toward sedangkan bagi Agustinus inward. Kembali kepada Allah berarti masuk ke dalam diri sendri. Maka tidak mengherankan bahwa tekanan Agustinus dalan hal mengenal Allah terletak pada the radical reflexivity, the importance of cogito, dan the proof of God’s existence from ‘within’.
Descartes, demikian Taylor, mengikuti jejak Agustinus sebab ia juga mengajarkan radical reflexivity, pentingnya rasio dan pembuktian keberadaan Allah dari dalam, from within. Tetapi Descartes membuat perubahan: sumber moral itu ada dalam diri kita. Manusia adalah sumber moral, bukan sesuatu yang berada di luar: the Idea of Good (Plato) atau God (Agustinus). Bagi Agustinus, ‘masuk ke dalam’ berarti bergerak ke atas: kepada Allah, sedangkan menurut Descartes ‘masuk ke dalam’ berarti mendapatkan kepastian bahwa kita ini self-sufficient. Dengan gagasan seperti ini jalan kepada deisme menjadi terbuka. Konsepsi inwardness diberi muatan baru yakni the inwardness of self-sufficiency, of autonomous powers of ordering by reason. Menurut Taylor, ketidakpercayaan orang-orang modern berakar di sini.
Beda dengan Agustinus dan Descartes, yang oleh Taylor dianggap mengikuti Plato, John Locke justru menolak ajaran tentang the innate ideas. Locke mengusulkan otonomi rasio. Rasio harus bebas dari prinsip-prinsip innate apapun. Dalam hal ini Locke mengikuti Baconian. Ia menolak faham teleologis tentang manusia, pengetahuan dan moralitas. Pikiran manusia pada mulanya (waktu lahir) tidak beda dengan kertas kosong, tabula rasa. Artinya bahwa semua pengetahuan kita terkonstruksi di dalam pikiran melalui suatu proses komposisi dan dekomposisi yang konstan terhadap input yang kita terimana melalui sense kita. Tidak ada relasi ontis antara the good dan kita. Ada disengagement antara pengetahuan yang kita miliki dan kita sendiri. Lalu siapakah Allah bagi Locke? Menurut Taylor, Allah bagi Locke adalah pemberi hukum alam. Hukum alam ini sebenarnya diperuntukkan bagi kebahagiaan manusia. Baik suka maupun duka adalah berkat dan hukuman dari Allah. Hukum Allahlah sumber moral. Mengaga? Karena hukum ini diberikan oleh Dia yang sanggup mendatangkan sakit bagi mereka yang tidak taat. Di samping keempat tokoh di atas, Taylor juga meneliti sumber moral modern dari pemikiran seorang humanis berkebangsaan Francis, Michel de Montaigne (1533-1592): self-exploring atau self-examining.
Kita telah melihat peta penyebaran pemikiran tentang sumber moral modern yang pertama: ‘internalization’ dari Plato (self-master) > Agustinus (inwardness/interiore homine) > Desecartes (disengaged reason) > Locke (disengagement). Self-examining dari Montaigne dapat digolongkan ke dalam radikal refleksi dari Agustinus dan Descartes. Namun penekanan Montaigne terletak pada ‘aku’, bukan pada pengamatan terhadap objek di luar diri kita. Menurutnya self-exploring atau self-examining berarti pengeksplorasian dari siapa kita dalam rangka membangun indentitas kita, sebab pada dasarnya kita belum tahu siapa kita.
Secara ringkas boleh disimpulkan, menurut Taylor, bahwa sejak Plato hingga Montaigne ada tiga ciri pada moralitas modern: 1) lokalisasi: isi dan sifat dari sesuatu ditempatkan di dalam sesuatu itu sendiri; 2) ide yang baru mengenai ketidakbergantungan individual: semua subjek adalah makhuk yang independen; 3) kemampuan berkarya, poetic powers: manusia mampu menciptakan keteraturan.

Lalu sumber moral kedua: the affirmation of ordinary life. Pasal 13 dikhususkan untuk topik ini. Kemudian di dalam pasal 14 ia membahas fusi dari the ethic of ordinary life, the philosophy of disengaged freedom dan rasionalitas dalam permulaan abad ke-18. Deisme Locke disinggung juga di sini. Sesudah itu dalam pasal 15-17 Taylor berbicara mengenai sentimen-sentimen moral dari Shaftesbury dan pengikutnya, Hutcheson.
Apa sebenarnya ordinary life itu? Ordinary life menunjuk kepada proses produksi, reproduksi dan keluarga, misalnya pekerjaan, pembuatan kebutuhan manusia dan kehidupan manusia sebagai makluk seksual termasuk pernikahan dan keluarga. Lalu dimanakah akar etika kehidupan sehari-hari? Taylor mengemukan dua sumber: 1) sercara tradisional ditemukan dalam spritualitas Yudais-Kristen dan 2) pada abad modern dari ajaran Reformasi (Calvinisme dan secara khusus Puritasnisme). Pemahaman kaum Puritan tentang kekudusan hidup berakibat pada pemahaman tentang pernikahan. Pernikahan mendapat makna spiritual: menikah tidak untuk kepentingan pernikahan itu sendiri melainkan untuk melayani Allah. Dengan kata lain pernikahan adalah pelayanan, menikan berarti melayani Allah.
Fusi antara etika kehidupan sehari-hari, filsafat kebebasan yang tak terbatas dan rasionalitas menghasilkan beberapa hal, menurut Taylor, a.l.: 1) dalam tahap-tahap permulaan masih ada pemahaman teologis terhadap kehidupan sehari-hari, 2) namun menjelang akhir abad ke- 18 terjadi pergeseran disertai munculnya naturalisme (kadang-kandang anti agama).

Sumber moral modern yang ketiga: alam. Ini dibicarakan dalam bagain 4. Deisme Pencerahan dan naturalisme, misalnya teori otonomi dari Kant dan Romantisisme dikritiki oleh Taylor di sini. Pandangan Enlightenment yang standar dianggap hanya berdimensi tunggal. Apa yang membuat hidup memimiliki signifikansi tidak kelihatan di sini. Melihat kenyataan ini, muncul dua reaksi. Di satu sisi Kant tampil dengan ajarannya mengenai otonomi radikal dari manusia sebagai agen rasional. Kehidupan yang hanya terisi dengan desire-fulfilment tidak hanya dangkal tetapi juga heterogen. Kita membutuhkan kebebasan untuk memanifestasikan diri kita. Kehidupan yang paling signifikan adalah kehidupan yang kita pilih sendiri. Di sisi lain, kaum expresivist (romantisme) muncul sebagai oposan dengan ajaran bahwa alam tidak semata-mata sebagai objek analisis tetapi juga sembagai sumber moral. Bukan hanya manusia, melainkan juga alam adalah ‘sumur’ moral. Taylor menganggap ada dua macam Aufklärer, Pencerahan, yaitu standar dan radikal. Di dalam yang pertama kehadiran Allah dan pemeliharaan-Nya masih diakui. Di dalam yang kedua ide tentang adanya suatu kekuatan yang memelihara sama sekali tidak ada tempatnya. Etika murni didasarkan pada asas manfaat. Filsafat hedonistic Locke bersama dengan teori tabula rasanya ‘mengenakan’ bentuk yang lebih radikal di sini. Pembicaraan tentang etika tidak perlu dimulai dengan rujukan tertentu kepada hukum alam, hukum rasio, penalan yang benar, kebenaran alamiah, aturan yang baik, dll. Sebaliknya, diskusi tentang etika harus dimulai dari fakta bahwa manusia menginginkan kebahagiaan dan mengaharapkan ketiadaan penderitaan. Jadi sebenarnya isu utama soal etika adalah memaksimalkan kebahagiaan.

Evaluasi:
Kesan saya ketika melihat buku ini adalah bahwa ini pasti sebuah buku yang baik, dan memang benar demikian. Meskipun begitu buku ini tidak terlalu gampang dibaca, terutama oleh pembaca yang masing asing di bidang filsafat. Di samping itu, sulit juga untuk menemukan inti pembicaraan dengan cepat lantaran sama sekali tidak ada sub-sub judul.
Sumber-sumber moral, seperti disebutkan dia atas, memberikan pemahaman mengenai bagaimana budaya dan moralitas tertentu muncul atau terbentuk. Jika diperhatikan dengan baik, maka ketiga sumber moral itu sebenarnya berasal dari dua sumber yang berbeda: paganism dan religions (Yudais-Kristen dan Islam). Kedua-duanya telah dikembangkan oleh pemikir-pemikir besar baik secara filofis maupun teologis. Dari tulisan Taylor menjadi jelas mengapa manusia, sejak Renaissance mulai bertanya secara radikal siapa mereka dan siapa Tuhan. Pergumulan terhadap pertanyaan inilah yang telah melahirkan Pencerahan dan Romantisme, di mana kebanyakan orang Eropa mulai menyatakan good bye kepada Allah. Pertanyaan saya, yang tidak saya temukan jawabannya dalam buku Taylor adalah: mengapa usaha membelakangi Allah ini baru muncul beberapa saat setelah Reformasi? Mengapa tidak pada Abad Pertengahan? Di samping itu, kesimpulan Taylor tentang ajaran Agustinus mengenai Allah sebagai sumber terang yang dianggapnya berasal atau modifikasi dari filsafat Plato, tidaklah terlalu beralasan.
Peralihan kesadaran diri manusia modern kepada diri sendiri dibarengi dengan penolakan terhadap tatanan objektif dari rasio telah membawa manusia modern kepada subjektivisme dan nihilisme. Kritikan bahwa bahwa tantanan moderen tidak memiliki nilai moral yang baik ditolak oleh Taylor. Menurutnya pemahaman modern tentang the self menyediakan kerangka acuan yang lengkap mengenai substansi pemahaman tentang rasionalitas. Subjetivitas modern, menurut Taylor, baik secara epistemologis, aestetis, politis, maupun sosial berakar di dalam pemahaman tentang the human good. Jika Taylor benar, tidaklah heran bahwa sejak Renaissance, manusia mulai membelakangi Allah dan perintah-perintah-Nya.


Rekomendasi:
Buku cocok dibaca oleh mahasiswa teologi dan filsafat pada tingkat magister dan dosen-dosen kedua bidang ilmu ini. Bagi mahasiswa teologi dan filsafat strata satu, buku ini masih terlalu sulit. Membacanya hanya akan membuang-buang waktu. Tingkat kesulitan bahasa dan isi masih jauh di atas kemampuan mahasiswa tingkat ini. Bagi yang bukan mahasiswa dan dosen teologi dan filsafat buku ini tidak terlalu bermanfaat.

Minggu, 22 Januari 2012

Roh Kudus adalah Arrabon

Orasi ilmiah[1]

Pendahuluan

Sudah merupakan kebiasaan akademis bahwa dalam acara wisuda ada orasi. Dan saya merasa terhormat mendapat kepercayaan untuk menyampaikannya.
Tema orasi ini berkaitan dengan pribadi ketiga dalam Tritunggal yaitu Roh Kudus, namun perhatian kita tidak kepada pribadi Roh Kudus tetapi kepada peran-Nya. Itu pun tidak semua peran tetapi hanya satu, yaitu arrabon. Kita mulai dengan melihat istilah arrabon itu secara terminologis-historis. Hal ini penting untuk mengetahui apakah istilah ini khas alkitabiah dalam pengertian hanya dikenal dalam Alkitab ataukah merupakan kata pinjaman dari ‘dunia’ di luar. Setelah itu kita akan melihat pemakaian istilah ini dalam konteks kemunculannya dalam Alkitab. Seperti yang akan kita lihat nanti, arrabon tidak hanya muncul dalam 2 Korintus 5:5, tetapi juga di beberapa tempat yang lain. Oleh karena itu perhatian kita tidak akan tertuju hanya kepada 2 Korintus 5:5, tetapi juga kepada ayat-ayat lain di mana istilah ini muncul. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang komprenhensif mengenai tema kita: ROH KUDUS JAMINAN KITA. Dan sebagai yang terkhir orasi ini akan ditutup dengan kesimpulan dengan memperhatikan soteriologi Paulus yang bersifat eskatologis.

Definisi Istilah
Sebelum membahas tema ini, kita perlu melihat istilah arrabona terlebih dahulu. Arrabona (bentuk akusatif dari arrabon) adalah sebuah konsep legal yang dipinjam dari rumpun bahasa Semit, erabon. Pemakaian kata ini cukup jarang[2] dan memiliki beberapa pengertian antara lain: 1) suatu penetapan yang dengannya seseorang menjamin suatu klaim legal atas sesuatu yang belum dibayar; 2) uang muka, tanda jadi yang dengannya suatu kontrak dinyatakan valid; 3) dalam Kejadian 38:17-20, suatu jaminan. Meskipun istilah ini memiliki lebih dari satu arti atau makna, ada satu unsur yang selalu ada dalam setiap arti yaitu ‘pembayaran’.[3] Hal ini tidaklah mengherankan sebab arrabona adalah istilah ekonomis. Istilah ini biasanya dipakai dalam dunia komersial.[4]
Di dalam Perjanjian Baru, istilah ini muncul tiga kali, dari pena satu orang saja yaitu Paulus dan hanya dalam 2 suratnya: 2 Korintus dan Efesus. Karena itu dapat dikatakan bahwa, dalam konteks Perjanjian Baru, Pauluslah yang memperkenalkan istilah ini. Hal ini pun tidak mengherankan karena Paulus pasti mengenal istilah ini dari latarbelakang keyahudiannya. Tetapi Paulus tidak hanya menyadur - dari erabon ke arrabon. Ia juga memberikan arti yang baru; bukan lagi komersial melainkan teologis. Ia memakainnya secara figuratif. Paulus tidak menghubungKan arrobon dengan barang-barang ekonomis tetapi dengan Roh Kudus.


Konteks pemakaian.

Perjanjian Lama
Musa memakai kata ini dalam cerita mengenai kemesuman dalam keluarga antara Yehuda dan Tamar, antara mertua dan menantu (Kej. 38). Yehuda memiliki tiga orang anak lelaki - Er, Onan dan Syela - hasil pernikahannya dengan seorang perempuan Kanaan yang bernama Syua. Yehuda menikahkan Er, anak sulungnya dengan seorang perempuan yang bernama Tamar. Namun Tuhan membunuh Er karena ia jahat di mata-Nya. Sesuai kebiasaan,[5] Yehuda meminta anaknya yang kedua untuk menjadi suami Tamar. Akan tetapi ia pun melakukan hal yang jahat di mata Tuhan dengan jalan membiarkan sperma terbuang saat bersenggema lantaran tidak mau memberi keturunan kepada Tamar atas nama kakaknya. Alhasil, Tuhan membunuhnya juga. Setelah dua peristiwa kematian ini, Yehuda pun menjadi takut untuk memberikan anaknya yang bungsu kepada Tamar, sebab secara diam-diam Yehuda telah memandang Tamar, menantunya, sebagai penyebab kematian kedua anaknya itu. Karena itu, ia menyuruh Tamar kembali ke rumah orangtuannya dengan alasan Syela belum cukup umur untuk dinikahkan. Ternyata sang ayah tidak lebih baik dari kedua anaknya (Kej. 38:6-11).
Ketika Tamar melihat bahwa mertuanya mengingkari janjinya[6] karena meskipun Syela sudah besar namun ia belum diberikan kepadanya untuk menjadi suaminya, maka ia pun menjebak mertua yang pada saat itu telah menjadi duda. Ketika mendengar bahwa mertuanya sedang dalam perjalan ke Timna dalam rangka menggunting bulu dombanya, Tamar menanggalkan pakaian kejandaannya dan menyamar sebagai seorang pelacur lalu duduk di gerbang masuk Enaim. Dan terjadilah cerita ini: “Ketika Yehuda melihat dia, disangkanyalah dia seorang perempuan sundal, karena ia menutupi mukanya. Lalu berpalinglah Yehuda mendapatkan perempuan yang di pinggir jalan itu serta berkata: "Marilah, aku mau menghampiri engkau," sebab ia tidak tahu, bahwa perempuan itu menantunya. Tanya perempuan itu: "Apakah yang akan kauberikan kepadaku, jika engkau menghampiri aku?" Jawabnya: "Aku akan mengirimkan kepadamu seekor anak kambing dari kambing dombaku." Kata perempuan itu: "Asal engkau memberikan tanggungannya, sampai engkau mengirimkannya kepadaku." Tanyanya: "Apakah tanggungan yang harus kuberikan kepadamu?" Jawab perempuan itu: "Cap meteraimu serta kalungmu dan tongkat yang ada di tanganmu itu." Lalu diberikannyalah semuanya itu kepadanya, maka ia menghampirinya. ...” (Kej. 38:15-18).
Kata yang diterjemahkan dengan ‘tanggungan’ adalah erabon. Terjemahan yang demikian mengaburkan makna kata itu. Terjemahan dalam Alkitab BIS LAI lebih tepat karena di sana kata erabon diterjemahkan dengan ‘jaminan’. Yehuda mau menghampiri menantunya yang menyamar jadi pelacur itu dengan upah seekor anak kambing. Tetapi karena anak kambing itu masih berada di padang, maka ia harus memberikan ‘tanda jaminan’ bahwa upah yang masih dalam bentuk janji itu akan diperolehnya. Bagi Tamar, jaminan itu adalah tanda kepastian atas janji yang masih ditunggu sedangkan bagi Yehuda jaminan itu adalah kewajiban. Jaminan itu mewajibkan dia untuk menenuhi janjinya.
Kita telah melihat bersama di atas bahwa erabon adalah a legal concept or term in a commercial world. Memang secara sepintas kita dapat melihat makna itu dalam cerita Yehuda dan Tamar ini. Tamar boleh dibilang mau mengkomersilkan tubuhnya dengan imbalan seekor anak kambing. Tetapi ini kesimpulan yang terlalu terburu-buru. Tamar menagih janji mertuanya dengan tubuhnya, tidak menjualnya. Jaminan yang diminta Tamar bukan dimaksudkan untuk mendapatkan kambing betina, malainkan janji mertuanya. Bukan nuansa ekonomis atau komersial melainkan nuansa etis[7] yang kelihatan di sini.

Perjanjian Baru
Pemakaian istilah ini oleh Paulus dalam PB bersifat figuratif. Dalam surat 2 Korintus dan Efesus Paulus menghubungkan arrabon dengan Roh Kudus. Lebih spesifik: Roh Kudus adalah arrabon itu. Di dalam 2 Korintus kata itu muncul dua kali yakni dalam 1:22 dan 5:5, sedangan dalam Efesus hanya sekali yaitu dalam 1:14. Untuk melihat apa maksud Paulus menyebut Roh Kudus sebagai arrabon, kita akan mengeksegesis ketiga ayat ini.

Pertama, 2 Korintus 1: 22
2 Korintus 1:22 berada dalam konteks argumentasi Paulus mengenai alasan mengapa ia menunda rencana perkunjungannya. Paulus menegaskan bahwa penundaan itu bukan atas kehendaknya sendiri melainkan atas izin Allah demi kebaikan mereka (ay 23-24). Manusia bisa plin-plan, sebentar ‘ya’ sebentar ‘tidak’, kata Paulus. Tetapai pada Allah hanya ada satu bagi semua janjin-Nya, yaitu ‘ya’; dan ‘Ya’ itu adalah Kristus! Dialah ‘ya’ dari semua janji Allah! Karena itulah kita mengatakan ‘amin’ oleh Kristus untuk memuliakan Allah (ay 17-20). Allah yang telah menjadikan Kristus sebagai ‘ya’ atas semua janji-Nya itu telah melakukan empat hal untuk Paulus dan jemaat di Korintus yaitu meneguhkan,[8] mengurapi,[9] memeteraikan[10] dan memberikan jaminan: “Sebab Dia yang telah meneguhkan kami bersama-sama dengan kamu di dalam Kristus, adalah Allah yang telah mengurapi, memeteraikan tanda milik-Nya atas kita dan yang memberikan Roh Kudus di dalam hati kita sebagai jaminan dari semua yang telah disediakan untuk kita” (ay 21-22).[11]
Berdasarkan tema, maka perhatian kita tertuju hanya kepada hal yang keempat yaitu dous ton arrabona, ‘telah memberikan jaminan’. Tetapi ini tidak berarti bahwa pembahasan kita menjadi gampang karena hanya meliputi satu aspek. Tidaklah mudah menempatkan ayat 22 dalam konteks pasal 1 sebab ayat ini berada dalam argumentasi Paulus mengenai alasan penundaan kunjungannya. Tafsiran ayat ini menjadi lebih sulit lagi lantaran penambahan ‘... dari semua yang telah disediakan Allah untuk kita’ oleh LAI. Frase ini tidak ada dalam naskah-naskah berbahasa Yunani.
Secara sepintas kelihatan gampang, karena kita dapat mengaitkan jaminan ini dengan rencana perkunjungan Paulus. Sama seperti Allah menjamin kepastian semua janji-Nya, demikianlah juga janji perkunjungan Paulus sebab janji Paulus bukan semata-mata berasal dari dia melainkan dari Allah juga. Ini jelas dari pertanyaan retoris Paulus dalam ayat 17: “Jadi, adakah aku bertindak serampangan dalam merencanakan hal ini? Atau adakah aku membuat rencanaku itu menurut keinginanku sendiri, sehingga padaku serentak terdapat "ya" dan "tidak"?” dan ‘sumpahnya’ dalam ayat 23: “Tetapi aku memanggil Allah sebagai saksiku Ia mengenal aku, bahwa sebabnya aku tidak datang ke Korintus ialah untuk menyayangkan kamu.”
Akan tetapi nampaknya bukan hanya itu. Ada dua alasan mengapa kita tidak dapat menempatkan ayat 22 dalam konteks ketertundaan perkunjunan sang rasul semata. Pertama, dalam ayat 5-11 Paulus berbicara tentang penderitaan ‘kami’ dan ‘kamu’.[12] Di pihak Paulus dan rekan-rekan sekerjanya, penderitaan itu demikian berat sehingga mereka telah mengalami keputusasaan akan hidup mereka bahkan merasa seolah-olah telah dijatuhi hukuman mati (ay 8-9). Teriakan perderitaan yang berat ini demikian kuat hingga lantunan lembut janji-janji Allah hampir-hampir terlumat olehnya. Dalam kondisi seperti ini, orang-orang Korintus perlu tahu bahwa ada jaminan dari Allah. Kedua, Paulus dan rekan-rekan sepelayannya dapat menanggung penderitaan yang demikian berat ini oleh karena pengharapan mereka di dalam Allah yang ‘telah dan akan menyelamatkan’ mereka dan ‘yang akan menyelamatkan ... lagi’ (ay 10). Dan semua ini diberikan Allah melalui Kristus: “Sebab sama seperti kami mendapat bagian berlimpah-limpah dalam kesengsaraan Kristus, demikian pula oleh Kristus kami menerima penghiburan berlimpah-limpah” (ay 5). Kesengsaraan dan penghiburan mereka dari Allah terdapat di dalam Kristus. Itulah argumentasi Paulus dalam ayat 3 dan 4 bahwa sumber penghiburan itu ialah Allah. Akan tetapi penghiburan Allah itu en christo, - berada di dalam Kristus. Pemahaman atau logika berpikir en christo ini kita jumpai kembali dalam ayat 20 dengan kata-kata yang berbeda bahwa Kristus adalah ‘ya’ bagi semua janji Allah. Penghiburan dari Allah yang menguatkan sang rasul dan kawan-kawannya itu adalah salah satu dari janji-janji itu. Karena itu ayat 22 perlu ditempatkan dalam konteks jaminan kelepasan dari kesusahan berat dan penghiburan yang melimpah di dalam Kristus. Roh Kudus adalah jaminan dari kedua hal ini. Masih ada satu hal lagi yang perlu mendapat perhatian, yaitu frase en te hemera tou kuriu Yesou, ‘pada hari Tuhan Yesus’. Ini adalah termilogi eskatologis. Meskipun istilah hari Tuhan - terutama dalam PL - tidak selalu menunjuk kepada akhir zaman, namun dalam konteks surat-surat Paulus sebutan ini selalu menunjuk kepada parousia. Meskpun saat ini jemaat di Korintus menyangsikan kerasulan Paulus, namun pada hari Tuhan nanti mereka akan memegahkan Paulus. Ini pun pasti sebab Roh Kudus adalah jaminan Allah akan hal itu.
Dengan demikian maka arrobon dalam ayat 22 adalah jaminan bagi kepastian perkunjungan Paulus, kepastian kelepasan dari penderitan yang sedang dialami dan kepastian penghiburan dalam Kristus, serta kebanggaan akan kerasulan Paulus pada hari Tuhan. Keempat hal ini pasti terjadi! PASTI sebab Allah telah memberikan jaminan untuk itu, yakni Roh Kudus. Di dalam Dia hanya ada ‘ya’!

Kedua, 2 Korintus 5:5
Inilah ayat kedua, di mana Paulus menyampaikan ajarannya tentang Roh Kudus sebagai arrabon. Dari segi konteks, ayat ini harus ditempatkan dalam ayat 1-10 di mana Paul berbicara tentang kebangkitan secara metaforis. Menurut Pfitzner, bagian ini - terutama ayat 1-4 - sangat rumit dan tidak gampang ditafsir karena Paulus memakai ‘gambabaran-gambaran yang agak bercampur baur antara lain: ‘kemah, tempat kediaman, telanjang, berpakaian, dan ditelan’. Dalam ayat 6-9 pun masih ada kata-kata seperti ‘diam di dalamnya’ dan ‘diam di luarnya’ yang juga tidak kalah sulitnya.[13] Pengakuan ini memang benar jika kita melepaskan pasal 5 dari pasal 4.
Kedua pasal ini sangat berhubungan karena beberapa fakta. Pertama, bahasa-bahasa kiasan ini sudah muncul juga dalam pasal 4: ‘harta ini’ dan ‘bejana tanah liat’ (4:7), ‘manusia lahiriah’ dan ‘manusia batiniah’ (4:16). Dua yang terakhir ini tidak bisa dilepaskan dari pasal 5:1-10. Kedua, apa yang paulus bicarakan dalam pasal 5:1-10 adalah kelanjutan dari pasal 4, terutama ayat 8-18.
Inti pembicaraan Paulus dalam ayat-ayat ini adalah perbandingan antara penderitaan yang sekarang - yang sedang mereka alami - dengan sukacita yang akan mereka dapatkan kelak: “Sebab penderitaan ringan[14] yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami” (ay 17). Hal itu diulanginya lagi dalam ayat 18. Kali ini dengan bahasa simbolis: “Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal.”
Dengan kata lain, fokus perhatian Paulus bukanlah apa yang sekarang kelihatan yakni penderitaan mereka melainkan apa yang belum kelihatan yakni kemuliaan kekal. Hal itu kemudian dijelaskan lagi dalam bahasa-bahasa simbolis dalam pasal 5:1-10. Ketiga, kata gar, ‘karena’ dalam 5:1 juga menegaskan kesinambungan argumentatatif ini.
Dengan memperhatikan kebangkitan yang akan dikerjakan Allah bagi Paulus dan kawan-kawannya (4:14) dan kemuliaan kekel yang lebih dari segala-galanya yang akan mereka terima (4:18), tidaklah masalah ‘.. jika kemah tempat kediaman ... di bumi ini - yaitu tubuh yang masih fana, yang masih dapat mengalami penderitaan dan yang akan hilang karena kita meninggal atau karena diubah pada saat parousia - dibongkar, ...’ sebab ‘... Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia’ (5:1).[15]
Dalam ayat 2 dan 4 Paulus mengatakan bahwa penderitaan yang kita alami dalam tubuh kita yang sekarang, di satu sisi membuat kita mengeluh namun di sisi lain membangkitkan kerinduan untuk mengenakan tempat kediaman sorgawi, yaitu tubuh kemuliaan. Pokok pikiran yang sama sudah dikemukakan Paulus dalam 1 Korintus 15:50-54, ketika ia berbicara tentang kebangkitan tubuh. Oleh karena dosa, semua orang telah kehilangan kemuliaan Allah, menjadi telanjang dan takut (bdk. Kej. 3:7, 10-11). Ketelanjangan dan rasa takut ini akan hilang ketika kita mengenakan tubuh kemuliaan (ay 3), yang oleh Paulus disebut sefara metaforis dengan istilah-istilah seperti ‘tempat kediaman di sorga’, ‘tempat kediaman sorgawi’, dan ‘pakaian yang baru’.
Tubuh kemuliaan adalah sesuatu yang belum kelihatan (4:18) dan yang masih diharapkan. Penderitaan yang dialami (1:5, 8-10; 4:8-9, 11; bdk. 2Kor. 11:23-27) karena Injil (4:10; bdk. Flp. 1:29; 2Tim. 1:8) dengan gampang dapat menggoyahkan pengharapan akan janji-janji Allah, terutama tentang kebangkitan tubuh.[16]
Paulus tahu pergumulan ini. Penderitaan ini memang berpontensi membongkar tempat kediaman kita di bumi ini, kata Paulus (5:1). Tetapi tidak perlu kuatir apalagi takut, sebab Allah telah menyediakan tempat kediaman yang kekal. Memang itu belum kelihatan. Masih kita harapkan, namun harapan itu pasti sebab Roh Kuduslah jaminannya.[17] Tubuh kemuliaan itu adalah pemberian Allah yang masih dalam bentuk janji. Untuk menjamin kepastian janji itu, Allah mengaruniakan Roh Kudus sebagai jaminan.

Ketiga, Efesus 1:14
Surat ini dapat dibagi ke dalam dua bagian besar: dasar gereja dan kehidupan gerja. Yang pertama adalah pengajaran (pasal 1-3) sedangkan yang kedua adalah kehidupan praktis orang percaya (pasal 4-6). Dalam bagian pengajaran, ia berbicara tentang pemilihan (1:4), adopsi (1:5) dan penebusan (1:7) atas dasar kerelaan kehendak (1:5, 11) dan kasih karunia Allah (1:7; 2:8-9).[18] Semua ini dikerjakan Allah en christo, di dalam Kristus[19] (ay 1, 3, 5, 7, 9, 10, 11 dan 13).
Ayat 14 adalah fokus perhatian kita sesuai tema. Pertanyaannya adalah dalam hal apa Allah memberikan Roh Kudus kepada kita sebagai jaminan? Dalam ayat 9 dan 10 Paulus menyinggung soal ‘menyatakan rahasia kehendak-Nya ... di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi.’ Semua rahasia yang telah disingkapkan, yakni pemilihan, adopsi, penebusan dan anugerah - yang tidak mungkin terjadi terlepas dari atau di luar Kristus - dimaksudkan sebagai persiapan untuk satu hal: persatuan di dalam Kristus sebagai kepala.
Di dalam Kristus kita telah dipilih, ditebus, diangkat menjadi anak, tetapi untuk menjadi satu dengan Dia, kita harus menunggu hingga waktunya genap. Di sini kita melihat konsepsi already but not yet dalam pemikiran eskotologis Paulus. Kita memang telah dipilih, ditebus, dan diangkat menjadi anak di dalam Kristus, namun kita belum menikmati hal-hal ini secara utuh atau sempurna. Kita masih harus menunggu. Untuk menjamin apa sudah Allah kerjakan di dalam Kristus inilah, Ia memberikan Roh Kudus sebagai sphragis, ‘meterai’ dan arrabon, ‘jaminan’.
Dengan memilih, menebus dan mengangkat kita sebagi anak-anak-Nya, Allah telah menjadikan kita milik-Nya. Untuk menunjukkan bukti kepemilikan itu, Ia memberikan Roh Kudus sebagai meterai (ay 13). Kemudian untuk menunjukkan bahwa kepemilikan itu tidak akan hilang, Ia mengaruniakan Roh Kudus sebagai jaminan.
Jadi jelas bahwa arrabon dalam konteks Efesus adalah jaminan keselematan yang telah dikerjakan oleh Kristus. Keselamatan yang diterima orang percaya membuahkan persekutuan dengan Kristus. Keselamatan dan persekutuan itu sudah dikerjakan, tetapi kehidupan dalam kedua-duanya secara paripurna masih berupa pengharapan; baru akan diperoleh pada hari Tuhan.

Kesimpulan
Kita telah membahas tema kita atas dasar kemunculan istilah arrabon dalam empat bagian kitab yang berbeda-beda. Meskipun dipakai dalam konteks yang berbeda-beda, kita dapat menarik satu benang merah bahwa arrabon adalah bukti kepastian dari pengalaman hidup yang utuh atau sempurna pada saat parousia dan sesudahnya. Keselematan yang telah dikerjakan oleh Kristus dan telah diterapkan oleh Roh Kudus tidak akan hilang, karena jaminan ketidakhilangan itu ada pada Allah.
Oleh karena peranan Roh Kudus sebagai arrabon bersifat eskatologis, maka adalah baik untuk melihat - secara sepintas - eskatologi Paulus. Hal ini penting, sebab pokok utama dalam ajaran Paulus tentang keselamatan, harus dipahami ‘in their fundamentally eschatological and redemptive-historical determination’ (‘sebagai yang ditentukan secara mendasar oleh eskatologi dan sejarah keselamatan’).[20] Pertemuan Paulus dengan Yesus dalam perjalanan ke Damsyik telah membuahkan perubahan besar dalam pemahaman esktologinya. Hal ini, menurut Raymond, terlihat dalam penggenapan Yoel 2:28-32 tentang pencurahan Roh Kudus pada hari-hari terakhir dalam Kisah 2:17-21 yang dipandangnya sebagai jaminan atau uang muka, yang menjamin penyelesaiannya pada hari penyelamatan (2 Kor.1:22: 5:5; Ef.1:14; 4:30).[21]

Jika pemahaman eskatologis yang demikian dibuat dalam bentuk bagan akan tampak seperti ini:

Masa kini ----------------------------------------------------------à
ß------------------------------------------------ Masa depan

--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Mid-point Akhir zaman
Salib/kebangkitan parousia

Bagan ini memperlihatkan bagaimana Paulus memandang apa yang akan terjadi di masa depan dalam terang apa yang telah terjadi dan sebaliknya. Masa kini ada di masa depan, dan masa depan sudah ada di masa kini.

Dengan kematian dan kebangkitan Kristus segala sesuatu yang bersifat yuridis dalam kaitan dengan keselamatan orang-orang percaya telah selesai dikerjakan. Kita telah dipindahkan dari kerajaan kegelapan ke dalan kerajaan terang, yakni ‘Kerajaan Anak-Nya yang kekasih’ (Kol. 1:13), kini.
Tetapi pengalaman yang sempurna akan status yuridis atau forensik ini belum sempurna, akan.[22] Kita masih hidup dalam dunia ini, masih berada dalam peperangan rohani (Ef. 6:11-17), dan masih berujuang melawan dosa (Rm 7:23; Ibr. 4:12). Kehidupan baru di dalam Kristus itu masih merupakan pengalaman yang kabur. Namun kekaburan pengalaman hidup ini tidak akan mengaburkan, apalagi menghilangkan kepastian kepemilikannya. Roh Kuduslah jaminan kepastian itu.
Dengan memperhatikan konteks pemakaian arrobon dan soteriologi Paulus yang bersifat eskatologis maka Roh Kudus sebagai jaminan kita berarti:
1) Allah menjamin kepastian keselamatan kita - yang secara forensik telah selesai dikerjakan. Kepastian dalam pengertian tidak hilang (bdk. Yoh. 6:39a & b, 40a, b & c);
2) Allah menjamin kepastian kebangkitan tubuh pada hari parousia nanti (bdk. Yoh. 6:39c dan 40d);
3) Allah menjamin kepastian providensi-Nya. Dalam 2 Korintus 1 kita telah melihat bahwa jaminan itu pun berlaku bagi kelepasan dari kesulitan dan penderitaan yang dialami orang percaya dalam zaman akhir ini. Untuk menekankan kepasatian kelepasan, maka Roh Kudus dikaruniakan sebagai jaminan.

Roh Kudus jaminan kita adalah tema yang sungguh menghibur dan menguatkan. Dengan memberikan jaminan, Allah mewajibkan diri untuk tidak bisa tidak harus menyelesaikan sisanya. Tidak hanya gereja mula-mula, kita saat ini pun dalam hal tertentu masih goyah. Kadang-kadang penderitaan yang kita alami begitu berat sampai-sampai kita bertanya-tanya apakah benar ada jalan keluar. Kita mempertanyakan pemeliharaan Allah. Dari tema ini, kita belajar dari Paulus bahwa pemeliharaan Allah itu pasti baik untuk hal-hal yang sekarang maupun untuk yang akan datang. Meskipun apa yang akan kita terima itu masih samar-samar (1 Kor. 13:12), “Namun kutahu yang kupercaya; dan aku yakin kan kuasa-Nya; Ia menjaga yang kutaruhkan; hingga hari-Nya kelak” (Refrain KJ no 387 karya Daniel W. Wittle dan James McGranatan).


Tuhan Memberkati dan selamat kepada para wisudawan-wisudawati berserta keluarga!


[1] Disampaikan dalam acara wisuda perdana STT Arrabona, Jumat, 09 Desember 2011
[2] Hanya enam kali dalam seluruh PL dan PB, dan hanya dari dua orang penulis yaitu Musa dan Paulus.
[3] Verlyn D. Verbrugge, ed., The NIV Theological Dictionary …. p. 177. Lihat juga Walter Bauer, A Greek-English Lexicon of the New Testament … p. 134
[4] G. Kittel and G. Friedriech, eds., Theological Dictionary of the New Testament, translated by G. W. Bromiley. Abridged in one volume. (Grand Rapids, Mich. 1985), p. 80
[5] Dalam budaya dunia Oriental, ada yang disebut dengan pernikahan ipar (Ibr.: yibbum, Ing.: levirate marriage). Jika seorang laki-laki yang telah menikah, meninggal dengan tidak memiliki anak laki-laki, maka saudaranya wajib menikahi istrinya itu. Jika sang janda itu menikahi adik iparnya yang terakhir, dan ini pun mati maka ia boleh menikahi ayah mertuanya. Dan jika semua ini sudah tidak ada lagi maka ia dapat menikah dengan laki-laki dari sanak saudara almarhum suami-suaminya. Anak pertama yang lahir dari hasil pernikahan itu akan diperhitungkan sebagai anak dari almarhum dan berhak atas warisannya. Kebiasaan ini kemudian diadopsi oleh Musa (Ul. 25:5-10). Lihat juga kisah Rut dalam kitab Rut.
[6] Sebenarnya Yehuda tidak mengingkari janji, karena sesungguhnya ia tidak pernah berjanji. Kalimat yang berkesan janji dalam ayat 11 hanyalah siasat. Yehuda mau menghindarkan Tamar dari Syela. Jadi apa yang terjadi sebenarnya adalah bahwa Tamarlah yang terlalu polos menanggapi kata-kata mertuanya. Ia tidak cukup pandai untuk melihat kebohongan yang terpancar dari mata mertuanya, ketika ia menyuruhnya pergi ke rumah orangtuanya.
[7] Saya sebut nuansa etis sebab pengingkaran yang dianggap Tamar telah dilakukan oleh mertuanya, berada dalam ranah sosial-kekeluargaan. Dalam dunia oriental tidaklah lazim bagi seorang perempuan untuk menuntut haknya secara verbal, dengan kata-kata. Kata-kata tuntutan atau permintaan hak itu akan dikomunikasikan dalam bentuk tindakan. Inilah yang dikerjakan oleh Tamar.
[8] Kata Yunani yang diterjemahkan dengan ‘meneguhkan’ adalah bebaioo yang berarti menghilangkan keragu-raguan atau membuat seseorang tidak goyah dalam komitmennya. Dalam Markus 16:20 kata ini dipakai untuk mukjizat-mukjizat yang menyertai pemberitaan Injil. Mukjizat-mukjizat ini terjadi dalam rangka menghilangkan keraguan orang terhadap kebenaran dan kuasa Injil. Dalam 2 Korintus 1:21 kata ini berarti menjadikan kita murid Kristus yang setia atau yang kokoh atau yang tidak goyah. Walter Bauer, A Greek-English Lexicon of the New Testament … p. 173. Kata yang sama juga terdapat dalam ayat 7. Lihat juga V. C. Pfitzner, Ulasan atas Surat 2 Korintus … p. 36
[9] Ada semacam permain kata yang menarik di dalam ayat 21: chistos – krio. Kata benda christos yang berarti ‘yang diurapi’ (Ibr. masiah) dirangkaikan dengan kata kerja krio yang berarti mengurapi. Berada di dalam Kristus, yang berarti berada di dalam Yang diurapi, menuntun kepada kenyataan bahwa kita adalah orang-orang yang diurapi.
[10] Pada zaman kuno, meterai menunjukkan dua hal, yaikni sebagai bukti kepemilikan dan keaslian. Meterai pada sebuah dokumen, menunjukkan bahwa dokumen itu asli dan berwibawa. Dengan memeteraikan orang percaya dengan Roh Kudus, Allah telah menunjukkan kepemilikan-Nya atas orang percaya itu. Di samping itu, Roh Kudus yang menjadi meterai juga sekaligus melambangkan keaslian iman orang percaya itu. Artinya, jika kita telah dimeteraikan oleh Allah, maka kita patut mengucap syukur dan boleh bergembira karena meterai itu bukti keaslian dan kewibawaan iman kita. Meterai itu juga adalah bukti bahwa kita telah mempercayai Allah yang benar.
[11] Keempat kata kerja ini dalam dalam bentuk participle semuanya. Satu, yakni ‘meneguhkan’ dalam bentuk waktu present active, sedangkan ketiga lainnya dalam bentuk aorist active. Secara linguistik hal ini menarik. Meneguhkan adalah sesuatu yang terus Allah kerjakan. Ini menunjukkan bahwa orang percaya memerlukan pertolongan Allah secara terus menerus agar komitmen imannya tetap teguh, tidak goyah. Peneguhan adalah sebuah proses. Tetapi mengurapi, memeteraikan dan memberi jaminan adalah sesuatu yang terjadi sekali. Orang percaya tidak perlu diurapi, dimeteraikan dan diberi jaminan berkali-kali. Cukup sekali untuk selama-lamanya. Kelihatannya TB LAI menerjemahkan kata yang pertama dalam bentuk waktu aorist juga. Menurut saya ini terjemahaan kurang tepat dari segi tata bahasa, yang berakibat pada hilangnya makna kontinuitas yang terkandung di dalam kata meneguhkan. Terjemahan BIS lebih baik. Lihat juga NIV atau NBG (The Netherlands Bible Society) 1951.
[12] Kami adalah Paulus, Silwanus dan Timotius sedangkan kamu adalah jemaat di Korintus.
[13] V. C. Pfitzner, Ulasan 2 Korintus …., hlm. 73-4
[14] Sepintas kelihatan Paulus plin-plan. Dalam pasal satu ia mengatakan bahwa penderitaan itu demikian berat sehingga mereka merasa putus asa dan seolah-olah telah dijatuhi hukuman mati (ay 8-9), lalu sekarang ia mengatakan bahwa penderitaan itu ringan. Tetapi nampaknya Paulus tidak sedang membicarakan intensitas penderitaan itu pada dirinya sendiri di sini. Dalam pasal satu memang itu yang dibicarakan. Namun sekarang Paulus sedang membandingkan penderitaan itu dengan kemuliaan yang telah Allah sediakan bagi mereka. Penderitaan itu memang berat, bahkan sungguh amat berat. Tetapi jika dibandingkan dengan kemuliaan kekal yang sedang menanti, beratnya penderitaan itu tidak ada apa-apanya.
[15] Ada penafsir yang membedakan istilah ‘kemah’ dengan ‘tempat kediaman’ dalam ayat ini. Pengalihan dari ‘kemah’ ke ‘tempat kediaman’ dianggap sebagai pentunjuk peralihan dari yang sementara kepada yang abadi atau kekal. Tetapi dalam bahasa Yunani hanya ada satu kata, yakni oikos, yang berarti rumah. Memang kebanyakan versi Alkitab selalu menerjemahkan oikos yang pertama dengan ‘kemah’ dan yang kedua dengan ‘bangunan.’ NIB, NAS dan NIV, misalnya, menerjemahkan kedua kata yang satu dan sama ini (oikos) dengan earthly tent dan building. Hal sama juga dengan NBG: tent dan gebouw. Alkitab TB LAI juga memberikan arti yang berbeda: kemah dan tempat kediaman. KJV dan BIS yang menerjemahkan kata ini dengan tepat, yakni rumah. Kedua terjemahan ini kelihatannya dilatarbelakangi oleh 1 Tawarikh 9:23 (bait kemah). Memberikan arti yang berbeda kepada kata oikos dalam ayat ini kurang tepat. Di satu sisi ini membuat tafsiran menjadi sulit karena kita akan berbikir bahwa paulus sedang berbicara mengenai dua hal yang berbeda. Di sini lain, jika memang Paulus bermaksud mengalihkan perhatian dari ‘yang sementara’ kepada ‘yang kekal’ dengan membandingkan ‘kemah’ dengan ‘gedung’ atau ‘rumah’, ia pasti akan memakai skenos, yang memang berarti kemah. Lihat juga misalnya Matius 17:4. Di samping itu, istilah skenos tidak selalu bermakna temporal. Makna kata ini ditentukan juga oleh konteks. Itulah yang kita temukan dalam Wahyu 15:5: ‘… kemah kesaksian di sorga.’
[16] Di samping itu, orang-orang Korintus yang tentunya sudah terbiasa dengan filsafat Yunani yang bersifta dualistis dalam memandang tubuh dengan jiwa, sedikit banyak pasti mempertanyakan penghargaan Paulus yang kuat terhadap tubuh. Apalagi bahwa ada satu tubuh yang lain, yang akan dikenakan pada hari Tuhan.
[17] Sama seperti dalam 1:22, di sini pun ada tambahan terjemahan ‘… segala sesuatu yang telah Allah sediakan bagi kita’ dalam Alkitab TB LAI. Frase ini tidak kita temukan dalam naskah-naskah berbahasa Yunani. Penambahan ini di samping memberikan penegasan atas kepastian semua janji Allah, namun di sisi lain membuat tafsiran menjadi tidak gampang. Dalam bagian ini Paulus tidak sedang berbicara tentang ‘segala sesuatu’ tetapi tentang ‘satu hal’ yaitu kebangkitan tubuh.
[18] Lihat L. Floor, Efeziers …, p. 44-45.
[19] Istilah ‘di dalam Kristus’ muncul 164 kali dalam seluruh surat Paulus, ‘di dalam Roh’ 22 kali (5 kali dalam Efesus) dan ‘di dalam Allah’ 3 kali. Akan sangat menarik untuk membahas en christo ini secara khusus. Sayang, tema kita membatasi kita untuk tidak melangkah ke sana.
[20] Ridderbos, Herman N. Paul. ...., p. 487.
[21] Di samping itu, masih ada berberapa hal lagi yang menjadi fakta bahwa teologi Paulus itu bersifat eskatologis. Pertama, pemerintahan Yesus sebagai Mesias telah dimulai ketika Ia bangkit dan naik ke sorga (1 Kor.15:23-25; Kol.1:13). Kedua, Kebangkitan Yesus sebagai ‘yang sulung’ adalah tanda dimulainya kebangkitan orang percaya (aparchē, 1 Kor.15:21-23). Ketiga, pembebasan yuridis telah diberikan kepada orang Kristen dalam kematian dan kebangkitan Kristus (Rm.5:1, 9; 4:25; Gal.2:16). Reymond, Robert L. . A New Systematic Theology …, p. 1011.




[22] Bandingkan Ladd, Teologi Perjanjian Baru ...., (cetakan ke- 2), hlm 343-5. Lihat juga, misalnya, Dunn, Theology ..., p. 464-5