Kamis, 21 Mei 2009

Yesus adalah Manusia bagi Orang Lain.



Judul ini diambil dari biografi ketua umum PGI saat ini: Dr. A. A. Yewangoe dalam sebuah situs internet yg berjudul ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA.[1] Obsesinya adalah menjadikan gereja berguna bagi orang lain. Cita-cita PGI, yg sekarang sedang dipinpinnya, yakni keesaan gereja, yg terimplementasi di dalam keesaan in action, adalah lokomotifnya. Latar belakang teologis di balik obsesi ini adalah bahwa Yesus adalah manusia bagi orang lain. Itu tercermin dari kerelaan Yesus untuk menderita bagi orang lain.
Pertanyaan-pertanyaan yg tentunya muncul berhubungan dengan paragraf pendek ini, misalnya: apa artinya gereja berguna bagi orang lain? Siapa sajakah orang lain itu? Apa itu keesaan in action? Apa yang dimaksud dengan Yesus adalah manusia untuk orang lain? Apa artinya Yesus menderita bagi orang lain? Dan akhirnya pertanyaan yg paling penting adalah siapakah yg bernama Yesus, yg disebut sebagai manusia bagi orang lain itu?
Jawaban pertanyaan-pertanyaan ini kiranya dapat menolong kita untuk lebih bijak melihat: siapa dan apa tanggungjawab kita, serta siapa Tuhan kita.

Gereja berguna bagi orang lain.
Gereja berguna bagi orang lain bisa terwujud dalam berbagai bentuk. Semuanya sebenarnya sudah dapat dilihat dalam apa yg biasa disebut dengan tiga panggilan gereja: koinonia (persekutuan), marturia (kesaksian) dan diakonia (pelayanan). Bagi Yewangoe gereja berguna bagi orang lain berarti gereja sungguh-sungguh peduli terhadap masalah kemanusiaan di Indonesia. “Gereja yang memberitakan kabar baik mestinya juga memberitakan hal-hal yang membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup yang dihadapi sehari-hari. Itu berarti, gereja harus lebih peduli kepada masalah-masalah sosial. Misalkan bencana tsunami di Aceh, gereja menolong dan membantu bukan malah menghasut supaya masuk Kristen.”
Oleh karena pemahaman ini bertolak dari pemikiran teologis: Yesus adalah manusia bagi orang lain, (terlihat dari kerelaan-Nya untuk menderita bagi orang lain), maka gereja sebagi gereja bagi orang lainpun dituntut menderita bagi orang lain. Perlu ada lagi satu pertanyaan di sini sebenarnya, yakni apa artinya gereja menderita bagi orang lain? Apakah itu artinya gedung gereja dibakar tidak apa-apa karena toh penderitaan adalah bagian dari gereja menderita bagi orang lain. Atau itu berarti hak-hak gereja, misalnya hak beribadah dan mendirikan tempat ibadah ditongsampahkan tidak masalah, karena toh itu adalah konsekuesi dari gereja mendrita bagi orang lain. Kalau begitu pertanyaan selanjutnya adalah kapan gereja menjadi gereja bagi gereja: “merintih” dengan suara yang keras, lantaran pendetanya dilemparkan ke dalam selokan, ditembak mati, gedung di mana dia harus bertemu dengan Tuhannya ditutup, bahkan dilenyapkan dengan jasa si jago merah, dll. Atau ‘gereja menderita’ dalam pengertian yg lebih luas: “meminum cawan Tuhan” (Mat. 20:22-23)? Gereja memang dipanggil untuk mengasihi sesama. Tetapi gereja juga dipanggil untuk mengasihi Tuhannya dan peduli (baca: kasih) terhadap dirinya sendiri. Memperhatikan yg pertama saja mengakibatkan gereja kehilangan yg ketiga. Mengutamakan yg pertama dan ketiga mengantar gereja kepada plurarisme.
[2] Kasih kepada Allah dan ketaatan kepada perintah-Nya[3] menjadi urutan yang ke sekian dalam agenda gereja, atau mungkin dilupakan sama sekali. Kalau begitu saya kira gereja hanyalah sejenis LSM plus.
Jadi semangat keesaan in action seharusnya tidak mengantar gereja hanya kepada orang lain (gereja bagi orang lain) tetapi juga kepada Tuhannya dan dirinya
[4]. Keesaan in action mestinya tidak terbatas pada pelayanan sosial, tetapi juga pada pelayanan soteriologis. Kecuali jika gereja telah mengadopsi pandangan teologi modern, atau lebih spesifik teologi pembebasan, yg telah diambil alih oleh gerekan oekumene dunia, bahwa penebusan tidak lagi bersangkut paut dengan keselamatan jiwa secara pribadi, tetapi pembebasan kemanusiaan dari ketidakadilan dan kemiskinan di dunia ini. Keselamatan terutama adalah penyelamatan kemanusiaan dan kemakmuran dunia ini[5]. Kalau begitu gereja telah memilih mengikuti Yesus yg lain. Sebab Yesus Kristus Alkibab adalah Yesus Kristus yg kematian-Nya mendamaikan manusia berdosa dengan Allah, Penciptanya. Penderitaan dan kematian Yesus Kristus Alkitab adalah penderitaan dan kematian karena dosa manusia, sesuai dengan arti nama-Nya: “Ia akan melahirkan seorang anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yg akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Mat. 1:21).

Orang lain.
Panggilan gereja yg ketiga (diakonia) muncul dalam pandangan Yewangoe di atas. Sebagai ketua PGI, apalagi seorang tokoh, ia meminta gereja berdiakonia dalam masalah-masalah sosial yg dihadapi masyarakat Indonesia. Lagi pula ini sesuai dengan keputusan PGI. Intensitas keterlibatan itu adalah sampai kepada penyangkalan terhadap hak-hak pribadi: menderita seperti Yesus. Ini prinsip yg sangat mulia. Namun ada pertanyaan yg mengganjal: apa motif pelayanan seperti itu? Murni meneladani Kristus? Atau takut ancaman: keamanan, posisi, dll. Atau karena kristologi telah mengalami reduksi?
[6] Sulit untuk berkesimpulan bahwa yg pertamalah motifnya. Sebab jika begitu, pertanyaannya adalah di mana keberanian untuk meneladani keberanian Yesus, Sang Manusia bagi orang lain itu? Mengapa hanya kasih-Nya saja yg dipanuti, sementara keberanian-Nya untuk mencela ketidakbenaran dan ketidakadilan pada masa-Nya diabaikan? Kapan ada tokoh-tokoh atau lembaga-lembaga gerejawi yg berani ‘bersuara secara lantang dan bersikap tegas” terhadap ketidakadilan (atau dengan istilah yang sedikit eufemis: keberpihakan) penguasa? Lihatlah, misalnya apa yg dikatakan oleh nabi Yeremia terhadap raja Yehuda (Yer.21:12)?[7] Atau misalnya Daniel (Dan. 4 dan 5)? Kapan sebuah lembaga keagamaan, misalnya PGI pernah “beridiri” di depan pintu gereja yg ditutup “bukan oleh koster”, sebagai sikap empatif sekaligus tanda ketidaksetujuan? Karena aksi nyata dari yg pertama dan kedua tidak kelihatan, maka kemungkian ada pada motif yg kedua dan ketiga.
Siapakah “orang lain” yg untuknya gereja berada? Dalam Suara Pembaruan (versi internet, last modified) 12 Mei 2005, Yewangoe menulis bahwa orang lain itu adalah masyarakat, yg di dalamnya gereja berada. Disebutkannya bahwa munculnya kesalahpahaman ttg gerakan oikumene baik dari dalam maupun dari luar bukanlah sesuatu yg tidak mungkin. Pertanyaan-pertanyaan seperti: “Apakah gerakan ini merupakan sautu mobolisasi kekuatan umat Kristen Indonesia mengahadapi pihak lain? Atau, suatu upaya untuk memperlihatkan [bahwa] umat Kirsten Indonesia tidak “kalah” besarnya dengan umat lain?” harus dijawab oleh gereja “…, dengan memperlihatkan [bahwa] kesatuan mereka sungguh-sungguh bertujuan untuk makin memantapkan pelayanan bagi masyarakat, yg di dalamnya mereka [gereja) berada.” Inilah yg dimaksudkan dengan”Gereja bagi Orang Lain.” Ini adalah penjabaran dari “… pengakuan: sesungguhnya Yesus Kristus adalah “Manusai bagi Orang Lain”, tegas Yewangoe.
Jadi Gereja bagi Orang Lain, tidak lain adalah implikasi praktis dari “pengakuan” teologis: Yesus Kristus adalah Manusia bagi Orang Lain. Lalu apa tugas atau sikap gereja sebagai gereja bagi orang lain? Dalam SP tanggal terbit yg sama disebutkan: “gereja harus tanggap terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan yg ada”. Inilah sikap yg harus dimiliki gereja, yg (menurut Yewangoe), telah mengantar Sidang Raya ke-14 PGI kepada keputusan “keesaan in action”. Kemudian di bawah definisi etimologis kata oikumene: oikos: rumah dan menein: mendiami (dg demikian oikumene berarti mendiami rumah), dikatakan bahwa umat Kristen Indonesia bertanggung jawab terhadap lingkungannya dalam pengertian yg lebih luas. Menurut Yewangoe, Allah telah memandatkan pemeliharaan bumi ini kepada manusia, dan karena itu ketika terjadi berbagai malapetaka di berbagai tempat di negeri ini, gereja-gereja terpanggil untuk melakukan pemulihan, agar bumi ini layak lagi didiami.

Keesaan in action
Salah satu aspek dari apa yg biasa disebut dengan “mandat budaya” (Kej. 1:28) nampaknya terimplisit di sini. Jadi gereja bagi orang lain dengan semboyan: keesaan in action tidak lain adalah keterlibatan gereja secara aktif dalam persoalan-persoalan sosial yg dihadapi bangsa ini. Ini sebuah ajakan yg sangat positif. Sebab harus diakui “dengan malu”, bahwa ada banyak gereja “kaya” yg lebih suka meninventasikan uangnya di Bank dari pada mempergunakannya untuk keperluan perwujudan kasih Kristus secara nyata kepada orang lain. Banyak “telinga gereja” yg lebih suka mendengar berapa besar saldo Bank setiap akhir bulan dari pada berapa kegiatan sosial kemasyarakatan yg sudah dibiayai. Meski demikian, penekanan pada keterlibatan gereja secara sosial semata menjadikan gereja kelilangan “bagian terpenting” dari kasih Tuhannya kepada orang lain.
[8] Keesaan in action yg hanya berorientasi pada persoalan sosial kemanusiaan semata mengantar gereja kepada pengabaian terhadap kebutuhan “orang lain” akan “kehidupan jiwa” mereka, yg justru menjadi “kerinduan” Kristus, Sang Kepala gereja.[9]
Di samping hak-hak sosial (yg sekarang harus dipenuhi: kebutuhan kekinian), mereka (orang lain, yg untuknya gerega berada), juga memiliki hak yg bersifat eskatologis (kebutuhan keakanan) untuk mendapatkan informasi tentang apa yg akan terjadi sesudah kematian ini. Sebab gereja tidak hanya dipanggil untuk terlibat dan melibatkan orang disekitarnya untuk hal-hal disekitarnya. Gereja tidak hanya dipanggil dari dan diutus kembali ke dalam dunia ini untuk tujuan mandat budaya semata, tetapi juga untuk memberitahukan dan mengajak orang lain mengarahkan hidupnya kepada kebahagiaan kekal di rumah Bapa. Gereja tidak perlu “menghasut” orang lain untuk percaya siapa Yesus itu, sebab bukan itu panggilannya. Tetapi gereja juga salah dan egois jika tidak membagikan “Kabar Baik”, (yg penyebarannya dipundakkan kepadanya itu), kepada orang lain. Ini bukan kesalahan etis, melainkan kesalahan teologis, yg berujung pada hilangnya kasih kepada Allah, Sang Pencipta, Pemilik, dan Penguasa jagad ini. Mengabarkan tidak sama dengan menghasut. Memperkenalkan tidak sama dengan membujuk. Memberitahu janji-janji Pencipta seperti yg tertulis dalam Alkitab tidak identik dengan mengiming-imingi (seperti tuduhan para pluralist (post)liberalist). Sebaliknya, memberitakan Injil, memperkenalkan Yesus Kristus, memberitahu janji-janji Pencipta dan Pemelihara nirwana dan buana ini, adalah bentuk aktualisasi kasih gereja, baik kepada Tuhannya maupun kepada orang lain (Mat. 22:37-39; Yoh. 13:34-35; 14:15).

Yesus adalah manusia bagi orang lain.
“Gereja bagi orang lain itu adalah gambaran dari suatu keyakinan teologis dan ikrar bahwa Yesus adalah manusia bagi orang lain. Manusia bagi orang lain berarti, menurut kepercayaan Kristiani, justru karena Dia mau menjadi manusia bagi orang lain maka Dia sampai mengorbankan diri-Nya. Dengan pemikiran seperti ini, gereja harus melakukan hal yang sama.”
[10] Singkat kata: Yesus adalah manusia bagi orang lain karena pengorbanan-Nya.
Pengorbanan Kristus (dengan kematian di salib sebagai puncak) adalah karena Dia adalah manusia bagi orang lain. Sulit untuk mengerti apa yg dimaksud Yewangoe dengan “Yesus adalah manusia bagi orang lain” di sini, sebab tidak ada penjelasan yg lebih jauh mengenai hal itu. Karena itu sulit pula untuk memberikan ‘semacam tanggapan’ yg lebih spesifik. Yesus adalah manusia bagi orang lain secara singkat saja (oleh Yewangoe) dihubungkan dengan pengorbanan-Nya. Di sini pun belus jelas apa yg dimaksud ketua PGI saat ini dengan ‘pengorbanan’. Karena toh pengorbanan Kristus dapat dilihat dari berbagai aspek: sosial, etis, politis, dan yg lebih utama tentunya adalah masalah kehidupan di dunia yg akan datang (soteriologis, eskatologis). Namun dengan membaca hasil interview dengan beliau tampak (secara inplisit) aksentuasi pada aspek social, ekonomi dan etis. Jika pengamatan ini benar, maka gereja yg melihat Yesus dari aspek sosial saja, ibarat sebuah kapal dengan muatan ‘berat sebelah’. Dan saya pikir semua orang pasti sepakat dengan saya bahwa kapal dengan kondisi demikian, muatannya akan menjadi konsumsi penghuni lautan, ketika terjadi gelombang dan badai.

Yesus menderita bagi orang lain.
Pertanyaan kita selanjutnya adalah apa artinya Yesus menderita bagi orang lain? Zakharias Ngelow, dalam artikelnya : Yesus Sang Mesias yang Menderita, mengutip pandangan Jon Sobrino, seorang teolog teologi pembebasan Amerika Selatan, bahwa kematian Yesus adalah karena jalan yg dipilih-Nya. Apa yang dikatakan dan dilakukan-Nya bertentangan dengan kebijakan penguasa (agama maupun politik) waktu itu. Yesus memang tidak menentang mereka, namun ajaran-Nya berpihak pada mereka yg hak-haknya ditindas. Ajaran Yesus adalah sebuah alternatif yg menekankankan harapan dan pembebasan di tengah-tengah penindasan.
[11] Pemikiran yg hampir sama juga kita temukan pada Hendrik Berkhof (1914-1995), guru besar teologi pada fakultas teologi Rijks Universiteit, Leiden (Belanda). Menurutnya inkarnasi Yesus bukan untuk tujuan penebusan (mati), melainkan untuk hidup di bumi ini. Hanya hidup seperti yg dipilih-Nya, menjadikan Dia meninggalkan dunia ini (mati). Kehadiran Yesus di bumi untuk mendamaikan manusia berdosa dengan Allah, baginya hanya sebuah karikatur orthodox. Karena itu penderitaan dan kematian Yesus, bagi Berkhof, adalah sebuah ketidakberuntungan atau ketidakberpihakan situasi di mana Dia hidup. Kematian-Nya adalah akibat dari jalan yg dipilih-Nya secara suka rela. Ioannes Rahmat, dosen Perjanjian Baru di STT Jakarta, melihat penderitaan (kematian)Yesus sebagai korban teror pemerintahan romawi, karena menurutnya salib adalah lambang teror romawi untuk menciutkan nyali para revolusioner Yahudi. Di sini, Yesus, oleh Rahmat dilihat sebagai tokoh revolusi Yahudi karena pengakuan-Nya sebagai raja orang Yahudi. Allah pasif saja, dan membiarkan teror itu terjadi atas Yesus. Kepasifan ini tentu ada hubungan dengan pandangannya bahwa Allah (PL) adalah terorist.[12] Bahkan Allah Alkitab bagi Rahmat adalah Allah yg haus darah, sebab menuntut pencurahan darah untuk pengampunan dosa. Yesus adalah korban dari Allah yg haus darah ini. Pandangan ini tidak mengherankan sebab dalam ‘kamus teologi’ Rahmat hanya ada Allah yg ‘kasih’. Allah yg adil tidak dikenalnya.[13]
Singkat cerita: Sobrino dan Berkhof melihat pengorbanan (kematian) Yesus sebagai akibat dari jalan hidup yg dipilih-Nya sendiri, sedangkan Rahmat melihatnya sebagai korban teror. Bagi Sobrino, misi Yesus berorientasi pada ‘masalah-masalah kekinian’ semata, karena itu keadaan seperti penindasan, ketidakadilan, dan kemiskinan mendapat perhatian utama dalam berbicara tentang siapa Yesus. Misi Yesus menurutnya adalah memproklamasikan dan membuka The Reign of God (Pemerintahan Allah) bagi orang miskin dan terbuang.
[14] Konsekuensinya adalah usaha untuk mengeluarkan manusia dari keadaan-keadaan tadi dilihat sebagai tujuan utama kehadiran Yesus di bumi ini. Maka misi Yesus hanyalah sebuah misi kemanusiaan.
Kehilahatnya pandangan seperti ini sudah ‘membumi’ juga dalam perkembangan teologi Kristen di Indonesia. Lihat saja misalnya sebuah seminar ttg Matius 28:19-20 dan Misiologi Kontemporer yg diselenggarakan oleh KWI dan PGI pd tgl 10 – 12- 2005. Seminar ini menghasilkan kesepakatan untuk mengembangkan sebuah paradigma misi alternatif. Singkat kata, yg dimaksud dengan misi alternatif adalah misi yg berangkat dari kerelaan untuk tidak mengakui finalitas Kristus dalam Yohanis 14:6 (pluralisme), dan peralihan dari penanaman gereja ke pendirian LSM (ini adalah kesimpulan MTW).
[15]
Jika pertanyaan kita: ‘apa artinya Yesus menderita bagi orang lain’, dilihat dalam terang paradigma misi alternatif (hasil seminar dua lembaga gerejawi besar di Indonesia) ini, maka penderitaan Yesus tidak ada hubungan apa-apa dengan penebusan dosa manusia. Kematian Yesus adalah akibat dari jalan hidup yg dipilih-Nya (Sobrino dan Berkhof), dan korban teror (Rahmat). Inti pandangan Sobrino, Berkhof, Rahmat, dan kesepakatan PGI dan KWI adalah penyangkalan terhadap misi penebusan Kristus. Padahal kematian Yesus adalah kehidupan kita. Salib Kristus adalah pohon kehidupan.[16]

Siapakah yg bernama Yesus.
Ini adalah sebuah pertanyaan crucial dalam kristologi dan soteriologi. Petrus menjawab pertanyaan ini dengan tegas: “Engkau adalah Mesias, anak Allah yg hidup” (Mat. 16:16). Lalu Yesus menegaskan bahwa jawaban Petrus tidak berasal dari manusia tetapi dari Bapa di surga. Petrus tahu siapa Yesus karena Allah memberitahukan itu kepadanya. Singkatnya: pengenalan Petrus berasal dari Allah. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah semua orang setuju dengan jawaban Petrus dan percaya penegasan Yesus atas jawaban itu? Jawaban pertanyaan ini akan saya bahas (secara singkat) dalam beberapa metode dalam studi kristologi berikut: Kristologi dari atas. Dari segi metode, kristologi dari atas adalah sebuah studi tentang Kristus dengan titik berangkat dari atas: dari sorga, dari Allah. Jesus adalah Allah, seorang manusia sorgawi, yg datang ke dalam dunia, menyatakan diri dan menebus. Manusia ilahi ini menjadi manusia di bumi.
[17] Atau menurut Berkhof, kristologi van boven (dari atas) adalah kristologi yg dimulia dari Dia yg keluar dari (uitgaat: Bel.) Firman, yakni perkataan Allah yg mencipta dan menebus, yg menjadi daging, masuk dalam sejarah hidup manusia.[18] Kristologi ini biasa disebut juga kristologi injil Yohanes, atau yg dalam kristologi tradisional (klasik) disebut kristologi inkarnasi; sering juga disebut kristologi theosentris. Kristologi dari bawah. Studi kristologi dengan metode ini merupakan kebalikan dari yg pertama. Studi tentang Kristus dimulai dari bumi, dari manusia. Jesus adalah manusia dan memiliki “segala sesuatu” yg berhubungan dgn. manusia. Manusia ini adalah wahyu Allah.[19] Karena Yesus hidup sebagai manusia, dalam sejarah manusia, maka (secara metodologis) kita harus mencocokkan pribadi Yesus dengan semua penemuan historis dan memeriksa dengan jelimet hasil penelitian terhadap sumber-sumber mula-mula tentang Dia.[20] Kristologi dari bawah ini biasa disebut juga dengan kristologi synopsis[21] atau kristologi antroposentris. Kristologi dari belakang. Di sini Yesus dilihat dalam garis sejarah penyelamatan (historia revelationis), yakni bagaimana Yesus muncul dalam Perjanjian Lama[22], dalam sejarah umat Allah atau dalam perjanjian Allah dengan bangsa Israel. Kristologi dari depan, merupakan sebuah pendekatan dalam kristologi dimana perbuatan Yesus dalam kehidupan manusia sepanjang abad dibicarakan. Pekerjaan Roh Kudus, gereja dan pembenaran adalah tema-tema yg sebenarnya berhubungan erat dengan kristologi van voren ini.[23]
Jika diperhatikan dengan baik, sebenarya kristologi dari belakang dan dari depan termasuk dalam kristologi dari bawah. Kristoligi dari atas dan dari bawah, tidak saja berbeda dari segi pendekatan (metode). Dari segi isi juga ada perbedaan. Yg pertama menitikberatkan (mengutamakan) ke-Allah-an Yesus, sedangkan yg kedua kemanusiaan-Nya. Kedua metode ini ada kelebihan dan kekurangannya. Memulai “dari atas” tanpa dasar yg kuat “dari bawah” dan sebaliknya, menimbulkan kepincangan pemahaman dan pengenalan dalam kristologi, terutama dalam hal kedua natur Kristus. Mereka yg mengarahkan perhatiannya hanya kepada kristologi dari atas dapat saja terjebak ke dalam doketisme. Sebaliknya mereka yg menekankan kristologi dari bawah saja akan termakan temuan-temuan historis kritis, tidak begitu senang dengan Injil Yohanes, dan menolak finalitas Kristus dalam soteriologi. Yesus tidak dikenal sebagai Anak Allah, tetapi ‘yg menamakan diri Anak Allah’. Yesus Bukan Allah dan manusia sejati melainkan hanya manusia ideal, seorang tokoh moral, tokoh panutan.
Jika kalimat Yewangoe: “Yesus adalah manusia untuk orang lain”, dilihat dalam terang keempat (atau lebih tepat kedua) metode di atas, kelihatannya kristologi “dari bawah” adalah metodenya
[24]. Jika pengamatan ini benar, maka jelaslah bahwa Yesus ketua PGI kita berbeda dengan Yesus yg disebut Petrus dalam Matius 16:16 dan Kisah 4:12. Yesus hanyalah seorang manusia yg baik, seorang pejuang kebebasan, seorang yg penuh kasih dan perhatian, seorang yg rela menderita bagi orang lain. Dalam sebuah tulisannya di Theological Forum Vol. XXIII, No. 1, Maret 1995 dengan judul: An Asian Perspective on the Cross and Suffering,[25] disebutkan bahwa salib identik dg penderitaan. Dengan kata lain penderitaan manusia adalah salib. Salib sebagai penderitaan manusia, dalam hal tertentu, menurutnya, dapat dilihat sebagai sama dengan salib Kristus. “By this[26] I mean that the suffering of humankind is identical with the suffering of Christ in terms of intensity and the existential experience both represent” (cetak miring, MTW). Walaupun begitu, Yewangoe melanjutkan, bahwa salib manusia berbeda dengan salib Kristus. Salib yg dipanggul manusia adalah penderitaan manusia yg bersangkutan, sedangkan salib Kristus bukan salib-Nya sendiri, melainkan salib orang lain. Kristus menderita menggantikan orang lain.
Ada beberapa pokok yg dapat ditarik dari kutipan pendek ini, a.l. 1) salib (baca: penderitaan) manusia dan salib Yesus sama dan beda. Sama dalam hal intensitas dan pengalaman hidup. Bedanya: salib manusia adalah salibnya sendiri, sedangkan salib Kristus adalah salib orang lain. 2) aspek penebusan dalam salib Kristus tidak nampak. Atau mungkin ini tersembunyi di dalam kalimatnya, “… suffering of Christ as substitute for others”. Tetapi nampaknya tidak tidak demikian, sebab perbedaan salib Kritus tidak dilihat dari tujuan tetapi dari sebab.
[27] Manusia menderita karena kesalahannya sendiri, sementara Yesus tidak demikian. Di sini menjadi jelas Yesus mana yg disebut Yewangoe sebagai ‘manusia bagi orang lain’: Yesus, seorang manusia ideal, seorang yg benar. Sekalipun begitu, pada bagian akhir dari An Asian Perspective on the cross and suffering, disinggung sedikit bahwa sumber dari penderitaan manusia adalah dosa. Sayangnya pemikiran mengenai dosa tidak lagi menyetir hati manusia modern [postmodern] saat ini. “Perhaps therein lies the problem: when we suppose we are free, we are inclined to fall prey to egoism and self-importance.” (cetak miring: MTW). Nampak salib Kristus ada hubungannya dengan dosa manusia di sini, dan menurut Yewangoe, inilah arti salib Kristus yg sesungguhnya, yakni ketika salib ini berhubungan dengan dosa, dan inilah arti penebusan.
Sayangnya, aksentuasi terhadap eratnya hubungan antara dosa dan penderitaan manusia tidak nampak di sini: perhaps. Padahal Alkitab dengan jelas dan tegas mengatakan bahwa kesusahan manusia adalah akibat dari dosa: ketidaktaatan manusia kepada Allah (Kej. 3:17-19). Ini suatu kenyataan, realitas, bukan “perhaps”.

Kesimpulan
“Yesus adalah manusia bagi orang lain” adalah sebuah kalimat yang menarik, namun ini memberi kesan skeptis terhadap kalimat lain, misalnya “Yesus adalah Tuhan bagi orang lain”. Yesus adalah manusia bagi orang lain memiliki dua aspek: sosial dan spiritual atau lebih tepat: teologis. Aspek sosial artinya salib Kristus menunjukkan betapa sengsaranya manusia itu dalam kaitan dengan masalah-masalah kemanusiaan: penyakit, kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, dll. Aspek teologis artinya salib Kritus bukanlah sebuah salib solidaritas (rasa sepenanggungan), melainkan rekonsiliasi: mendamaikan manusia (dunia) berdosa dengan Allah. Yesus, bukan sekadar tokoh moral, manusia ideal, orang benar, melainkan lebih dari itu: Mesias, anak domba Allah, yg mengangkat dosa dunia (Yoh.1:29). Maka ketika manusia diperhadapkan dengan Yesus, dia adalah orang berdosa dan orang sengsara. Yesus adalah Tuhan yg datang untuk menyelamatkan. Yesus juga adalah manusia yg datang untuk menggantikan manusia (sesamanya) berdiri di hadapan penghakiman Allah. Yesus adalah Tuhan sejati dan manusia sejati.







Literatur:

Buku:
Berkhof, H., Christelijke Geloof, Uitgeverij Kok: Kampen, 2002
Berkhof, L., Teologi Sistimatika, Doktrim Kristus, LRII: Jakarta, 1996
Kamphuis, B., Boven en Beneden, Disertasi. Uitgeverij Kok: Kampen, 1999
Shedd, W. G. T., Dogmatic Theology, P&R Publishing: Phillipsburg, New Jersey, 2003
Trimp, C., Woord, Water en Wijn, Uitgeversmaatschappij J. H. Kok: Kampen, 1985
Van den End, Th, Enam Belas Dokumen Dasar Kalvinisme, BPK Gunung Mulia: Jakarta, 2000
Van Genderen, J. Gerechtigheid als Geschenk, Uitgeversmaatschappij H. J. Kok: Kampen, 1988

Surat Kabar:
Suara Pembaruan
Nederlands Dagblad.

World Wide Web:
http://www.tokohindonesia.com
http://www.persetia.org
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/andreas-yewangoe/biografi/index.shtml
http://www.rec.gospel.com.net
http://members9.ravelly.com/sttjakarta/index.php?read=1501



[1] http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/andreas-yewangoe/biografi/index.shtml (dikutip 1 Januari 2006)
[2] Penekanan pelayanan gereja hanya pada aspek ortopraksis. Gereja harus terlibat dalam masalah-masalah sosial, bergandengan tangan secara bersama dengan segenap komunitas bangsa untuk mengupayakan kehidupan yang lebih baik di segala bidang. Pemberitaan Injil dalam arti yg sesungguhnya tidak diperlukan di sini, karena itu hanya menambah masalah.
[3] Amanat Agung
[4] Yg saya maksud adalah bahwa keesaan in action perlu juga memberi ruang kepada pemberitaan Injil dalam arti yg sesungguhnya, sebab ini adalah perintah Tuhannya. Mengarahkan perhatian kepada Amanat Agung merupakan bentuk kasih gereja kepada Kristus sebagai Kepalanya.
[5] J. van Genderen, Gerechtigheid als geschenk, Uitgeversmaatschappij H. J. Kok: Kampen, 1988, p.10.
[6] Reduksi kristologi yg saya maksud adalah penyangkalan terhadap kristologi ortodoks, dimana Kristus diakui dan diimani sebagai Tuhan dan manusia sejati.
[7] Ayat ini berbunyi: “jatuhkanlah hukum yg adil setiap pagi dan lepaskanlah dari tangan pemerasnya orang yg dirampas haknya, supaya kehangatan murka-Ku jangan menyambar seperti api dan menyala-nyala dengan tidak ada yg memadamkannya, oleh karena perbuatan-perbuatanmu yg jahat”. Barangkali ada pembaca yg bertanya: Yeremia kan sedang berbicara kepada pemerintahnya sendiri? Jadi situasinya lain. Pertanyaan ini logis, tetapi kita juga harus ingat apa yg rasul Paulus katakana dalam Roma 13:1. Tentang pemerintah, lihat juga Pengakuan Iman Westminster: Pemerintahan Negara, artikel 1 & 4. Orang Kristen, terutama para teolog dan tokoh-tokoh gereja sebaiknya bertanya: Mungkinkah semua bencana alam dan berbagai persoalan kemanusiaan yg datang silih berganti di Negara kita ada hubungannya dengan ayat di atas? Apakah ketidakadilan yg terlihat di mana-mana, di Negara kita, menjadi biang
persoalan-persoalan bangsa ini? Kalau ‘ya’, beranikah kita untuk percaya Yeremia 21:12, bahwa tangan Tuhan, Pencipta buana ini, memang sedang terulur ke atas bangsa kita? Kalau kita percaya itu, maka saya kira mengupayakan kesejahteraan bangsa ini dalam keesaan in action, yg hanya berpusat dan terarah kepada tindakan-tindakan sosial semata, justru ibarat: lain gatal, lain garuk. Bacalah Confesio Belgica (Pengakuan Iman Gereja-gereja Belanda) artikel 13 tentang pemeliharaan Allah.
[8] Tuhan menghedaki supaya Injil: kabar baik, yakni kabar tentang kematian dan kebangkitan Yesus (1 Kor. 15:1-2) diberitakan kepada semua orang (Mrk. 16:15-16; Mat. 28:19-20), karena Ia sungguh-sungguh mengasihi dunia ini (Yoh. 3:16). Gereja yg mengabaikan atau mengesampingkan Amanat Agung sama dengan gereja yg telah kehilangan kasihnya kepada Allah (Yoh. 14:15).
[9] Lihat Confessio Belgica, artikel 17 tentang pemulihan manusia yg telah jatuh: “Kita percaya bahwa Allah kita yg baik, - melihat bahwa dengan demikan manusia sudah menghamburkan diri ke dalam maut jasmani maupun rohani, dan sudah mencelakakan dirinya sama sekali – karena hikmat dan kebaikan-Nya yg menakjubkan, pergi sendiri mencari manusia, ….”
[10] http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/andreas-yewangoe/biografi/index.shtml (dikutip 6 Januari 2006)

[11] http://www.persetia.org/ngelow-mesias.htm (dikutip 24 Januari 2006)
[12] Untuk lebih jelas, baca (bg yg dapat), posting Rahmat di STT Jakarta discussion forum: http://members9.ravelly.com/sttjakarta/index.php?read=1501 (dikutip 1 February 2006).
[13] Teologi yg hanya mengenal Allah yg penuh kasih, sudah ada sejak abad ke-2. Ajaran ini dipelopori oleh Marcion, seorang pedagang dari Anatoli. Marcion mengajarkan bahwa Yesus adalah Allah di tengah manusia. Allah yg dinyatakan oleh Yesus adalah Allah yg pengasih. Allah seperti ini lain dari Allah yg menciptakan dunia ini. Sebab Allah yg menciptakan dunia ini adalah Allah yg ceroboh (klunel: Bel., bungler: Ing). Lihat saja! Hasil pekerjaan-Nya tidak sempurna. Allah seperti ini berbeda dengan de volmaakte God van de liefde: Allah yg sempurna dari kasih. Marcion hanya berbeda sedikit dengan Rahmat sebab Marcion masih mengatakan bahwa Yesus adalah Allah di tengan manusia, sedangkan Rahmat adalah seorang penganut pandangan Jesus sejarah. Yesus bagi Marcion adalah gambar Allah, sedangkan bagi para pengagum teori Historical Jesus, Yesus hanyalah soerang tokoh moral, tokoh panutan. “Nampaknya” yg
terakhir ini tersirat dalam pandangan Yewangoe.
[14] Sobrino J., EllacurĂ­a, I., (ed.), Systematic Theology, Perspective from Liberation Theology, 1996, p.137
[15] Misi gereja tidak lagi pada penginjilan yg dapat berujung pada pertobatan dan penanaman atau perdirian gereja (jemaat) baru, tetapi pada perwujudan masyarakat yg sejahtera secara sosial, ekonomis, dll. Untuk lebih jelasnya (bagi yg berkemungkinan), lihat saja posting Ioannes Rahmat, dg judul: “PGI dan KWI sepakat tolak pengkristenan Indonesia” di website: http://members9.ravelly.com/sttjakarta/index.php?read=1944 , atau di Koran Tempo , 8 Januari 2006, hlm B6: Paradigma Misi Keagamaan Alternatif, (juga ditulis oleh Ioannes Rahmat).
[16] C. Trimp, Woord, water en Wijn, KOK Kampen, 1985, p. 83
[17] A. van de Beek, De menselijke persoon van Christus, dalam B. Kamphuis¸ Boven en Beneden, 14.
[18] H. Berkhof, Christelijke geloof, 265.
[19] A. van de Beek, De menselijke persoon van Christus, dalam B. Kamphuis¸ Boven en Beneden, 14.
[20] H. Berkhof, Christelijke geloof, 265.
[21] Disebut kristologi synopsis karena Injil Matius, Markus dan Lukas menjadi sumber atau dasar studi ini.
[22] H. Berkhof, Christelijke geloof, 265
[23] Ibid.
[24] Buku-buku Yewangoe sepertu Teologi Crusis di Asia dan Agama dan Kerukunan menyiratkan kristologi ini.
[25] : http://rec.gospelcom.net/TF-Mar95-yewangoe.html (dikutip 12 Januari 2006).
[26] this menujuk pada kalimat: Salib sebagai penderitaan manusia, dalam hal tertentu, dapat dilihat sebagai sama dengan salib Kristus.
[27] Jika tujuan salib Kristus diabaikan, maka kita pun akan kehilangan makna kematian-Nya yg
‘menggantikan’ (penebusan).

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Senang sekali membaca artikel ini...menarik dan inspiratif...tapi saya punya usul, untuk "gadget: reaksi", item-itemnya diganti dengan: setuju, tidak setujud, dsb...untuk mengeditnya, gampang koq...tinggal klik aja kostumasi lalu ikuti petunjuk yang ada..Keep on posting, bro...God Bless!