Studi Ekspositoris
I.
Pendahuluan.
‘Pajak’
adalah kata yang pelaksanaannya sangat ditekankan dan disukai di satu pihak, tetapi
tidak diminati dan dihindari di pihak lain. Pihak pertama adalah pemerintah
sebagai penerima dan pengguna. Pihak kedua - yang tidak suka dan cenderung menghindar -
adalah pembayar atau wajib pajak. Berbagai peraturan perundang-undangan
diterbitkan untuk mengatur dan mengamankan penerimaan dan penggunaan pajak.
Pada saat yang sama, para wajib pajak berusaha sebisa mungkin menghindari
pembayaran pajak dengan berbagai alasan. Tidak jarang, orang-orang Kristen pun
masuk dalam kelompok ini. Padahal, membayar pajak adalah kewajiban seorang warga
Negara.
Apakah Alkitab berbicara tentang pajak? Jika ada, seperti apa? Bukankah orang Kristen adalah pengembara di Bumi? Untuk apa membayar pajak? Pertanyaan-pertanyaan ini akan kita jawab berdasarkan eksposisi teks-teks Alkitab yang berbicara mengenai pajak di bawah ini. Kita akan mulai dengan melihat sejarah perpajakan dalam dunia di sekitar Perjanjian Lama. Lalu akan dilanjutkan dengan ajaran PL dan BP tentang pajak dan potensi kerusakan atau kehancuran yang dapat disebabkan oleh pajak merurut Alkitab. Terakhir, kesimpulan.
Apakah Alkitab berbicara tentang pajak? Jika ada, seperti apa? Bukankah orang Kristen adalah pengembara di Bumi? Untuk apa membayar pajak? Pertanyaan-pertanyaan ini akan kita jawab berdasarkan eksposisi teks-teks Alkitab yang berbicara mengenai pajak di bawah ini. Kita akan mulai dengan melihat sejarah perpajakan dalam dunia di sekitar Perjanjian Lama. Lalu akan dilanjutkan dengan ajaran PL dan BP tentang pajak dan potensi kerusakan atau kehancuran yang dapat disebabkan oleh pajak merurut Alkitab. Terakhir, kesimpulan.
II.
Pajak dalam Dunia Timur Dekat Kuno.
Pajak
bukanlah produk modern. Pajak – atau yang dalam terminologi lama disebut upeti
– sudah dikenal dalam Dunia Timur Dekat Kuno (Ancient Near East), yakni dalam dunia bangsa-bangsa Sem purba.
Pembayaran
pajak pada masa ini biasanya terjadi di antara Negara penjajah dengan
jajahannya atau di antara Negara sahabat secara tahunan. Negara yang ditaklukkan
selalu berkewajiban membayar pajak kepada penakluknya. Tujuannya a.l.: untuk semakin memperlemah dan
mempermiskin Negara taklukan, meningkatkan pendapatan Negara penakluk dan
memperoleh bahan keperluan yang persediaannya terbatas dalam negeri
sendiri.
Jika lalai
membayar, maka kelalaian itu dapat dipandang sebagai indikasi pembangkangan
atau perberontakan, dan dapat diganjar dengan serangan militer.
Kemungkinan
Kejadian 14 dapat dimengerti dalam terang informasi perpajakan dalam Dunia
Timur Dekat Kuno ini. Perikop pertama pasal ini menceritakan pemberontakan raja
Sodom dan sekutunya yang telah duabelas tahun lamanya berada di bawah jajahan
Kedorlaomer, raja Elam. Ketika Abraham
berhasil mengalahkan Kedorlaomer, raja Sodom menawarkan harta benda. Abraham
memang menolaknya. Tetapi kemungkinan tawaran ini dapat dipandang sebagai
upeti.
III. Pajak
dalam Alkitab
A.
Perjanjian Lama
1)
Oleh Negara jajahan kepada penjajah
Dalam
Perjanjian Lama kita menjumpai istilah pajak atau upeti cukup sering.
Upeti/pajak dibayar kepada raja penakluk. Demikianlah misalnya orang Moab
membayar upeti kepada Daud: “Dan ia memukul kalah orang
Moab, lalu sambil menyuruh mereka berbaring di tanah ia mengukur tempat mereka
dengan tali; diukurnya dua kali panjang tali itu untuk mematikan dan satu tali
penuh untuk membiarkan hidup. Maka orang Moab takluk kepada Daud dan harus
mempersembahkan upeti” (2Sam. 8:2). Demikian jugalah dalam doa Salomo untuk
kejayaan kerajaannya, ia meminta agar kekuasaannya melampaui batas wilayah
Israel dengan konsekuensi ekonomis: raja-raja dari Tarsis dan pulau-pulau
membawa upeti kepadanya (Mzm. 72:8-10). Doa
ini terbukti dalam pemerintahan Salomo. Ia berkuasa hingga ke Mesir: “Maka
Salomo berkuasa atas segala kerajaan mulai dari sungai Efrat sampai negeri
orang Filistin dan sampai ke tapal batas Mesir. Mereka menyampaikan upeti dan
tetap takluk kepada Salomo seumur hidupnya” (1Raj. 4:21. Lih. juga ay 24-25). Bahkan
dalam 1 Raja-raja 4:34 disebutkan bahwa Salomo mendapat upeti dari semua raja
di bumi. Tetapi – pada suatu saat - ketika Israel takluk kepada raja Moab,
mereka pun diwajibkan membayar pajak kepada Moab (Hak. 3:15-18).
Jelas terlihat di sini bahwa
pajak/upeti adalah kewajiban dari Negara jajahan kepada penjajah. Tujuannya
antara lain menambah kekayaan dan kejayaan di satu sisi, dan di sisi lain
memperlemah dan memiskinkan.
2)
Oleh warga Negara sendiri.
Di samping sebagai kewajiban Negara terjajah, pajak
juga adalah kewajiban setiap warga Negara. Ketika orang Israel menghendaki
seorang raja (+ 1100 sM), Samuel menyampaikan bahwa jika mereka dipimpin
oleh seorang raja manusia (bukan langsung oleh Tuhan), maka mereka akan
dikenakan tagihan 10% dari hasil gandum dan anggur mereka demi kesejahteraan
raja. Tagihan ini dapat dimengerti sebagai pajak atau upeti (1Sam. 8:15).
Pada masa pemerintahan Yoas, ia meminta
mengumpulkan pajak dari semua penduduk Israel. Tujuannya adalah untuk
memperbaiki rumah Tuhan yang telah dirusak oleh anak-anak Atalya (1Taw.
24:1-13).
Perintah penagihan pajak dari rakyat ini didasarkan
atas ketentuan pajak yang diperintahkan Allah melalui Musa dalam Keluaran
30:11-16. Perikop ini bercerita tentang
pendaftaran orang Israel. Tidak ada kata pajak atau upeti dalam ayat-ayat ini.
Yang ada adalah uang pendamaian, yang disebut juga dengan persembahan khusus.
Uang ini harus dibayar oleh semua orang Israel sebagai tebusan ganti nyawa
mereka. Raja Yoas memahami pembayaran uang ini sebagai pajak.
3)
Untuk TUHAN
Upeti tidak hanya menjadi hak
penakluk, tetapi juga menjadi hak Tuhan. Ketika bangsa Israel mengalahkan orang
Midian di bawah pimpinan Musa, TUHAN memerintahkan supaya para prajurit yang
keluar berperang memberikan upeti dari hasil jarahan mereka kepada TUHAN. Di
dalam jarahan itu ada bagian TUHAN. Bagian itu disebut upeti (Bil. 31: 28-29,
37-40).
B.
Perjanjian Baru
Tidak
sesering Perjanjian Lama, pokok tentang pajak dalam Perjanjian Baru hanya
muncul dalam kitab-kitab Injil dan surat Paulus kepada jemaat di Roma. Meskipun
demikian, ketidakseringan ini tidak mengurangi pentingnya perhatian terhadap
pajak dalam PB.
1)
Kitab-kitab Injil
Ada 5 tempat atau fasal
dalam kitab-kitab Injil di mana pokok tentang pajak dibicarakan (Mat. 17, 22,
Mrk. 12; Luk. 20, 23). Matius 17 memuat cerita mengenai kewajiban membayar bea
bait Allah. Lukas 23 memuat cerita tentang tuduhan palsu ketika Yesus diadili. Sementara
Matius 22, Markus 12 dan Lukas 20 merupakan perikop paralel. Perikop-perikop
ini memuat cerita mengenai orang-orang suruhan Sanhedrin, yakni beberapa orang
Farisi dan Herodian, untuk menjebak Yesus dengan mencari tahu pandangan-Nya
tentang pembayaran pajak.
Utusan-utusan jebakan
ini menghampiri Yesus dengan kalimat yang indah: “Guru, kami tahu, Engkau
adalah seorang yang jujur, dan Engkau tidak takut kepada siapa pun juga, sebab
Engkau tidak mencari muka, melainkan dengan jujur mengajar jalan Allah dengan
segala kejujuran.” Ini kalimat yang mengindikasikan kekaguman. Sayang, hanya
jebakan. Motif menjebak dibungkus rapi dengan kalimat yang mengandung nilai
moral tinggi. Lain di hati, lain di mulut!
Merasa Yesus mungkin
telah termakan pujian hiasan bibir ini, mereka lalu mengajukan pertanyaan: “Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau
tidak? Haruskah kami bayar atau tidak?" (Mrk 12:14).
Di satu sisi,
orang-orang Yahudi adalah jajahan Romawi, maka membayar pajak kepada kekaisaran
adalah kebijakan penjajah yang harus ditaati. Tidak membayarnya sama dengan
pemberontakan. Padahal orang-orang
Yahudi merasa tidak patut membayar pajak kepada pemerintahan kafir. Namun
mereka tidak memiliki keberanian untuk berterus terang.
Di sisi lain,
orang-orang Yahudi pun sedang giat-giatnya mencari cela untuk membunuh Yesus.
Dan mereka melihat kewajiban pajak yang tidak patut kepada pemerintahan kafir
ini, dapat menjadi alasan untuk membunuh Yesus dengan meminjan tangan pemerintahan Ramawi.
Mereka melihat bahwa Yesus berani, jujur dan tidak takut siapa pun.
Sifat-sifat-Nya ini dapat dimanfaatkan untuk menjebak-Nya. Sebab jika Dia
menyatakan mereka tidak harus membayar pajak, itu dapat dijadikan tuduhan bahwa
Yesus mengajarkan pemberontakan terhadap kaisar (bdk. Luk 23:2).
Ternyata Yesus tahu
kemunafikan mereka. Ia tidak terlena oleh pujian mereka. Pujian kekaguman itu
adalah jaring jebakan! Mereka sedang
mencobai Dia (Mrk. 12:15). Ia kemudian meminta uang 1 dinar – yang adalah upah
kerja 1 hari pada zaman itu. Berdasarkan gambar dan tulisan yang tertera pada uang itu, Ia mengajar para penjebak itu untuk memberikan kepada kaisar apa yang
menjadi hak kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah. Dengan kata
lain, Yesus menyuruh mereka memberikan dinar itu kepada kaisar sebab uang itu
memiliki gambar dan tulisan kaisar. Gambar dan tulisan kaisar adalah lambang
kepemilikan atau hak.
Jawaban Yesus
mengajarkan 4 hal:
1)
Yesus bukan milik kaisar, sebab padanya tidak tertera gambar dan tulisan
kaisar. Sebaliknya, Ia adalah milik Allah karena Dia adalah gambar dan tulisan
Allah. Maka salahlah orang-orang Yahudi ketika mereka bermaksud menyerahkan-Nya
kepada kaisar Romawi. Dinar itulah milik kaisar, sebab di atasnya tertera
gambar dan tulisan kaisar. Yang ini wajib mereka berikan kepada kaisar.
2)
membayar pajak kepada kaisar bukanlah sesuatu yang tidak patut. Justru
sebaliknya, sebab membayar pajak adalah bukti ketaatan. Di samping itu,
membayar pajak adalah pemenuhan hak orang lain.
3) pajak
diambil dari penghasilan. Maka di dalam pendapatan seseorang terdapat hak
pemerintah.
4)
kehidupan harus berimbang antara ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada
pemerintah.
Memang pertanyaannya
adalah bagaimana jika pemerintah itu kafir dan korup? Apakah kepada
pemerintahan yang demikian pun kita harus membayar pajak? Pertanyaan ini akan
dijawab dalam pembahasan Roma 13.
2)
Roma 13:1-7
Roma 13 dimulai dengan
keharusan untuk taat kepada pemerintah. Siapa yang melawan pemerintah, ia
melawan Allah sebab pemerintah berasal dari dan ditetapkan oleh Allah. Pemerintah
adalah hamba Allah untuk kebaikan rakyatnya.
Membayar pajak adalah
salah satu bentuk ketaatan kepada pemerintah. Di samping itu, membayar pajak
sama dengan memberi kepercayaan kepada pemerintah sebagai pelayan Allah untuk
kebaikan rakyat.
Bagaimana jika
pemerintah itu kafir dan korup? Apakah pajak tetap harus dibayar juga?
Jawabannya jelas: Ya. “… sebab tidak ada pemerintah,
yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan
oleh Allah” (ay 1). Mereka
adalah “… pelayan-pelayan Allah” (ay 6).
Membayar pajak adalah
pengamalan hukum kedua, yang menjadi dasar seluruh hukum Taurat dan kitab para
nabi, yakni kasih terhadap sesama (Mat. 22:39). Dengan pajak, pemerintah dapat
mengatur kesejahteraan rakyat, yang adalah sesama kita. Karena itu membayar
pajak, tidak hanya sebatas bukti ketaatan kepada pemerintah, tetapi juga wujud
rasa peduli kita kepada sesama. Dengan kata lain: membayar pajak sama dengan
mempraktikkan kasih. Membayar pajak sama dengan meminjam tangan pemerintah untuk
mewujudnyatakan belaskasihan kita kepada sesama. Seorang anggota jemaat yang
baik, haruslah juga menjadi seorang anggota masyarakat yang baik.
IV. Pajak
dapat disalahgunakan
Jika sebuah pemerintahan
korup, maka pajak dapat disalahgunakan. Di Negara kita, penyalahgunaan pajak
adalah rahasia umum yang pembuktiannya gampang-gampang susah.
Di samping itu, besaran
pajak pun perlu mendapat perhatian. Jumlah yang berlebihan berbahaya bagi
kelangsungan Negara. Demikianlah nasihat Alkitab: “Dengan keadilan seorang
raja menegakkan negerinya, tetapi orang yang memungut banyak pajak
meruntuhkannya” (Ams. 29:4). Bajak boleh, atau lebih tepat, harus dipungut, tetapi jangan berlebihan.
Pajak sungguh berguna.
Namun itu hanya terjadi jika raja adil. Tetapi ketidakadilan raja, yang
memungkinkan kegunaan pajak tidak kelihatan, tidak boleh menjadi alasan orang
Kristen untuk tidak membayar pajak. Sebab
untuk raja atau pemerintah atau pengelola pajak yang tidak adil, telah tersedia
hukuman. “… karena kamu menginjak-injak orang lemah dengan mengambil pajak
gandum daripadanya, - sekalipun kamu telah mendirikan rumah-rumah dari batu
pahat, kamu tidak akan mendiaminya; sekalipun kamu telah membuat kebun anggur
yang indah, kamu tidak akan minum anggurnya” (Am. 5:11).
Kesimpulan
Alkitab mengajarkan
bahwa kehidupan seorang percaya harus berimbang antara ketaatan kepada Allah
dan kepada pemerintah. Seorang percaya hidup dalam dua kewajiban: kewajiban
kepada Allah dan kepada manusia. Ini adalah konsekuensi iman, yang telah menempatkan
orang-orang percaya sebagai warga dari dua kerajaan pada saat yang sama, yakni
Kerajaan Sorga dan Kerajaan Dunia.
Di samping itu, membayar
pajak adalah bentuk pengamalan hukum yang kedua, yakni kasih kepada sesama.
Dengan membayar pajak, seorang percaya telah meminjam tangan pemerintah untuk
mewujudkan kasihnya kepada sesamanya.
Kebobrokan pemerintah tidak perlu
menjadi alasan untuk menahan pembayaran pajak. Mereka adalah pelayan-pelayan
Allah. Allah akan menghukum mereka ketika mereka menggelapkan pajak!
1 komentar:
selamat malam pak marianus. Terima kasih atas pencerahannya, dengan tulisan anda ini, saya sedikit memahami persoalan pajak yang berkaitan dengan perspektif Alkitabiah. Tetapi bisakah bapak memberikan sumber atau referensi yang bapak pakai dalam tulisan ini?? Terima kasih
Posting Komentar