Kamis, 08 Maret 2012

Book Review

The Sources of the Self : The Making of the Modern Identity
Penulis : Charles Taylor
Tebal : 521 halaman (tidak termasuk halaman pengantar , end notes dan indeks)
Penerbit : Cambridge: Harvard University Press, 1989


Charles Taylor telah bekerja selama bertahun-tahun sebagai profesor filsafat moral di Oxford, kemudian menjadi guru besar ilmu politik dan filsafat di Universitas McGill. Ia telah menulis banyak artikel dan buku. Pada tahun 2007 ia memenangkan Templeton Prize
Bukunya ini, The Source of the Self, terdiri atas 5 bagian dan 25 pasal. Intinya ada pada bagian 2-5. Sesuai dengan pengakuan Taylor, buku ini ditulis dengan tujuan untuk: 1) mengartikulasikan dan memaparkan sejarah identitas modern, 2) menunjukkan how the ideals and interdicts of this identity shape our philosophical thought, our epistemology and our philosophy of language; 3) menyediakan titik berangkat bagi pemahaman baru tentang identitas modern. Menurut Taylor, identitas modern terdiri atas tiga fase: modern inwardness, affirmation of ordinary life, dan expressivist notion of nature as an inner moral source. Tahapan-tahapan ini dibahasnya dalam bab ii – iv. Kemudian di dalam bagian yang ke- 5 ia berbicara mengenai peranan bahasa dalam kebudayaan modern.

Sumber pertama dari moralitas manusia modern, yaitu inwardness. Taylor memulainya dari Plato kemudian Agustinus, Descartes lalu Locke. Meskipun tokoh-tokoh ini dianggap oleh Taylor memiliki konsepsi yang sama mengenai sumber moral yang pertama ini, toh mereka memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Taylor juga menempatkan Montaigne dalam ‘barisan’ ini, bukan karena pemikiran Montaigne berakar di dalam pemikiran keempat tokoh di atas, melainkan karena aksennya terhadap prinsip inwardness atau internalization.

Faktor penting yang berhubungan dengan sumber moral modern yang pertama ini adalah perbedaan atau klasifikasi konsepsi ‘in side-outside’ atau ‘inner-outer’ dalam upaya memahami sumber-sumber moral modern. Menurutnya, pengertian kita tentang pribadi, the self, berhubungan dengan atau terbentuk dari a certain sense of inwardness. Pertentangan ‘in side-outside’ memainkan peran yang penting di sini. Pikiran, gagasan, perasaan dan kemampuan dianggap berada ‘di dalam’ kita, sedangkan objek interaksi mereka di dalam dunia dipandang sebagai berada ‘tanpa’ atau ‘di luar’ kita. Singkatnya Taylor memulai bagian ini dengan moral topografi. Menurutnya orang-orang modern melokalisasikan pribadi mereka, the self, ‘di dalam’ diri sendiri bertengan dengan dunia ‘di luar’ mereka. Bahkan kesadaran moral pun bersumber di dalam diri sendiri. Untuk memperjelas pengamatannya ini, ia membahas konsepsi penguasaan diri dari Plato. Menguasai diri berarti, menurut Plato, dikuasai oleh rasio. Rasio adalah sumber moral. Seseorang menjadi baik ketika rasionya ‘memerintah’, tetapi ia akan menjadi buruk jika ‘dinahkodai’ oleh perasaannya. Ketika manusia diperintah oleh rasionya, maka ada keteraturan di dalam jiwa, ada ketenangan, kedamaian, kepuasan dan ada penguasaan diri. Sebaliknya, ketika seseorang diperintah oleh perasaannya, maka yang ada adalah ketidakteraturan, chaos, kekacauan, ketidakpuasan dan kurangnya penguasaan diri. Dengan kata lain, rasio adalah kemampuan, power, untuk melihat sesuatu secara benar dan syarat bagi penguasaan diri. Menjadi rasional berarti, menurut Plato, menjadi penguasa atas diri sendiri. Di dalam pengamatan Taylor, the self mastery Plato masih tetap berlaku bagi manusia modern saat ini.
Dari paparan pendek ini jelas bahwa dalam pengajaran Plato ada dualisme sumber-sumber moral, yaitu rasio vs perasaan, jiwa vs badan, material vs imaterial, abadi vs semestara.
Dari Plato, Taylor kemudian beralih kepada Agustinus: interiore homine. Menurut Taylor Agustinus tidak bebas dari pengaruh Plato. Agustinus berdiri di antara Plato dan Descartes. Pertentangan antara keingingan daging dan keinginan roh dalam kekristenan, bagi Taylor, merupakan perkembangan dari dualisme Plato (pertentangan antara materi dan non materi). Ide tentang the Good dalam filsafat Plato menjadi God dalam teologi Agustinus. Penciptaan ex nihilo dikawinkan dengan pengajaran Plato mengenai partisipasi. Ontologi Plato menjadi ontologi Agustinus. Akibatnya a.l.: 1) Segala sesuatu seperti Allah. Hal ini terjadi melalui partisipasi atau keserupaan dengan Allah. Tetapi yang betul-betul serupa dengan Allah, menurut Agustinus, hanyalah The Word of God, Yesus Kristus. 2) alam semesta adalah realisasi eksternal dari sebuah tatantan rasional. 3) Segala yang ada itu baik, segala sesuatu dikerjakan untuk the good. Di sinilah terjadi ‘pertunangan’ antara theisme Yahudi dan filsafat Yunani. Yang lebih menarik lagi adalah bahwa menurut Taylor, pengajaran Agustinus tentang Allah sebagai sumber pengetahuan berasal dari filsafat Plato mengenai matahari sebagai sumber terang.
Meskipun dalam tulisan Taylor kelihatan ada kesamaan filsafat plato dan teologi Agustinus (seperti di atas), tetap ada perbedaan, a.l.: 1) bagi Plato, perhatian dan cinta yang menentukan arah seseorang; menurut Agustinus bukan perhatian melainkan cinta satu-satunya faktor penentu. 2) Plato membedakan manusia dalam kategori ‘higher/lower’, spirit/matter’ sedangkan Agustinus ‘inner/outer’; 3) bagi Plato, prinsip tertinggi dapat diketahui dengan jalan kembali kepada the domain objects which it organizes, namun menurut Agustinus, rute utama kita kepada Allah bukanlah kembali melainkan masuk ke dalam diri sendiri, inwardness, the care for ourselves. Dengan kata lain, cara mengetahui bagi Plato adalah toward sedangkan bagi Agustinus inward. Kembali kepada Allah berarti masuk ke dalam diri sendri. Maka tidak mengherankan bahwa tekanan Agustinus dalan hal mengenal Allah terletak pada the radical reflexivity, the importance of cogito, dan the proof of God’s existence from ‘within’.
Descartes, demikian Taylor, mengikuti jejak Agustinus sebab ia juga mengajarkan radical reflexivity, pentingnya rasio dan pembuktian keberadaan Allah dari dalam, from within. Tetapi Descartes membuat perubahan: sumber moral itu ada dalam diri kita. Manusia adalah sumber moral, bukan sesuatu yang berada di luar: the Idea of Good (Plato) atau God (Agustinus). Bagi Agustinus, ‘masuk ke dalam’ berarti bergerak ke atas: kepada Allah, sedangkan menurut Descartes ‘masuk ke dalam’ berarti mendapatkan kepastian bahwa kita ini self-sufficient. Dengan gagasan seperti ini jalan kepada deisme menjadi terbuka. Konsepsi inwardness diberi muatan baru yakni the inwardness of self-sufficiency, of autonomous powers of ordering by reason. Menurut Taylor, ketidakpercayaan orang-orang modern berakar di sini.
Beda dengan Agustinus dan Descartes, yang oleh Taylor dianggap mengikuti Plato, John Locke justru menolak ajaran tentang the innate ideas. Locke mengusulkan otonomi rasio. Rasio harus bebas dari prinsip-prinsip innate apapun. Dalam hal ini Locke mengikuti Baconian. Ia menolak faham teleologis tentang manusia, pengetahuan dan moralitas. Pikiran manusia pada mulanya (waktu lahir) tidak beda dengan kertas kosong, tabula rasa. Artinya bahwa semua pengetahuan kita terkonstruksi di dalam pikiran melalui suatu proses komposisi dan dekomposisi yang konstan terhadap input yang kita terimana melalui sense kita. Tidak ada relasi ontis antara the good dan kita. Ada disengagement antara pengetahuan yang kita miliki dan kita sendiri. Lalu siapakah Allah bagi Locke? Menurut Taylor, Allah bagi Locke adalah pemberi hukum alam. Hukum alam ini sebenarnya diperuntukkan bagi kebahagiaan manusia. Baik suka maupun duka adalah berkat dan hukuman dari Allah. Hukum Allahlah sumber moral. Mengaga? Karena hukum ini diberikan oleh Dia yang sanggup mendatangkan sakit bagi mereka yang tidak taat. Di samping keempat tokoh di atas, Taylor juga meneliti sumber moral modern dari pemikiran seorang humanis berkebangsaan Francis, Michel de Montaigne (1533-1592): self-exploring atau self-examining.
Kita telah melihat peta penyebaran pemikiran tentang sumber moral modern yang pertama: ‘internalization’ dari Plato (self-master) > Agustinus (inwardness/interiore homine) > Desecartes (disengaged reason) > Locke (disengagement). Self-examining dari Montaigne dapat digolongkan ke dalam radikal refleksi dari Agustinus dan Descartes. Namun penekanan Montaigne terletak pada ‘aku’, bukan pada pengamatan terhadap objek di luar diri kita. Menurutnya self-exploring atau self-examining berarti pengeksplorasian dari siapa kita dalam rangka membangun indentitas kita, sebab pada dasarnya kita belum tahu siapa kita.
Secara ringkas boleh disimpulkan, menurut Taylor, bahwa sejak Plato hingga Montaigne ada tiga ciri pada moralitas modern: 1) lokalisasi: isi dan sifat dari sesuatu ditempatkan di dalam sesuatu itu sendiri; 2) ide yang baru mengenai ketidakbergantungan individual: semua subjek adalah makhuk yang independen; 3) kemampuan berkarya, poetic powers: manusia mampu menciptakan keteraturan.

Lalu sumber moral kedua: the affirmation of ordinary life. Pasal 13 dikhususkan untuk topik ini. Kemudian di dalam pasal 14 ia membahas fusi dari the ethic of ordinary life, the philosophy of disengaged freedom dan rasionalitas dalam permulaan abad ke-18. Deisme Locke disinggung juga di sini. Sesudah itu dalam pasal 15-17 Taylor berbicara mengenai sentimen-sentimen moral dari Shaftesbury dan pengikutnya, Hutcheson.
Apa sebenarnya ordinary life itu? Ordinary life menunjuk kepada proses produksi, reproduksi dan keluarga, misalnya pekerjaan, pembuatan kebutuhan manusia dan kehidupan manusia sebagai makluk seksual termasuk pernikahan dan keluarga. Lalu dimanakah akar etika kehidupan sehari-hari? Taylor mengemukan dua sumber: 1) sercara tradisional ditemukan dalam spritualitas Yudais-Kristen dan 2) pada abad modern dari ajaran Reformasi (Calvinisme dan secara khusus Puritasnisme). Pemahaman kaum Puritan tentang kekudusan hidup berakibat pada pemahaman tentang pernikahan. Pernikahan mendapat makna spiritual: menikah tidak untuk kepentingan pernikahan itu sendiri melainkan untuk melayani Allah. Dengan kata lain pernikahan adalah pelayanan, menikan berarti melayani Allah.
Fusi antara etika kehidupan sehari-hari, filsafat kebebasan yang tak terbatas dan rasionalitas menghasilkan beberapa hal, menurut Taylor, a.l.: 1) dalam tahap-tahap permulaan masih ada pemahaman teologis terhadap kehidupan sehari-hari, 2) namun menjelang akhir abad ke- 18 terjadi pergeseran disertai munculnya naturalisme (kadang-kandang anti agama).

Sumber moral modern yang ketiga: alam. Ini dibicarakan dalam bagain 4. Deisme Pencerahan dan naturalisme, misalnya teori otonomi dari Kant dan Romantisisme dikritiki oleh Taylor di sini. Pandangan Enlightenment yang standar dianggap hanya berdimensi tunggal. Apa yang membuat hidup memimiliki signifikansi tidak kelihatan di sini. Melihat kenyataan ini, muncul dua reaksi. Di satu sisi Kant tampil dengan ajarannya mengenai otonomi radikal dari manusia sebagai agen rasional. Kehidupan yang hanya terisi dengan desire-fulfilment tidak hanya dangkal tetapi juga heterogen. Kita membutuhkan kebebasan untuk memanifestasikan diri kita. Kehidupan yang paling signifikan adalah kehidupan yang kita pilih sendiri. Di sisi lain, kaum expresivist (romantisme) muncul sebagai oposan dengan ajaran bahwa alam tidak semata-mata sebagai objek analisis tetapi juga sembagai sumber moral. Bukan hanya manusia, melainkan juga alam adalah ‘sumur’ moral. Taylor menganggap ada dua macam Aufklärer, Pencerahan, yaitu standar dan radikal. Di dalam yang pertama kehadiran Allah dan pemeliharaan-Nya masih diakui. Di dalam yang kedua ide tentang adanya suatu kekuatan yang memelihara sama sekali tidak ada tempatnya. Etika murni didasarkan pada asas manfaat. Filsafat hedonistic Locke bersama dengan teori tabula rasanya ‘mengenakan’ bentuk yang lebih radikal di sini. Pembicaraan tentang etika tidak perlu dimulai dengan rujukan tertentu kepada hukum alam, hukum rasio, penalan yang benar, kebenaran alamiah, aturan yang baik, dll. Sebaliknya, diskusi tentang etika harus dimulai dari fakta bahwa manusia menginginkan kebahagiaan dan mengaharapkan ketiadaan penderitaan. Jadi sebenarnya isu utama soal etika adalah memaksimalkan kebahagiaan.

Evaluasi:
Kesan saya ketika melihat buku ini adalah bahwa ini pasti sebuah buku yang baik, dan memang benar demikian. Meskipun begitu buku ini tidak terlalu gampang dibaca, terutama oleh pembaca yang masing asing di bidang filsafat. Di samping itu, sulit juga untuk menemukan inti pembicaraan dengan cepat lantaran sama sekali tidak ada sub-sub judul.
Sumber-sumber moral, seperti disebutkan dia atas, memberikan pemahaman mengenai bagaimana budaya dan moralitas tertentu muncul atau terbentuk. Jika diperhatikan dengan baik, maka ketiga sumber moral itu sebenarnya berasal dari dua sumber yang berbeda: paganism dan religions (Yudais-Kristen dan Islam). Kedua-duanya telah dikembangkan oleh pemikir-pemikir besar baik secara filofis maupun teologis. Dari tulisan Taylor menjadi jelas mengapa manusia, sejak Renaissance mulai bertanya secara radikal siapa mereka dan siapa Tuhan. Pergumulan terhadap pertanyaan inilah yang telah melahirkan Pencerahan dan Romantisme, di mana kebanyakan orang Eropa mulai menyatakan good bye kepada Allah. Pertanyaan saya, yang tidak saya temukan jawabannya dalam buku Taylor adalah: mengapa usaha membelakangi Allah ini baru muncul beberapa saat setelah Reformasi? Mengapa tidak pada Abad Pertengahan? Di samping itu, kesimpulan Taylor tentang ajaran Agustinus mengenai Allah sebagai sumber terang yang dianggapnya berasal atau modifikasi dari filsafat Plato, tidaklah terlalu beralasan.
Peralihan kesadaran diri manusia modern kepada diri sendiri dibarengi dengan penolakan terhadap tatanan objektif dari rasio telah membawa manusia modern kepada subjektivisme dan nihilisme. Kritikan bahwa bahwa tantanan moderen tidak memiliki nilai moral yang baik ditolak oleh Taylor. Menurutnya pemahaman modern tentang the self menyediakan kerangka acuan yang lengkap mengenai substansi pemahaman tentang rasionalitas. Subjetivitas modern, menurut Taylor, baik secara epistemologis, aestetis, politis, maupun sosial berakar di dalam pemahaman tentang the human good. Jika Taylor benar, tidaklah heran bahwa sejak Renaissance, manusia mulai membelakangi Allah dan perintah-perintah-Nya.


Rekomendasi:
Buku cocok dibaca oleh mahasiswa teologi dan filsafat pada tingkat magister dan dosen-dosen kedua bidang ilmu ini. Bagi mahasiswa teologi dan filsafat strata satu, buku ini masih terlalu sulit. Membacanya hanya akan membuang-buang waktu. Tingkat kesulitan bahasa dan isi masih jauh di atas kemampuan mahasiswa tingkat ini. Bagi yang bukan mahasiswa dan dosen teologi dan filsafat buku ini tidak terlalu bermanfaat.

Tidak ada komentar: