Kamis, 13 Februari 2014

Injil tanpa kata, cantik tanpa dandan

Renungan keluarga
1 Petrus 3:1-6
Pdt. Marianus T. Waang, M. Th.
 
Bacaan kita kali ini menyangkut hubungan antara istri dan suami. Di dalam Alkitab, hubungan ini sudah dimulai sejak penciptaan. Kita dapat membacanya dalam Kejadian 2:18. Di sana Tuhan mengatakatan bahwa Ia mau menciptakan perempuan sebab tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Untuk itu Allah menciptakan bagi manusia (Adam) seorang perempuan sebagai penolong. Dari sini jelaslah bahwa perempuan diciptakan karena laki-laki. Perempuan diciptakan karena tidak baik laki-laki (ish)tanpa perempuan (ishsha): “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja” (Kej. 2:18a). Perempuan diciptakan supaya ia dapat menolong laki-laki: “Aku menjadikan seorang penolong yang sepadan dengannya” (Kej. 2:18b). Penolong yang sepadan artinya penolong yang cocok, yang pas, yang sesuai. Allah katakan: “tidak baik…”, bukan “tidak bisa…”. Frase “tidak baik” berhubungan dengan “nilai”, sementara “tidak bisa” berkaitan dengan “potensi” atau “kemampuan”. Dalam hal kemampuan, laki-laki dapat saja hidup sendiri, tanpa seorang istri, tetapi dari segi nilai atau norma atau makna, kehidupan seperti itu tidaklah baik di mata Allah.

Pembicaraan tentang hubungan ini kemudian muncul lagi dalam Kejadian 3:16, setelah peristiwa kejatuhan. Di sana dikatakan bahwa kesusahan dan kesakitan waktu mengandung dan melahirkan akan dibuat sangat banyak dan suami akan berkuasa atas istri. Di sini kita melihat hubungan antara istri dan suami mulai mengalami degradasi. Sebelum kejatuhan, istri  adalah penolong yang sepadan. Namun sesudah kejatuhan istri berada di bawah kekuasaan suami. Sebelum kejatuhan hubungan di antara istri dan suami adalah hubungan dalam kecocokan dan keharmonisan: hubungan di dalam kesepadanan. Hugungan di antara “yang tidak baik hidup sendiri” dengan “yang datang sebagai penolong yang cocok, yang membuat hidup laki-laki menjadi baik. Tetapi setelah kejatuhan, hubungan ini berubah menjadi seperti tuan dan hamba, pemimpin dan bawahan. Itu jelas sekali jika kika membaca 1 Korintus 11:3. Di sana dikatakan bahwa laki-laki adalah kepala dari perempuan. Rasul Paulus menekankan hal yang sama dalam Efesus 5:22-24. Kali ini tunduknya atau ketaataan jemaat kepada Kristus dipakai sebagai perbandingan. Dalam ayat 24 tertulis, “Karena itu sebagaimana jemaat tunduk  kepada Kristus, demikianlah istri kepada suami dalam segala sesuatu.” Demikian juga dalam Kolose 3:18, “Hai istri-istri, tunduklah kepada suami, sebagaiman seharusnya di dalam Tuhan.”

Sampai di sini mungkin ada di antara para istri atau calon istri yang berkata dalam hati: “Haaaa…? Taat dalam segala sesuatu….? Enak aja! Bagaimana kalau suami kurang ajar, suka jajan ke sana kemari, tidak mau menyerahkan semua gajinya kepada istri, tidak saja punya rekening rahasia, tetapi juga punya rekan tersembunyi alias Wanita Idaman Lain. Bagaimana kalau suami tidak jujur, tidak setia, dst. Apakah kepada suami seperti ini saya harus tunduk juga? Ah… yang benar saja.”  

Pertanyaan-pertanyaan yang bermakna dan bernada complain ini logis. Tidak ada seorang pun yang mau disemenamenakan, apalagi oleh orang terdekatnya. Biasanya sakit (hati) karena kesalahan orang terdekat jauh lebih berat dibanding dengan sakit yang ditimbulkan oleh orang yang jauh. Tetapi soal iman bukanlah soal logis atau tidak logis, melainkan soal ketundukan atau ketaatan. Ketaatan dalam soal iman bukanlah ‘ketaatan karena’ (taat karena dia baik, misalnya), melainkan ‘ketaatan meskipun’ (taat meskipun dia tidak baik, misalnya).

Mari memperhatikan bacaan kita! Dalam ayat 1 Petrus berbicara tentang bagaimana seharusnya sikap seorang istri terhadap suami dan apa tujuannya.  Ia mengatakan bahwa sikap yang baik, yang perlu ditunjukkan oleh seorang istri kepada suaminya adalah tunduk. Dalam bahasa Yunani, kata “tunduk” di sini berarti “taat”. Seorang istri - menurut bacaan ini - dalam hubungan kesehariannya dengan suami, mestilah menujukkan sikap “taat”. Kadar atau ukuran atau pedoman atau bisa juga contoh ketaatan itu adalah ketaatan Kristus kepada Allah. Sebab ayat ini dimulai dengan frase “demikian juga”. Frase ini merujuk kepada apa yang dibicarakan dalam pasal 2:18-24, yaitu nasehat kepada para hamba mengenai ketaatan (lih juga Tit 2:9-10). Mereka harus tunduk bahkan kepada tuan yang jahat sekalipun. Sakit karena ketaatan yang total seperti itu adalah kasih karunia (2:20b).  Itu jugalah yang telah Kristus kerjakan dan tinggalkan bagi mereka sebagai teladan/panutan. Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya (cacian dan makian) kepada Dia, yang menghakimi dengan adil (2:28). Meskipun Ia adalah Anak dan apa yang dialami-Nya bukan salah-Nya namun Ia taat, bahkan sampai mati dengan cara yang hina (lih Flp 2:8; Ibr 5:8).

Ketaatan tanpa tedeng aling-aling yang diminta Petrus dari para hamba itu jugalah yang harus dimiliki oleh para istri orang percaya saat itu. Sama seperti ukuran ketaatan hamba kepada tuan bahkan kepada yang kejam sekalipun berdiri di atas teladan Kristus, demikian jugalah ketaatan para istri. Dengan kata lain dasar atau ukuran ketaatan para istri kepada suami-suami mereka adalah ketaatan Kristus kepada Bapa. Adakah Kristus taat setengah hati? Adakah Ia taat hanya ketika keinginan-Nya dipenuhi? Atau apakah Ia hanya taat ketika tidak disakiti? TIDAK! Dalam segala hal Ia taat. Dia tidak membalas cambukkan para tentara Romawi. Cercaan dan hinaan saudara-saudara sebangsa-Nya pun diterima-Nya, Luda dan olokan dari tua-tua agama pun tidak dibalas oleh-Nya. Mengapa? Apakah karena Ia tidak mampu membalas? Ataukah kerena Ia memang bersalah? Tentu tidak! Bukan Dia tidak mampu membalas, juga bukan karena Dia memang bersalah, melainkan karena Dia mau taat kepada Bapa-Nya. Dia mau taat kepada apa yang menjadi misi dari kehadiran-Nya dalam wujud manusia sama seperti kita, yaitu ‘mati’ di salib untuk pengampunan dosa kita. Ketaatan seperti inilah yang diminta oleh rasul Petrus kepada para Istri untuk diikuti atau dijadikan pedoman. Istri harus taat bukan ketika suami setia saja, bukan ketika semua keinginan dipenuhi, bukan ketika suami tidak berlaku kasar, bukan ketika suami tidak mempunyai WIL,  melainkan dalam segala situasi.

Yesus bisa saja membalas kelakuan jahat para tokoh agama Yahudi dan tentara-tentara Romawi yang menyiksa dan meyalibkan Dia. Dia sendiri mengatakan kemungkinan itu ketika Dia menegur seorang murid-Nya yang memotong telinga seorang hamba Imam Besar. Pada saat itu Dia berkata, “Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barang siapa bermain dengan pedang, akan binasa oleh pedang. Atau kausangka, bahwa Aku tidak dapat berseru kepada Bapa-Ku, supaya Ia segera mengirim lebih dari dua belas pasukan malaikat membantu Aku? Jika begitu, bagaimana akan digenapi apa yang ditulis dalam Kitab Suci, yang mengatakan bahwa harus terjadi demikian?” (Mat 26:52-54).  Yesus tidak mau menggunakan hak-Nya untuk membela diri. Dan ini dilakukan-Nya dengan sadar, supaya apa yang tertulis dalam Kitab Suci tentang Dia harus tergenapi, yakni melunasi hutang dosa manusia demi menyelamatkan mereka. Ini menunjukkan ketaatan-Nya, suatu ketaatan yang menuntut sikap rela menderita, atau membiarkan hak-hak-Nya tidak terpenuhi.

Orang Kristen diminta untuk meneladani ketaatan Kristus, yakni suatu ketaatan yang berujung pada kerelaan untuk tidak menuntut atau mengggunakan hak sendiri. Suatu ketaatan yang rela merendahkan diri sampai mati. Dalam Filipi 2:8 kita membaca bahwa Yesus dalam keadaan sebagai manusia, telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan mati dengan cara yang tidak wajar, yakni di kayu salib. Itulah harga dari sebuah ketaatan. Ketaatan Kristus bukan ketaatan “bonek” (bodok dan nekat), melainkan ketaatan berdasarkan pilihan dan pertimbangan yang sadar.

Ketaatan seperti inilah yang dipakai oleh Petrus untuk menggambarkan ketaatan seorang istri terhadap suami. Artinya bahwa seorang istri mestinya bersedia sakit hati karena suaminya. Sakit hati tidak saja karena seorang istri harus mengesampingkan atau lebih tepat meniggalkan hak-hak pribadinya demi suami, tetapi tuga karena sikap suami yang memang sering menyakitkan: mabuk, judi, malas ke gereja, kalau diajak berdoa atau baca Alkitab, katanya: “ah, kamu saja dengan anak-anak. Saya masih ada urusan lain.”  Tetapi untuk apa ketaatan seperti ini? Taat meskipun disakiti, taat meskipun dikhianati, taat meskipun tidak dipedulikan. Untuk apa semua ini?

Dalam ayat 1b bacaan kita tertulis: “… supaya jika ada di antara mereka (suami) yang tidak taat kepada firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan istrinya.” Inilah yang disebut dalam tema kita sebagai “Injil Tanpa Kata”. Sikap tunduk seorang istri terhadap suami dihapadan Allah ibarat sebuah pemberitaan Injil, yakni pemberitaan tanpa kata kepada suami. Dengan kata lain perempuan di dalam sebuah keluarga diangkat oleh Allah menjadi mitra kerja-Nya untuk pertobatan dan keselamatan suaminya. Dengan istilih yang sedikit lebih keren: para istri adalah penginjil keluarga. Injil artinya ‘kabar baik’. Jadi para istri adalah pembawa kabar baik bagi keluarga. Para istri adalah misinonaris keluarga.

Dari sini kita melihat bahwa ketaatan seorang istri tidak saja sebagai bukti dari cinta dan kasihnya kepada suami, malainkan juga merupakan saluran kasih Allah kepada suami. Dengan kata lain: seorang istri adalah pembawa cinta kasih Allah kepada suami.  Sama seperti sakit-Nya Kristus adalah bukti cinta kasih Allah kepada orang berdosa, demikianlah juga sakit para istri adalah bukti kasih sayang Tuhan kepada para suami yang nakal.

Karena itu seorang perempuan yang telah mengambil keputusan untuk meninggalkan kelajangannya dan menjadi istri, sadar atau tidak, telah menjawab panggilan Allah untuk menjadi penginjil bagi keluarga. Jadi pernikahan bagi seorang perempuan harus dilihat, tidak saja sebagai bentuk dari kesediaan untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anak, tetapi juga sebagai suatu kesediaan (disadari atau tidak)  untuk menjadi mitra kerja Allah bagi pertumbuhan iman dalam keluarga. Dengan kata lain: rumah tangga adalah ladang misi bagi seorang Istri.

Jadi jika ada suami yang setia, bersyukurlah! Sebab saudara diberi hak istimewa untuk menjadi suami seorang penginjil. Saudara diberi hak istimewa oleh Allah untuk hidup bersama dengan mitra kerja-Nya, yang Ia tempatkan secara khusus untuk saluran cinta kasih-Nya. Dengan begitu, maka ketidaksetiaan seorang suami terhadap istrinya sama dengan ketidaksetiaan kepada Allah yang telah mengutusnya untuk memelihara pertumbuhan iman keluarga.

Tetapi bagi suami yang tidak setia, yang cintanya ibarat kacang goreng: terbagi kemana-mana, mesti tahu bahwa kesetiaan istri adalah cara Tuhan untuk memberi kesempatan untuk berubah. Jangan memanfaatkan kestiaan dan ketaataan istri sebagai kesempatan untuk berbuat seenaknya.  Ada suami yang lebih mencintai masakan di restoran daripada masakan istri; ada juga yang mencintai komputernya, mobil barunya dan pekerjaannya  lebih dari istrinya; ada pula yang merasa lebih enak tidur kamar hotel daripada di kamarnya sendiri bersama istrinya; ada juga yang merasa lebih enak ngobrol dengan teman kerja di kantor dari pada dengan istri dan anak-anak di rumah.

Menghadapi suami seperti ini tentu menyakitkan. Untuk mengubahnya pun tidaklah gampang. Tetapi tidak berarti tidak mungkin. Kecemburan dan sikap kasar, pertanyaan yang bertubi-tubi, serta sikap emosional tidak akan menbuat dia berubah. Sebaliknya, yang dapat mengubah dia adalah Allah.

Karena itu biarlah injil atau kabar baik - yakni kabar tentang cinta kasih Allah - mengalir melalui perlakuan dan sikap. Jika suami marah-marah, berusahalah membalas dengan rangkulan dalam kelembutan. Pada saat suami kelihatan tidak setia lagi, ingatlah bahwa anda telah dipilih oleh Allah untuk menjadi penginjil baginya. Tunjukkanlah kepadanya cinta kasih Allah melalui sikap yang manis, tutur kata yang lembut dan santun, serta doa dan pujian kepada Allah yang tulus.

Jadikan dirimu cantik di hadapan suami bukan dengan berdandan yang berlebih-lebihan, bukan dengan perhiasan dan pakaian yang mahal-mahal. Ayat 3 dan 4 dari bacaan kita berbunyi: “Perhiasanmu janganlah  secara lahiriah, yaitu dengan mengepang-epang rambut, memakai perhiasan emas atau dengan mengenakan pakaian yang indah-indah, tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah.” Inilah yang disebut dalam tema kita “cantik tanpa dandan”. Kecantikan tanpa dandan adalah kecantikan akhlak, kecantikan sikap, kecantikan tutur kata. Inilah yang di dalam psikologi disebut dengan psychological makeup. Dalam bahasa Indonesia bisa kita sebut dengan ‘perhiasan jiwani’.  Semua ini berasal dari hati.

Jadilah “penginjil tanpa kata, dan cantik tanpa dandan”.


Amin

Kamis, 06 Februari 2014

Samuel and Saul

Historical lesson 3
1 Samuel 9-15
Pdt. Marianus T. Waang, M. Th.
 
These chapters tell us about Israel’s demand of a king and the presence of Saul as the fulfillment of this demand. From the story we know that Saul’s path toward the throne was neither his plan nor that of his father and Samuel. He was on his way seeking the lost sheep of his father, not the throne (ch.9). But God came and anointed him as King and guided him winning his first battle against Nahash, the Ammonite, to save Jabesh (11).  After this nice experience, he moved on. He got now his confidence (cf. 10:22). He didn't ask God first what his next step should be. On the contrary he intentionally arouse the anger of the Philistines so that they came to fight against the Israelites. He probably would like to show his power (13:3).  He probably thought that because his kingship was from God, he could then do anything. What pleased him, would automatically please God as well. Yet we see a sorrowful story not long after this wonderful winning. He became faithless and did what did not belong to his tribe i.e. acting as a priest (13:9). This was a big transgression and formed the first step toward the next failure. A sin bears the next sin! In an uncontrollable situation he asked the people to say an unreasonable oath that in turn led his son, Jonathan, to nearly lose his life (ch 14). 

Was this all? No, for we will soon see a much bigger problem. God was willing to ‘pay’ the Amalekites unfriendliness toward Israelites when they were on their way to Canaan. So He sent Samuel to Saul with this message: ‘Now go, attack the Amalekites and totally destroy everything that belongs to them. Do not spare them; put to death men and women, children and infants, cattle and sheep, camels and donkeys’ (15:3). A totally destroying! Saul went to the battle. He obeyed God.  But see what he and the people did: they ‘spared Agag and the best of the sheep, the oxen, the fatlings, the lambs, and all that was good, and were not willing to destroy them utterly; but everything despised and worthless, that they utterly destroyed’ (15:9). So the good was spared and the bad was destroyed. God said: all! Yet Saul and the people said: no, only the bad! They had indeed good reason to do this: spared the best to be sacrifice to God (15:15).  But the problem we are facing here is a fact that they would like to obey one commend by disobeying the other. God rebuked them seriously, and took Saul’s throne immediately from him. Probably giving sacrifice was only the best logical reason to hide their wrong motives.  God didn't hear only what they said, but really saw their hearts.

What can we learn from this historical story? Israel was demanding a king (ch.8). God knew that this demand was a great rebellion against Him, for He answered Samuel that by asking a king instead of Samuel’s sons as judges, they were not rejecting Samuel, but God Himself.  Thus Saul’s kingship was the fruit of Israel’s rejection of God as their King (8:7 cf. 12:12).  Yet God answered: yes! It is strange, isn’t it? God allowed the people to rebel, even giving them what their rebellious hearts desire.  He blessed them. He brought Saul to success.

One point becomes clear: sometimes the Lord just follows us in our unfaithful situation. Sometimes God lets our rebellious natures to bear fruits of unfaithfulness. Sometimes He doesn’t interrupt immediately when we just begin to go astray to let us understand these things: firstly, He is faithful. We are faithless (2Tim 3:13). He is Almighty, but not a dictator!  He is just like the father in Jesus’ story of the prodigal son. This seems to be great. We like that for we want enjoy the desires of sinful nature as long as we can and then repent. Yet we need to really know that that is not what He wants from us. We wants us to be faithful! If we keep rebelling, He will force us back through His anger. We know then what this means. Secondly, He wants to let us know that the desire of our hearts always leads us away from Him. He lets Israelites for a while. And see? Their own desire drives them smoothly away from His mercy toward His punishment. That is why the Ecclesiastes says: Follow the ways of your heart and whatever your eyes see, BUT know that for all these things God will bring you to judgment” (11:9). The Israelites of Samuel’s time preferred to live like the nations surroundings than like a chosen people! They preferred to follow their own sinful desires, than to obey God’s word. Now the questions for us, God’s people of this era, are these: Are we faithful to God? Or are we in the same boat with them? Is God probably letting us for a while to do what ever our hearts desire?  If the second and the third are the cases, than we are marching toward His anger!  

There is still one important lesson. When God commended Saul to combat against the Amalekites, He asked him to destroy them totally. Saul went to the battle field. But then he fulfilled God’s will half way. He was standing between God and His people. He wanted to bless them both. So he obeyed God and the people as well. God was however unhappy with Saul’s compromising decision.  What makes it more serious for us to notice is the reason they disobeyed God. The Lord has commended them to destroy everything totally. Yet they wanted to spare the best sheep etc. to be sacrifice to God.  Thus sacrifice was the reason of their disobeying. Is giving sacrifice a bad thing in God’s sight? No. That is His commend. Yet in this specific situation, His word was clear: destroy all. Thus letting this word unfulfilled even though the reason was good was a rebellion. We can still ask a question: was giving sacrifice really the motive behind their action or it was just a logical reason to hide their wrong intention: having the best for their own sake?

Giving to God the best we have is good. But the value of the gift does not lay in the gift itself but in the heart of the giver. God is surely happy with what we give. Yet He is really willing to see our obedience. ‘Does the LORD delight in burnt offerings and sacrifices as much as in obeying the voice of the LORD? To obey is better than sacrifice, and to heed is better than the fat of rams’ (15:22). Obedience simply means: do exactly as what He commends.

Merciful Father, when we see this story we do not feel better then your people in Samuel’s era. We always also let our life being driven by our own motivations and reasons. We always tend to imitate the life of this world than to live according to your paths. And we also - in many cases and circumstances – hide our unclean goals in your holy commends. Forgive us, dear Father. In Jesus’ name. Amen.


  

Senin, 03 Februari 2014

Samuel and Israelites


Historical lesson 2
1 Samuel 8
Pdt. Marianus T. Waang, M. Th

After seeing the unhappy ending life of Eli’s and Samuel’s family, we are facing now the ongoing unfaithfulness of God’s people. Knowing that Samuel’s sons do not act like their father, the people come to Samuel and ask for a king (8:4). Samuel feels unhappy. Yet the Lord commands him to fulfill their demand, for by refusing the leadership of these two ‘naughty’ leaders, they in fact are refusing the Lord Himself and His kingship.    It is a bit strange for it seems as if the Lord is putting Himself equal to these corrupted leaders. Yet there is something lying behind the scenes.

Their demand is real and normal. They know that Samuel is getting older. He has appointed his sons to replace him even though he knows that they are unworthy of that position because of their unfaithfulness. This is real. Having such leaders, Israelites are seeing no bright future. No hope. So the longing for a good future pushes them to ask Samuel for a king. It is normal, isn’t it? Besides, isn't this demand the fulfillment of what is written in Deuteronomy 17:14 that the Israelites may have a king when they possess the promise land? So what goes wrong with this demand?  It is real and normal, isn't it? It is a fact based demand. Yet these normal and real situations waive us of seeing the real problem lying behind the scenes: the unfaithfulness of God’s people.

The Lord sees far deep in their hearts (16:7). Not the badness of Samuel’s Sons (the normal and real situations), but the motive that lies behind their demand: their unfaithfulness is the core problem. They only use this unwilling real situation as a reasonable means to hide their motives. May be they are unaware. But they do not ask Samuel’s advice which also means that they do not ask God’s clue for their situation. And the Lord knows why: they never really repent. They always refuse Him (8:7-8).

Dear friends, reasonable argument is not always acceptable to God. Sometimes it is only our trick to hide our bad motives! The Lord may let reasonable reasons or situations present in our life when difficulties come to test us whether we are faithful or not. We have seen that the real or normal situation doesn't bring God’s chosen people close to their God and live in peace with Him. On the contrary, it drives them to receive His anger! We are not excluded of having such situation. We can always meet the same situation and take the same decision as Israelites did. So lets always seek God’s will and keep Jesus’ command in mind: ‘Watch and pray so that you will not fall into temptation’ (Matt. 26:41).


Dear Lord, help us not to let our own decisions lead us. Bring us to always seek your paths and don’t let us to hide our bad motives behind reasonable reasons and situations. In Jesus’ name. Amen!

Minggu, 02 Februari 2014

Eli dan Samuel

Historical Lesson 1
(1 Samuel 1-7)
Pdt. Marianus T. Waang, M. Th

During my flight to Pontianak and riding to Sentagi, West Borneo, I read 1 Samuel 1-7. These chapters talk about the historical fact of the life and ministry of Samuel. Several things came to my mind and really touched. Firstly, the onvruchtbaarheid of Hannah, Elkanah’s beloved wife. This is caused by the Lord or according to His will (1:5). So it is not natural. Secondly, Hannah’s prayer to have a son and her promise to dedicate this son for the sake of the Lord.  The Lord listened to her prayer. Hannah got one boy. It was possible for Hannah not to keep her promise, as Ananias and Sapphira did (Acts 5). No! She kept what she has promised without asking the Lord first to give her another boy. She asked one. That is all.  And she gave this ‘one and all’ to God.  And then she got from the Supreme God what she did not ask: three more boys and two daughters (2:21).  Thirdly, - and this is the important one – the families of Eli and Samuel. Eli was the high priest and the judge for Israel at that period. So the well being of Israelites politically and primarily spiritually laid on him. Yet from chapters 2 – 4 it was so plain that he failed to lead his sons to be good priests. The same history took place in Samuel’s family. When he grew old, he appointed his sons, Joel and Abijah as judges for Israel. We see however in chapter 8 that these two sons did not live a holy life as their father did. As the sons of Eli, they became corrupted leaders and brought God’s people in danger!    
Two important things we can learn from these two families. Firstly, failure in bringing our family members to love God is a historical fact of God’s servants. It is also not an impossible future of our kids. Secondly, the failure of a leader is the painful life of those he leads.   


Dear Lord, contemplating on the history of Eli and Samuel leads us to really think of our kids. This is a good historical lesson to really teach our kids as your command in Deuteronomy 6.  Enable us to teach them Your way rightly.  Drive their hearts to love you above all from now. In Jesus’ name. Amen!