Kamis, 08 Maret 2012

Khotbah di Bukit V

Perceraian

Matius 5:31-32
31 Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. 32 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.

Setelah berbicara tentang kemarahan dan perzinahan, sekarang Yesus menyinggung soal perceraian: “Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya” (ay 31). Ini adalah kutipan dari Ulangan 24:1. Di sana disebutkan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya ‘... jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, ...’ dengan memberikan surat cerai.Ada dua pandangan yang berkembang di kalangan orang Yahudi pada masa Yesus mengenai ungkapan ‘yang tidak senonoh’ ini. Yang pertama adalah orang Farisi dari kalangan sekolah Shammai. Menurut mereka frase ini khusus menunjuk pada perzinahan. Yang kedua berasal dari sekolah Hillel. Menurut kelompok ini setiap alasan perceraian adalah sah, misalnya jika sang istri membiarkan masakan hangus atau suami melihat perempuan yang lebih cantik.
Dalam tradisi Yahudi, perempuan tidak berhak menceraikan suaminya. Kalau sang istri sudah benar-benar tidak dapat menanggung perlakukan suaminya, paling banter ia lari. Seorang perempuan boleh diizinkan meninggalkan suaminya, jika sang suami tidak memberikan tiga hal: makanan, pakaian dan persetubuhan: “Jika tuannya itu mengambil perempuan lain, ia tidak boleh mengurangi makanan perempuan itu, pakaiannya dan persetubuhan dengan dia. Jika tuannya itu tidak melakukan ketiga hal itu kepadanya, maka perempuan itu harus diizinkan keluar, dengan tidak membayar uang tebusan apa-apa" (Kel. 21:10-11).
Bagaimana pandangan Yesus tentang hal ini? Ini dia: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah” (ay 32). Apakah pernyataan Yesus ini berarti bahwa menurut Dia ada satu dasar atau alasan bagi perceraian yaitu perzinahan? Jika demikian mengapa Ia menolak pemberian surat cerai? Jawaban atas pertanyaan ini akan kita bahas ketika kita menafsir pasal 19:3-9 dan ayat parelnya dalam Markus 10:1-12.
Hukum Musa memperbolehkan perceraian. Perempuan yang diceraikan boleh dinikahi. Yang tidak dibolehkan adalah jika perempuan yang sudah diceraikan itu telah menikah dengan laki-laki lain dan diceraikan lagi atau suaminya yang kedua itu meninggal, maka mantan suaminya yang pertama tidak boleh mengambil dia sebagai istrinya lagi sebab perempuan itu telah tercemar atau dicemari (Ul. 24:1-4). Dengan kata lain yang dilarang adalah pernikahan ulang.
Melihat latar belakang ini, maka jawaban Yesus sangat mengagetkan. Hukum Kerajaan Allah ternyata tidak mengehendaki perceraian dari anggota Kerajaan itu. Siapa yang menceraikan istrinya, telah menjerumuskan istrinya dan lelaki yang menikahinya ke dalam perzinahan. Jadi seorang suami yang menceraikan istrinya menyebabkan dua orang melakukan dosa perzinahan, yakni mantan istrinya dan suaminya. Apa yang diperbolehkan di dalam hukum Musa sama sekali tidak diperbolehkan dalam Kerajaan Allah.
Dalam kehidupan gereja dewasa ini, entahkah di Barat atau di Timur, di Amerika, Jerman atau Indonesia, terdapat berbagai alasan bagi perceraian. Ada yang bercerai karena perselingkuhan. Ada pula karena ketidakcocokan yang selalu berujung pada pertengkaran yang tiada hentinya. Yang lain lagi karena alasan keturunan (istri tidak memberi anak), isteri atau suami terlalu cemburu, suami kehilangan pekerjaan, salah satu pihak bertemu mantan pacar, dan seterusnya. Memang tidak ada kebaktian perceraian. Tetapi ini tidak berarti gereja tidak menyetujui perceraian. Gereja biasanya memberkarti orang-orang yang bercerai itu jika mereka menikah lagi dengan orang lain. Sikap ini secara tidak langsung menunjukkan persetujuan gereja terhadap perceraian. Padahal, sikap Yesus Sang Kepala gereja sangat jelas dalam hal ini: TIDAK BOLEH.

Tidak ada komentar: