Kenalilah
dirimu
Pdt. Marianus T. Waang
Dalam edisi
November ‘14 dan Maret ‘15, kita telah membahas siapa Gereja itu dan di mana
tempat tinggalnya. Gereja bukanlah LSM, melainkan tubuh Kristus, rumah rohani,
imamat yang kudus dan rajani, bangsa yang terpilih dan kudus milik Allah. Kita
juga telah melihat bahwa Gereja memiliki dua kewargaan: sorga dan dunia. Dan
untuk sementara, tempat domisili Gereja adalah dunia ini. Karena dunia hanyalah
‘tumpangan’, maka fokus Gereja haruslah bukan dunia ini dengan segala
kesemarakannya melainkan sorga – rumah Bapa, tempa tinggal yang kekal! Gereja
adalah ORANG PERJALANAN!
Kali ini kita
akan membicarakan ciri-ciri Gereja. Anggaplah tulisan kali ini sebagai cermin
untuk berkaca, apakah ‘dandanan’ kita – Gereja – telah sesuai dengan kesukaan
Sang Mempelai.
Pasal 29
Pengakuan Iman Gereja Belanda (selanjutnya PIGB) berbicara tentang perbedaan
antara Gereja sejati dan gereja palsu dengan menguraikan ciri masing-masing.
Gereja yang sejati memperlihatkan
ciri-ciri yang berikut: 1) pemberitaan
Injil yang murni
(Yoh. 8:31, 47; 14:23;
Gal.1:8-9; 2 Tes.2:15; 2 Tim.3:16-4:4; 1 Yoh.4:1-3; 2 Yoh.9-11); 2) pelayanan sakramen-sakramen yang murni sebagaimana
ditetapkan Kristus (1 Kor.10:14-17,21; 11:23-30); dan 3) penyelenggaraan
disiplin gereja (Mt.18:17; Kis.20:28-31a; Rm.16:17-18a; 1 Kor.5:1-5,13;
14:33,40; Ef.5:6,11; 2 Tes.3:14-15; 1 Tim.1:20; Titus 1:10-11; 3:10;
Why.2:14-16a; 2:20).
Sementara itu gereja paslu adalah mereka yang menganggap diri dan aturannya lebih
berkuasa daripada Firman Allah, serta tidak melayankan sakramen-sakramen dengan
cara yang ditetapkan Kristus (mengurangi dan menambahi sesuka hatinya).
Meskipun ciri gereja yang sejati banyak, namun tiga yang di atas cukup sebagai
tanda pengenal.
Ciri
pertama adalah pemberitaan Injil yang murni. Memang tidaklah gampang menentukan
apakah gereja
tertentu masih sejati atau sudah palsu
dari segi pemberitaan. Alasannya sederhana: semua mengaku ajarannya alkitabiah. Meski
begitu, ada
contoh yang cukup jelas,
misalnya Saksi Yehova,
yang menyangkal keilahian Yesus Kristus dan mengajarkan keselamatan atas
dasar perbuatan manusia.
Di samping itu ada juga gereja-gereja yang liberal, yang menganggap Yesus hanya manusia sejati, bukan Allah. Gereja-gereja seperti ini lebih
menekankan aspek sosial dalam pemberitaan mereka. Mereka tidak memberitakan
injil yang murni, tetapi injil yang lain.
Ada pula Gereja, yang meskipun
mengaku atau percaya bahwa Yesus adalah Manusia dan Tuhan seutuhnya dan bahwa
Alkitab adalah Firman Allah, dan bahwa di luar Kristus tidak ada keselamatan,
toh dalam praktiknya mereka hanya mengutakan aksi sosial sebagai wujud kasih
Allah dan mengesampingkan bahwa mengabaikan berita tentang pengampunan dosa di
dalam Kristus.
Yang lain lagi, meskipun percaya bahwa Yesus adalah Juruselamat,
toh mengajarkan bahwa Ia bukanlah Juruselamat untuk semua orang. Yesus, menurut
kelompok ini, hanyalah Juruselamat untuk orang Kristen. Orang Islam, Hindu,
Budha, dll. memiliki juruselamat sendiri-sendiri. Paulus dengan tegas mengutuk
orang-orang seperti ini: “…jikalau ada orang yang
memberitakan kepadamu suatu injil, yang berbeda dengan apa yang telah kamu
terima, terkutuklah dia” (Gal. 1:9).
Ciri kedua
adalah Sakramen (Baptisan dan Perjamuan Kudus). Sakramen adalah tanda dan meterai
dari karya
keselamatan Kristus.
Sakramen bukanlah alat-alat yang secara otomatis mencurahkan anugerah kepada orang yang menerimanya, entah dia
percaya atau tidak -
seperti diajarkan oleh Gereja Katolik Roma pada abad Reformasi.
Bersama-sama dengan Firman, Sakramen
adalah alat-alat anugerah. Roh Kudus mengaruniakan iman melalui pemberitaan
Injil dan meneguhkan iman itu oleh pelayanan Sakramen (lihat KH Mi 25, p/j 65,
juga Pengakuan Iman Westminster XXV, 3). Pelaksanaan kedua Sakramen ini secara
benar – seperti yang diperintahkan Kristus - merupakan ciri dari gereja yang
sejati.
Akhir-akhir
ini ada orang yang menjadikan roti dan anggur PMK bak obat penawar segala macam
penyakit. Gereja Tiberias asuhan
Pariadji adalah contohnya. Di tempat lain, saudara-saudara Kharismatik
tertentu mengajarkan bahwa baptisan itu menyelamatkan jika dilakukan dengan
cara ‘selam’. Ajaran semacam ini adalah penghinaan terhadap karya Kristus,
sebab dengan mengajarkan bahwa baptisan menyelamatkan berarti mengajarkan bahwa
karya Kristus belum cukup: harus ditambah dengan ini atau itu. Inilah dua
contoh penyimpangan terkini dari hakikat Sakramen.
Ciri yang
berikut adalah disiplin. Displin Gereja perlu untuk menjaga kemurnian ajaran
dan moral anggota jemaat. Disiplin ibarat ‘marka jalan’ bagi ‘lalu lintas’
iman. Disiplin memperberat langkah menuju dosa. Disiplin juga ibarat lonceng
peringatan atau panggilan untuk kembali ke jalan Tuhan. Disiplin bermaksud
untuk menjaga seseorang tetap berada pada jalan keselamatan. Itulah yang kita baca
dalam 1 Korintus 5:5.
Fasal 29 PIGB menyebutkan bahwa orang-orang
Kristen sejati dapat
dikenali, ‘…
dari iman, dan jikalau mereka, setelah menerima satu-satunya Juruselamat
Yesus Kristus, menjauhi dosa dan mengejar kebenaran, mengasihi Allah yang sejati
dan sesamanya manusia, tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri, dan menyalibkan
dagingnya serta segala perbuatannya. Namun, hal itu tidak berarti bahwa tidak
ada lagi kelemahan besar pada mereka. Akan tetapi, mereka berjuang melawan
kelemahan itu oleh Roh, dalam setiap hari-hari kehidupannya, sambil berlindung
terus-menerus pada darah, kematian, sengsara, dan ketaatan Tuhan Yesus. Di
dalam-Nya mereka beroleh pengampunan dosa oleh iman kepada-Nya.’
Artinya, disiplin
Gereja dimaksudkan untuk menghasilkan orang-orang Kristen berkualitas! Tetapi sayang, kebanyakan kita senang berbuat
dosa, tetapi tidak senang dinasihati. Jika kita didisiplin, kita lebih suka
keluar dan masuk ke denominasi yang lain. Kita lebih suka prinsip: ‘kalau bisa
digampangkan, mengapa harus dipersulit’. Prinsip ini benar dalam soal
tolong-menolong, tetapi tidak dalam hal disiplin. Lebih celaka lagi, ada
denominasi yang sama sekali tidak mengenal disiplin Gereja. Alasannya adalah
kasih, seolah-olah kasih tidak mengenal disiplin. Padahal Alkitab dengan jelas
mengajarkan bahwa justru kasih itu menegur dan mendidik: “… karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia
menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak” (Ibr. 12:6, lihat juga ayat 12)
Alkitab berbicara dengan
jelas tentang gereja-gereja palsu, atau kumpulan-kumpulan keagamaan yang palsu. Mereka ini memberi ‘… persembahan
kepada roh-roh jahat, bukan kepada Allah’
(1 Kor.10:20). Mereka ‘ditarik
kepada berhala-berhala yang bisu’
(1 Kor.12:2).
Alkitab bahkan menulis
tentang ‘jemaah Iblis’ (sunagōgē tou satana, Why.2:9; 3:9).
Mungkin Yesus menunjuk kepada pertemuan-pertemuan Yahudi yang terdiri dari
orang-orang Yahudi yang tidak mempunyai iman yang menyelamatkan. Pertemuan
mereka bukan pertemuan pengikut-pengikut Kristus. Karena itu, mereka
masih termasuk pada kerajaan kegelapan, kerajaan Iblis.
Sebagai
pengikut Kristus, Gereja perlu mengenali diri sendiri secara baik. Iblis, musuh
Allah dan Gereja itu, selalu giat bekerja untuk menyesatkan. Ia pandai
bersandiwara dengan mengenakan ‘kebiasaan-kebiasaan’ yang sepintas kelihatan
alkitabiah. Ciri-ciri Gereja, seperti yang telah dibahas di atas, dapat
menolong kita untuk ‘bercermin’ – mengevaluasi aturan dan ajaran Gereja serta
moralitas kita sebagai mempelai Kristus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar