Kamis, 08 Maret 2012

Khotbah di Bukit I

Sinai Perjanjian Baru

Matius 5:1-16


Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya. 2 Maka Yesuspun mulai berbicara dan mengajar mereka, kata-Nya: 3 "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. 4 Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur. 5 Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi. 6 Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan. 7 Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. 8 Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. 9 Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. 10 Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. 11 Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. 12 Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu." 13 "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. 14 Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. 15 Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. 16 Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga."

Pasal 5:1-7:29 adalah pengajaran pertama dari lima pengajaran Yesus dalam Injil Matius (5-7; 10; 13; 18-20; 24-25). Bagian ini biasanya disebut Khotbah di Bukit. Meskipun ada lima pengajaran Yesus dalam Injil ini, barangkali Khotbah di Bukit adalah yang paling diingat, paling sulit dimengerti dan bahkan sangat sering dilanggar.
Pengajaran pertama ini dimulai dengan kata ‘berbahagialah’, yang biasanya disebut beatitude, dari bahasa Latin beatus, yang berarti ‘benar-benar bahagia’. Dalam pengajaran ini Yesus membuka realitas kehadiran Kerajaan Allah dalam kehidupan nyata sehari-hari, yakni bagaimana hidup secara sorgawi di bumi. Ada orang yang berpendapat bahwa pengajaran ini hanya bersifat sementara dan hanya untuk orang Israel. Tetapi dari Matius 28:16 (-20) jelaslah bahwa pengajaran ini dimaksudkan Yesus untuk Israel dan untuk segala bangsa, dahulu, sekarang dan nanti.
Jika diperhatikan, apalagi jika Khotbah di Bukit disejajarkan dengan pengajaran di gunung Sinai, maka dapat dikatakan bahwa isi khotbah di Bukit adalah peraturan-peraturan tentang kehidupan dalam Kerjaan Allah.
Pasal 4 berakhir dengan cerita bahwa orang banyak dari seluruh wilayah Israel (Galilea, Dekapolis, Yerusalem, Yudea dan Perea) berbondong-bondong mengikuti Yesus. Dalam pasal 5:1 respons Yesus terhadap kehadiran orang banyak ini dinyakatan: ‘Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke bukit, ... datanglah murid-murid-Nya ....” Dua kelompok orang terlihat di sini: orang banyak dan murid. ‘Orang banyak’ adalah mereka yang tertarik pada dan sering tercengang oleh pengajaran dan mukjizat Yesus (bdk Mat. 9:33; 12:23; Mrk. 11:32; Luk. 11:14), sedangkan murid atau rasul adalah mereka yang telah percaya bahwa Yesus adalah Yang diurapi dari Allah dan telah mengambil komitmen untuk hidup bagi Dia dan bekerja untuk Kerajaan Allah.
Setelah mengajar di Synagoge (4:23), sekarang Ia pergi ke bukit. Kali ini tidak untuk berdoa seperti biasanya (Mrk. 6:46) tetapi untuk mengajar. Bukit doa-Nya berubah menjadi bukit pengajaran. Ini tentu saja dapat mengingatkan kita kepada gunung Sinai. Sama seperti umat perjanjian mengikuti Musa ke bukit itu untuk mendapatkan hukum Tuhan (dasa titah dalam 2 loh batu), demikian jugalah sekarang keturunan mereka mengikuti Yesus ke bukit ini untuk mendapatkan pengajaran. Sama seperti dasa titah mengatur perjalanan umat perjanjian menuju tanah perjanjian dan bagaimana mereka harus hidup di sana, demikianlah sekarang pengajaran di bukit ini mengatur langkah dan hidup murid-murid-Nya – juga orang percaya sekarang dan nanti - dalam Kerajaan Allah.
Kita juga dapat membandingkan bukit ini dengan gunung Sion. Ke sana orang-orang Israel selalu pergi untuk bertemu Allah dalam Bait-Nya (Bait Allah). Demikian juga sekarang orang banyak itu ‘digiring’ Yesus ke bukit ini untuk bertemu dengan Allah melalui pengajaran-Nya.
Di tempat lain Yesus sering bertemu dengan pendengar yang kritis dan yang secara terencana berusaha menjembak-Nya. Tipe pendengar yang ini selalu berasal dari kelompok terpelajar dalam Hukum Taurat (para rabi, ahli Taurat dan orang-orang Farisi - Mat. 7:28-29; 9:3dst.; 12:24dst.; 15:1; 19:3dst.; 22:35-36: Mrk. 2:6-7; 7:1dst.; 9:14; 15:31; Luk. 5:30dst.; 10:25dst.). Di sini, di bukit ini, Yesus bertemu dengan orang-orang yang rindu dan haus akan pengajaran-Nya, yakni para murid di hadapan orang banyak yang juga ikut mendengarkan (Mat. 7:28-29). Setelah memberitakan Injil Kerajaan Allah (4:23), sekarang Yesus mengajar tentang bagaimana seharusnya hidup dalam kerajaan itu (5:20; 7:13, 21-23) dan apa keuntungannya. Yang kedua ini memiliki dua fungsi: kebahagiaan manusia (5:2;12) dan kemuliaan Allah (5:16). Dengan pengajaran ini Yesus memimpin orang banyak itu meninggalkan para pemimpin agama yang suka mencobai dan mengeritik di Sinagoge kepada para murid yang senang mendengar dan menaati hukum-hukum-Nya (Mat. 5:19-20; 7:24-27). Apakah gereja zaman ini tidak memiliki tipe pendengar yang pertama – yang suka mencobai dan mengeritik? Justru pendengar jenis ini semakin banyak dan lebih berani saat ini. Banyak orang yang terpelajar dalam teologi dengan berbagai gelar dan jabatan semakin terang-terangan menyangkal Alkitab dan Yesus dengan berbagai teori. Di Indonesia pun kelompok pendengar jenis ini sudah semakin banyak.

Sifat Kerajaan Allah: sudah dan belum
Semua ucapan ‘bahagia’ dalam ayat 3-12 terdiri atas dua bagian. Bagian pertama adalah kualifikasi untuk menjadi warga Kerajaan Allah: miskin di dalam roh (ay 3), berdukacita (ay 4), lemah lembut (ay. 5), lapar dan haus akan kebenaran (ay 6), murah hati (ay 7), suci hati (ay 8), membawa damai (ay 9), difitnah dan dianiaya karena kebenaran (ay 10-12). Bagian kedua adalh upah jika kualifikasi itu terpenuhi: empunya Kerajaan Sorga (ay 3), akan dihibur (ay 4), akan memiliki bumi (ay 5), akan dipuaskan (ay 6), akan beroleh kemurahan (ay 7), akan melihat Allah (ay 8), akan disebut anak-anak Allah (ay 9), empunya kerajaan sorga (ay 10), upah besar di sorga (ay 12). Semua ini menjadikan mereka orang-orang yang berbahagia.
Di samping itu, dari segi waktu atau tense, ucapan bahagia yang pertama dan yang kedelapan dalam bentuk waktu sekarang (‘karena merekalah yang empunya... ‘), sedangkan ucapan-ucapan yang diapit keduanya dalam bentuk waktu yang akan datang (‘karena mereka akan ...’).
Meskipun masing-masing kualifikasi memiliki imbalan tersendiri, kedelapan ucapan ini tidak perlu dipandang sebagai kriteria-kriteria rohani yang berdiri sendiri-sendiri sehingga kita dapat memilih mana yang kita sukai atau yang cocok dengan sifat dan sikap kita. Mereka harus dilihat sebagai satu kesatuan yang menunjukkan sifat Kerajaan Allah yang ‘sudah dan belum’.
Karena kita percaya, maka Kerajaan Allah itu telah menjadi milik kita (bdk Yak. 2:5). Kita adalah warga Kerajaan itu (2Tes. 1:5). Tetapi pada saat yang bersamaan masih ada berkat-berkat kerajaan itu yang belum diberikan atau baru berupa ‘uang muka’. Keselamatan memang telah menjadi milik kita tetapi hidup yang kekal masih harus kita tunggu hingga kedatangan Kristus kembali. Kristus memang sudah menang atas Iblis, dosa dan maut. Kematian dan kebangkitan-Nya menandai kemenangan itu, tetapi kemenangan akhir belum tercapai.
Meski demikian, kita tidak perlu ragu karena kebangkitan-Nya adalah jaminan dari kemenangan akhir yang masih harus kita tunggu itu. Di samping itu Roh Kudus adalah jaminan dari semua berkat Kerajaan yang belum kita terima seutuhnya itu (2Kor. 1:22; 5:5; Ef. 1:14; bdk Ibr. 7:22; Mzm. 119:122). Ilustrasi berikut dapat menolong kita memahami sifat Kerajaan Allah yang already dan not yet ini: dalam Perang Dunia II pantai Normandy merupakan penentu kemenangan pasukan sekutu. Para panglima pasukan sekutu menyadari benar bahwa sekali pantai itu dikuasai, maka kehancuran atau kekalahan total pasukan Hitler tidak dapat dicegah lagi. Tetapi kemenangan akhir itu belum terjadi untuk beberapa bulan lamanya meskipun mereka berhasil menguasai pantai itu. Kemenangan baru benar-benar diperoleh setelah membayar harga melalui banyak korban jiwa.
Demikian jugalah kehidupan dalam Kerajaan Allah. Masih ada peperangan rohani. Kemenangan akhir akan memerlukan waktu dan pengorbanan besar dari gereja-Nya. Meskipun Rajanya telah menang dan kita telah memiliki kerajaan itu dan hidup di dalamnya, kita masih tetap mengalami duka cita, celaan, hinaan dan penganiayaan. Tetapi kita tidak perlu tawar hati. Sama seperti Normandi jaminan kemenangan pasukan sekutu atas Hitler, demikianlah kebangkitan Kristus dan Roh Kudus menjadi jaminan kemenangan akhir kita.

Kualifikasi warga Kerajaan Allah
Jika diperhatikan ternyata kualifikasi pewaris atau warga kerajaan yang menang ini bertolak belakang dengan prinsip dan sifat kerajaan-kerajaan dunia ini. Dalam kerajaan duniawi, para pemilik kerajaan adalah mereka yang telah berjasa atau yang memiliki kemampunan lebih di atas yang lain. Jasa dan keunggulan mereka itulah yang menentukan menjadi apa atau siapakah mereka dalam kerajaan itu. Tetapi bagaimana dengan pewaris atau pemilik Kerajaan Allah?
• Miskin dalam roh > mereka yang sadar bahwa mereka memerlukan pertolongan Allah. Secara fisik bisa jadi sehat dan kuat, secara ekonomis mampu bahkan kaya, secara sosial terhormat dll., tetapi untuk mewarisi Kerajaan Sorga mereka sadar bahwa mereka bergantung pada belaskasihan Allah sepenuhnya (bdk Ef. 2:8; 2Kor. 3:5; Rm. 4:16). Orang miskin dalam roh adalah mereka yang telah kehilangan Allah. Secara rohani semua manusia miskin, bahkan pengemis. Ptochos dalam ayat 3 secara harfiah berarti pengemis. Terjemahan Baru dan BIS LAI yang menggantikan frase ‘... dalam roh’ dengan ‘... di hadapan Allah’ dengan gampang mengaburkan makna kata ‘miskin’ yang dipakai secara figuratif di sini, seolah-olah Yesus sedang berbicara tentang kemiskinan sosial atau ekonomis. Orang miskin dapat hidup dari hari ke hari atas sedikit yang ada padanya, tetapi pengemis akan segera mati tanpa belaskasihan orang lain dari hari ke hari. Murid-murid Yesus bukanlah orang miskin, apalagi pengemis, karena mereka sendiri berbicara tentang orang miskin sebagai komunitas di luar mereka dan Yesus pun membenarkan itu (Mat. 26:9, 11). Memang di dalam Gereja tidak terdapat banyak orang yang bijak, orang yang berpengaruh, banyak orang yang terpandang (1Kor. 1:26-28), tetapi mereka bukanlah komunitas pengemis. Maka jelaslah bahwa Yesus tidak sedang berbicara tentang orang-orang yang miskin secara sosial-ekonomis, tetapi secara rohani. Keterpurukan rohani itu begitu dalam hingga bukan kondisi orang miskin padanannya, melainkan pengemis. Setiap orang yang insyaf akan keterpurukan yang demikian akan merasakan adanya kebutuhan akan Yesus. Jika kebutuhan ini terpenuhi, maka Kerajaan Sorga akan menjadi bagian mereka.



• Yang berduka > Inilah mereka yang menyadari kemiskinan mereka di dalam roh atau keterasingan mereka dari Allah karena dosa. Paulus menasihati jemaat di Korintus agar mereka perlu berdukcita karena dosa (1Kor. 5:2; bdk 2Kor. 12:21; Mat. 11:21) sebab dukacita yang demikian dapat membawa mereka kepada pertobatan (2Kor. 7:9). Inilah dukacita yang dikenan Allah, yang patut diupahi dengan penghiburan. Dukacita jenis ini dimiliki semua manusia tetapi hanya sedikit yang merasakannya. Yesus tidak sedang berbicara tentang dukacita karena meninggalnya seseorang yang dikasihi, tetapi dukacita karena kehilangan relasi dengan Allah: dukacita rohani. Yesuslah jembatan kepada pemulihan relasi itu. Setiap orang yang belum memiliki-Nya mestilah berdukacita.



• Yang lemah lembut > ini tidak hanya soal sifat tetapi juga sikap. Warga kerajaan sorga haruslah bersifat dan bersikap lemah lembut dan ramah baik terhadap sesama warga maupun orang lain. Dalam Alkitab, lemah lembut menunjuk pada sifat pemerintahan Yesus (Mat. 11:29; 21:5 bdk Zak. 9:9). Dan Ia mengajar murid-murid-Nya untuk bersikap demikian pula: “… pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu” (Mat. 20:25-26). Dalam 2 Korintus 10:1 Paulus menyebutkan kelemahlembutan sebagai sikap Yesus terhadap manusia selama hidup-Nya di bumi dan menasihati gereja supaya ia pun bersikap demikian terhadap orang lain.
Sama seperti Yesus yang lemah lembut dan ramah dalam pelayanan-Nya, demikian jugalah seharusnya para murid dahulu dan orang percaya atau gereja sekarang - entah pribadi atau kelompok. Kelemahlembutan dan keramahtamaan Yesus tidak bersyarat. Ia tidak bersikap lembah lembut dan ramah serta penuh belaskasihan sebagai balasan dari kelemahlembutan dan keramahantamahan orang terhadap-Nya. Demikian jugalah seharusnya orang percaya saat ini: bersikap lemah lembut, ramah serta penuh belaskasihan kepada siapa saja tanpa syarat. Terlihatkah sifat dan sikap seperti ini dalam gereja Tuhan di abad ini?



• Yang lapar dan haus akan kebenaran > mereka yang sadar akan kebutuhan rohani mereka, yakni bahwa mereka memerlukan Yesus, jika mau menjadi warga kerajaan-Nya dan mengambil bagian dalam semua berkat kerajaan itu. Yesuslah kebenaran itu. Dengan percaya kepada-Nya, kelaparan dan kehausan jiwa terpuaskan (bdk. Yoh. 7:37; Why. 21:6; 22:17). Orang-orang Yahudi merasa bahwa status mereka sebagai keturunan Abraham dapat menolong mereka (bdk Yoh. 8:33), tetapi Yohanes Pembaptis mengajarkan bahwa status orang Yahudi sebagai keturunan Abrahama tidak dapat menolong. Mereka harus bertobat (Mat. 3:7-9). Sama seperti status sebagai keturunan Abraham tidak menolong demikianlah status sebagai orang Kristen, sebab banyak orang Kristen hidup tanpa Kristus. Seorang bapa Gereja yang bernama Agustinus sudah mengatakan itu 1800-an tahun yang lalu: ada banyak serigala di dalam gereja dan ada banyak domba di luar gereja.



• Yang murah hatinya > Yesus murah hati dan Ia meminta agar warga Kerajaannya merefleksikan sifat itu di dunia ini. Ia selalu berbelaskasihan setiap kali melihat orang-orang yang bermasalah dan menolong mereka (Mat. 9:13, 36; 14:14; 15:32; 20:24 dan ayat-ayat paralelnya). Ia mengecam dengan keras ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang mengabaikan belaskasihan: “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan” (Mat. 23:23).



• Yang suci hatinya > mereka yang menjaga hatinya dari segala yang jahat dan yang hidup dalam kekudusan. Hidup dalam Kerajaan Allah, berarti hidup di hadapan dan di bawah pinpinan Allah yang kudus. Itu berarti rakyat-Nya pun haruslah demikian: ‘Kuduslah kamu, sebab Aku kudus’ (1Ptr. 1:16; Im. 11:44-45; 19:2). Tuntutan ini sangat berbeda dengan kebanyakan pemerintahan di dunia ini termasuk Indonesia: pemerintah korup tetapi rakyatnya dituntut ‘bersih’. Lebih parah lagi pemimpin-pemimpin gereja tertentu hidup dalam kecemaran, tetapi berkhotbah setiap minggu tentang kekudusan. Ahli-ahli Taurat dan orang-orang farisi kelihatan suci dan kudus dari luar, tetapi hati mereka adalah gudang kemunafikan dan kebohongan (Mat. 23 dan 28). Apakah gereja zaman ini berbeda dengan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi zaman Yesus? Yesus mengajar orang Israel bahwa kesuciaan sesungguhnya bersumber dari hati (bdk. Mat. 15:17-20). Itu tidak berarti bahwa kesucian lahiriah tidak penting, tetapi bahwa tanpa kesucian hati kesuciaan lahiriah hanyalah kemufikan.



• Membawa damai > Yesus tidak sedang berbicara tentang perantara dua pihak yang sedang berseteru, tetapi tentang mereka yang tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Seorang perantara dapat mendamaikan pihak-pihak yang diantarainya, tetapi ia sendiri belum tentu bisa berdamai dengan orang-orang yang menyakitinya. Seorang pembawa damai adalah dia yang melakukan apa yang baik bagi semua orang, selalu mengampuni dan mengalahkan kejahatan dengan kebaikan (Rm. 12:17-21). Dasar dari sikap damai ini adalah Allah yang mau berdamai dengan manusia yang memberontak terhadap kekuasaan dan kemuliaan-Nya (Kol. 1:20-22). Inkarnasi Yesus, imanuel, membuktikan bagaimana Allah mau berdamai dengan manusia yang memusihi-Nya melalui dosa-dosa mereka. Siapa yang mau menjadi warga Kerajaan dari Raja yang suka damai ini, ia pun harus suka damai. Tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan (5:38-42).



• Yang dianiaya, dicela dan difitnah karena kebenaran > mereka yang tidak mau berkompromi dengan dan yang tidak takut terhadap dunia tetapi yang berani menjadi saksi Kristus. Jika diperhatikan, sasaran pembicaraan Yesus dalam ayat 3-10 bersifat abstrak (umum): ‘… orang yang …’, sedangkan dalam ayat 11 (dan 12) bersifat khusus: ‘berbahagialah kamu, jika karena Aku ...’: murid-murid dan Yesus (bdk ay 1-2). Semua pembicaraan sebelumnya mengerucut di sini. Puncak dari kerucut itu ialah kebenaran (ay 10) yakni Yesus (ay 12).
Dalam ayat 3-10 Yesus berbicara tentang kondisi ideal, yakni bahwa siapa yang mau menjadi warga Kerajaan Allah ia harus menyadari keterhilangannya di hadapan Allah dan berduka karenanya, bersifat dan bersikap lemah lembut dan murah hati, merasa membutuhkan Yesus, memiliki kesucian hati dan mencintai kedamaian. Tetapi dalam ayat 11-12 disebutkan kondisi riel yang akan dihadapi para rasul. Setelah menjadi warga Kerajaan Allah dengan kualifikasi-kualifikasi seperti di atas, mereka akan menjadi musuh dunia ini: dicela, difitnah dan dianiaya bahkan dibunuh. Yesus dicela, difitnah dan dianiaya sampai mati. Demikian jugalah para murid dahulu dan orang percaya sekarang dan nanti (Yoh. 5:20).
Tetapi mengapa Yesus, sang Raja, menempatkan murid-murid dan gereja-Nya sekarang dalam kondisi sulit seperti itu? Apakah Dia tidak senang melihat kita hidup dalam ketenangan dan kedamaian? Mengapa Dia mengizinkan kita masuk dalam situasi yang tidak menyenangkan seperti itu? Jawabannya adalah karena Dia yang berdaulat, telah memanggil dan menempatkan kita di dunia ini dengan tugas tertentu: menggarami dan menyinari.
Penganiayaan karena Yesus tidak perlu membuat para rasul berdukacita dan mengeluh karena para nabi yang mendahului mereka pun telah mengalami penganiayaan itu, bahkan orang-orang yang akan percaya karena pemberitaan mereka akan mendapat bagian dalam penderitaan itu.
Peralihan ‘kependudukan’ dari kerajaan-kerajaan dunia ke Kerajaan Allah, telah menjadikan kita musuh dunia ini. Seorang musuh tidak akan dibiarkan hidup dalam ketenangan. Demikianlah dunia tidak akan membiarkan kita hidup dalam ketenangan. Bahkan Allah sendiri yang menempatkan permusuhan itu (Kej. 3:15) dan Dia pulalah yang akan menolong kita untuk menang.
Penderitaan ini akan hilang, kalau seluruh dunia telah menjadi sahabat Allah, tetapi itu tidak mungkin. Jadi bagaimana? Berduka dan meninggalkan kewarganegaraan kita? TIDAK!
Yesus berkata dalam Yohanis 15:20 bahwa dalam hal penganiayaan, seorang hamba tidak akan lebih dari tuannya. Dunia telah menganiaya Sang Tuan, Yakni Yesus, dan karena itu kita pun akan dianiaya. Tetapi ingatlah: aniaya yang kita alami tidak sebanding yang dialami Yesus, Tuhan dan Tuan kita.
Dalam suratnya kepada jemaat Kristus di perantaun, rasul Petrus menasihatkan agara mereka perlu berbahagia karena Kristus. Daripada menderita sebagai pencuri atau pembunuh atau penjahat atau pengacau, lebih baik menderita sebagai pengikut Kristus (1Ptr. 4:14-16). Dari pada dipenjarakan karena korupsi, pungli, pemerkosaan, penipuan, obat-obat terlarang, perselingkuhan, dll., lebih baik masuk bui lantaran menjadi saksi Kristus. Setiap orang yang makan pasti kenyang, yang minum pasti kehilangan rasa haus, yang mandi pasti basah, yang tidak buta pasti bisa melihat; demikianlah setiap pengikut Kristus, warga Kerajaan Allah pasti mengalami celaan, fitnahan, penganiayaan karena Kristus. Kita beroleh anugerah tidak hanya untuk percaya tetapi juga untuk menderita karena Kristus (dan pemberitaan Injil): “Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia (Flp. 1:29).
Kewajiban warga kerajaan Allah: menggarami dan menerangi.
TB-LAI memisahkan ayat 1-12 dari ayat 13-16. Pemisahan ini – kemungkinan – didasarkan atas absennya kata ‘berbahagialah’ dalam keempat ayat ini. Pemisahan yang demikian kurang tepat.
Yesus mengajar murid-murid dan orang banyak tentang natur kehidupan dalam kerajaan Allah, yakni kehidupan yang berkebahagiaan karena kulifikasi atau syarat seperti terdapat dalam ayat 3-12.
Peranan murid-murid dalam mempraksiskan kualifikasi atau natur itu sangat penting dan menentukan. Untuk menolong mereka memahami pentingnya peran itu, Yesus memakai ilustrasi garam dan terang, dua unsur yang sangat penting dan dibutuhkan manusia (5:13-14). Dengan memperlihatkan hidup yang diupahi kebahagiaan (5:3-12), mereka‘menggarami’ dan ‘menerangi’ dunia.
Para rasul dan orang banyak - jika mereka pun percaya seperti para rasul - adalah garam. Ketidaktawaran, ketidakhambaran dan ketidakbusukan dunia ini bergantung pada mereka. Jika mereka tidak dapat menolong dunia ini untuk mengenal atau merasakan kemiskinan rohani mereka, duka karena keterhilangan mereka di hadapan Allah, kelaparan dan kehausan akan Yesus Kristus sang kebenaran, maka mereka telah menjadi garam yang kehilangan keasinannya. Garam yang demikian akan dibuang. Yohanis Pembaptis sudah mengatakannya: ‘...setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api’ (Mat. 3:7-10; bdk Yoh. 15:2).
Di samping itu mereka juga adalah terang. Menjadi terang berarti memperlihatkan kebaikan: lemah lembut, murah hati, suci hati dan membawa damai. Perbuatan-perbuatan yang demikian akan menarik perhatian orang, tidak kepada murid-murid dan orang banyak per se, tetapi kepada Allah. Melalui kebaikan-kebaikan ini, para rasul dan orang banyak merefleksikan kehadiran Allah bagi mereka yang miskin dalam roh, penghiburan Allah bagi mereka yang berdukacita, serta kepuasan dari Allah bagi mereka yang lapar dan haus akan kebenaran.
Dengan begitu mereka memuliakan Allah, sebab untuk itulah mereka dipanggil (bdk. Yoh. 15:8; Yes. 61:3; 2Kor. 9:13; Flp. 1:11). Itulah sebabnya mengapa pemisahan 5:1-12 dari 13-16 dianggap kurang tepat.
Kualitas para rasul tidak ditentukan oleh seberapa banyak mereka berteori dalam berkhotbah, mengajar, mengkonseling dan memimpin (5:20; bdk. Rm. 10:3) melainkan oleh seberapa banyak mereka membuahkan ajaran iman itu dalam praktik (7:21; Luk. 6:46; Rm. 2:13; Yak. 1:22; Hos. 8:1-2; Yoh. 15:16). Demikian jugalah kita – orang percaya – saat ini.
Apakah dengan menjadi ‘terang’ dunia, orang-orang percaya (gereja) telah menggantikan Yesus yang adalah terang dunia (Yoh. 8:12; 9:5)? TIDAK! Orang percaya adalah ‘kabel’ yang melaluinya ‘terang yang sesungguhnya’ itu berjalan dari kehidupan orang percaya kepada dunia ini. Sama seperti kabel yang sudah tidak berfungsi dibuang, demikian jugalah orang Kristen yang tidak berfungsi. Dosa dan kejahatan telah menggelapan dan menghambarkan atau bahkan membusukkan dunia milik Allah. Yesus telah memberikan tanggungjawab penerangan dan pengawetan itu kepada gerja-Nya. Adakah seorang ayah yang meluputkan hukuman dari anaknya yang tidak bertanggung jawab? Adakah seorang pimpinan yang membiarkan bawahannya dari disiplin manakala ia melalaikan kewajibannya? TIDAK! Demikian jugalah Allah. Ia tidak akan meluputkan gereja yang mengabaikan tugas ‘penggaraman’ dan ‘penerangan’ ini dari hukuman. Kedua tugas ini disimpulkannya dalam apa yang selalu kita sebut Amanat Agung.

1 komentar:

BELAJAR BAHASA mengatakan...

terima kasih infonya