Renungan keluarga
1 Petrus 3:1-6
Pdt. Marianus T. Waang, M. Th.
Bacaan kita kali ini menyangkut hubungan
antara istri dan suami. Di dalam Alkitab, hubungan ini sudah dimulai sejak
penciptaan. Kita dapat membacanya dalam Kejadian 2:18. Di sana Tuhan
mengatakatan bahwa Ia mau menciptakan perempuan sebab tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Untuk itu Allah menciptakan bagi manusia (Adam) seorang perempuan sebagai penolong. Dari sini jelaslah bahwa perempuan diciptakan karena
laki-laki. Perempuan diciptakan karena tidak baik laki-laki (ish)tanpa perempuan (ishsha): “Tidak baik kalau manusia itu
seorang diri saja” (Kej. 2:18a). Perempuan diciptakan supaya ia dapat menolong
laki-laki: “Aku menjadikan seorang penolong yang sepadan dengannya” (Kej.
2:18b). Penolong yang sepadan artinya penolong yang cocok, yang pas, yang
sesuai. Allah katakan: “tidak baik…”, bukan “tidak bisa…”. Frase “tidak baik”
berhubungan dengan “nilai”, sementara “tidak bisa” berkaitan dengan “potensi”
atau “kemampuan”. Dalam hal kemampuan, laki-laki dapat saja hidup sendiri,
tanpa seorang istri, tetapi dari segi nilai atau norma atau makna, kehidupan
seperti itu tidaklah baik di mata Allah.
Pembicaraan tentang
hubungan ini kemudian muncul lagi dalam Kejadian 3:16, setelah peristiwa
kejatuhan. Di sana
dikatakan bahwa kesusahan dan kesakitan waktu mengandung dan melahirkan akan
dibuat sangat banyak dan suami akan berkuasa atas istri. Di sini kita melihat
hubungan antara istri dan suami mulai mengalami degradasi. Sebelum kejatuhan,
istri adalah penolong yang sepadan. Namun sesudah kejatuhan istri berada di
bawah kekuasaan suami. Sebelum kejatuhan hubungan di antara istri dan suami
adalah hubungan dalam kecocokan dan keharmonisan: hubungan di dalam
kesepadanan. Hugungan di antara “yang tidak baik hidup sendiri” dengan “yang
datang sebagai penolong yang cocok, yang membuat hidup laki-laki menjadi baik. Tetapi
setelah kejatuhan, hubungan ini berubah menjadi seperti tuan dan hamba,
pemimpin dan bawahan. Itu jelas sekali jika kika membaca 1 Korintus 11:3. Di
sana dikatakan bahwa laki-laki adalah kepala dari perempuan. Rasul Paulus
menekankan hal yang sama dalam Efesus 5:22-24. Kali ini tunduknya atau
ketaataan jemaat kepada Kristus dipakai sebagai perbandingan. Dalam ayat 24
tertulis, “Karena itu sebagaimana jemaat tunduk
kepada Kristus, demikianlah istri kepada suami dalam segala sesuatu.”
Demikian juga dalam Kolose 3:18, “Hai istri-istri, tunduklah kepada suami,
sebagaiman seharusnya di dalam Tuhan.”
Sampai di sini mungkin
ada di antara para istri atau calon istri yang berkata dalam hati: “Haaaa…?
Taat dalam segala sesuatu….? Enak aja! Bagaimana kalau suami kurang ajar, suka
jajan ke sana kemari, tidak mau menyerahkan semua gajinya kepada istri, tidak
saja punya rekening rahasia, tetapi juga punya rekan tersembunyi alias Wanita
Idaman Lain. Bagaimana kalau suami tidak jujur, tidak setia, dst. Apakah kepada
suami seperti ini saya harus tunduk juga? Ah… yang benar saja.”
Pertanyaan-pertanyaan
yang bermakna dan bernada complain ini
logis. Tidak ada seorang pun yang mau disemenamenakan, apalagi oleh orang
terdekatnya. Biasanya sakit (hati) karena kesalahan orang terdekat jauh lebih
berat dibanding dengan sakit yang ditimbulkan oleh orang yang jauh. Tetapi soal
iman bukanlah soal logis atau tidak logis, melainkan soal ketundukan atau
ketaatan. Ketaatan dalam soal iman bukanlah ‘ketaatan karena’ (taat karena dia
baik, misalnya), melainkan ‘ketaatan meskipun’ (taat meskipun dia tidak baik,
misalnya).
Mari memperhatikan
bacaan kita! Dalam ayat 1 Petrus berbicara tentang bagaimana seharusnya sikap
seorang istri terhadap suami dan apa tujuannya. Ia mengatakan bahwa sikap yang baik, yang
perlu ditunjukkan oleh seorang istri kepada suaminya adalah tunduk. Dalam
bahasa Yunani, kata “tunduk” di sini berarti “taat”. Seorang istri - menurut
bacaan ini - dalam hubungan kesehariannya dengan suami, mestilah menujukkan
sikap “taat”. Kadar atau ukuran atau pedoman atau bisa juga contoh ketaatan itu
adalah ketaatan Kristus kepada Allah. Sebab ayat ini dimulai dengan frase
“demikian juga”. Frase ini merujuk kepada apa yang dibicarakan dalam pasal 2:18-24,
yaitu nasehat kepada para hamba mengenai ketaatan (lih juga Tit 2:9-10). Mereka
harus tunduk bahkan kepada tuan yang jahat sekalipun. Sakit karena ketaatan
yang total seperti itu adalah kasih karunia (2:20b). Itu jugalah yang telah Kristus
kerjakan dan tinggalkan bagi mereka sebagai teladan/panutan. Ketika Ia dicaci
maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak
mengancam, tetapi Ia menyerahkannya (cacian dan makian) kepada Dia, yang
menghakimi dengan adil (2:28). Meskipun Ia adalah Anak dan apa yang dialami-Nya
bukan salah-Nya namun Ia taat, bahkan sampai mati dengan cara yang hina (lih Flp
2:8; Ibr 5:8).
Ketaatan tanpa tedeng
aling-aling yang diminta Petrus dari para hamba itu jugalah yang harus dimiliki
oleh para istri orang percaya saat itu. Sama seperti ukuran ketaatan hamba
kepada tuan bahkan kepada yang kejam sekalipun berdiri di atas teladan Kristus,
demikian jugalah ketaatan para istri. Dengan kata lain dasar atau ukuran ketaatan
para istri kepada suami-suami mereka adalah ketaatan Kristus kepada Bapa. Adakah
Kristus taat setengah hati? Adakah Ia taat hanya ketika keinginan-Nya dipenuhi?
Atau apakah Ia hanya taat ketika tidak disakiti? TIDAK! Dalam segala hal Ia
taat. Dia tidak membalas cambukkan para tentara Romawi. Cercaan dan hinaan
saudara-saudara sebangsa-Nya pun diterima-Nya, Luda dan olokan dari tua-tua
agama pun tidak dibalas oleh-Nya. Mengapa? Apakah karena Ia tidak mampu
membalas? Ataukah kerena Ia memang bersalah? Tentu tidak! Bukan Dia tidak mampu
membalas, juga bukan karena Dia memang bersalah, melainkan karena Dia mau taat
kepada Bapa-Nya. Dia mau taat kepada apa yang menjadi misi dari kehadiran-Nya
dalam wujud manusia sama seperti kita, yaitu ‘mati’ di salib untuk pengampunan
dosa kita. Ketaatan seperti inilah yang diminta oleh rasul Petrus kepada para
Istri untuk diikuti atau dijadikan pedoman. Istri harus taat bukan ketika suami
setia saja, bukan ketika semua keinginan dipenuhi, bukan ketika suami tidak
berlaku kasar, bukan ketika suami tidak mempunyai WIL, melainkan dalam segala situasi.
Yesus bisa saja
membalas kelakuan jahat para tokoh agama Yahudi dan tentara-tentara Romawi yang
menyiksa dan meyalibkan Dia. Dia sendiri mengatakan kemungkinan itu ketika Dia
menegur seorang murid-Nya yang memotong telinga seorang hamba Imam Besar. Pada
saat itu Dia berkata, “Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab
barang siapa bermain dengan pedang, akan binasa oleh pedang. Atau kausangka,
bahwa Aku tidak dapat berseru kepada Bapa-Ku, supaya Ia segera mengirim lebih
dari dua belas pasukan malaikat membantu Aku? Jika begitu, bagaimana akan
digenapi apa yang ditulis dalam Kitab Suci, yang mengatakan bahwa harus terjadi
demikian?” (Mat 26:52-54). Yesus tidak
mau menggunakan hak-Nya untuk membela diri. Dan ini dilakukan-Nya dengan sadar,
supaya apa yang tertulis dalam Kitab Suci tentang Dia harus tergenapi, yakni
melunasi hutang dosa manusia demi menyelamatkan mereka. Ini menunjukkan
ketaatan-Nya, suatu ketaatan yang menuntut sikap rela menderita, atau
membiarkan hak-hak-Nya tidak terpenuhi.
Orang Kristen diminta
untuk meneladani ketaatan Kristus, yakni suatu ketaatan yang berujung pada
kerelaan untuk tidak menuntut atau mengggunakan hak sendiri. Suatu ketaatan
yang rela merendahkan diri sampai mati. Dalam Filipi 2:8 kita membaca bahwa
Yesus dalam keadaan sebagai manusia, telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai
mati, bahkan mati dengan cara yang tidak wajar, yakni di kayu salib. Itulah harga dari sebuah ketaatan. Ketaatan Kristus bukan ketaatan
“bonek” (bodok dan nekat), melainkan ketaatan berdasarkan pilihan dan pertimbangan
yang sadar.
Ketaatan seperti inilah yang dipakai oleh
Petrus untuk menggambarkan ketaatan seorang istri terhadap suami. Artinya bahwa seorang istri mestinya bersedia
sakit hati karena suaminya. Sakit hati tidak saja karena seorang istri harus
mengesampingkan atau lebih tepat meniggalkan hak-hak pribadinya demi suami,
tetapi tuga karena sikap suami yang memang sering menyakitkan: mabuk, judi,
malas ke gereja, kalau diajak berdoa atau baca Alkitab, katanya: “ah, kamu saja
dengan anak-anak. Saya masih ada urusan lain.” Tetapi untuk apa ketaatan seperti ini? Taat
meskipun disakiti, taat meskipun dikhianati, taat meskipun tidak dipedulikan.
Untuk apa semua ini?
Dalam ayat 1b bacaan
kita tertulis: “… supaya jika ada di antara mereka (suami) yang tidak taat
kepada firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan istrinya.” Inilah yang
disebut dalam tema kita sebagai “Injil Tanpa Kata”. Sikap tunduk seorang istri
terhadap suami dihapadan Allah ibarat sebuah pemberitaan Injil, yakni
pemberitaan tanpa kata kepada suami. Dengan kata lain perempuan di dalam sebuah
keluarga diangkat oleh Allah menjadi mitra kerja-Nya untuk pertobatan dan
keselamatan suaminya. Dengan istilih yang sedikit lebih keren: para istri
adalah penginjil keluarga. Injil artinya ‘kabar baik’. Jadi para istri adalah
pembawa kabar baik bagi keluarga. Para istri adalah misinonaris keluarga.
Dari sini kita melihat
bahwa ketaatan seorang istri tidak saja sebagai bukti dari cinta dan kasihnya
kepada suami, malainkan juga merupakan saluran kasih Allah kepada suami. Dengan
kata lain: seorang istri adalah pembawa cinta kasih Allah kepada suami. Sama seperti sakit-Nya Kristus adalah bukti
cinta kasih Allah kepada orang berdosa, demikianlah juga sakit para istri
adalah bukti kasih sayang Tuhan kepada para suami yang nakal.
Karena itu seorang
perempuan yang telah mengambil keputusan untuk meninggalkan kelajangannya dan
menjadi istri, sadar atau tidak, telah menjawab panggilan Allah untuk menjadi
penginjil bagi keluarga. Jadi pernikahan bagi seorang perempuan harus dilihat,
tidak saja sebagai bentuk dari kesediaan untuk menjadi istri dan ibu bagi
anak-anak, tetapi juga sebagai suatu kesediaan (disadari atau tidak) untuk menjadi mitra kerja Allah bagi
pertumbuhan iman dalam keluarga. Dengan kata lain: rumah tangga adalah ladang
misi bagi seorang Istri.
Jadi jika ada suami
yang setia, bersyukurlah! Sebab saudara diberi hak istimewa untuk menjadi suami
seorang penginjil. Saudara diberi hak istimewa oleh Allah untuk hidup bersama
dengan mitra kerja-Nya, yang Ia tempatkan secara khusus untuk saluran cinta
kasih-Nya. Dengan begitu, maka ketidaksetiaan seorang suami terhadap istrinya
sama dengan ketidaksetiaan kepada Allah yang telah mengutusnya untuk memelihara
pertumbuhan iman keluarga.
Tetapi bagi suami yang
tidak setia, yang cintanya ibarat kacang goreng: terbagi kemana-mana, mesti
tahu bahwa kesetiaan istri adalah cara Tuhan untuk memberi kesempatan untuk
berubah. Jangan memanfaatkan kestiaan dan ketaataan istri sebagai
kesempatan untuk berbuat seenaknya. Ada
suami yang lebih mencintai masakan di restoran daripada masakan istri; ada juga
yang mencintai komputernya, mobil barunya dan pekerjaannya lebih dari istrinya; ada pula yang merasa
lebih enak tidur kamar hotel daripada di kamarnya sendiri bersama istrinya; ada
juga yang merasa lebih enak ngobrol dengan teman kerja di kantor dari pada
dengan istri dan anak-anak di rumah.
Menghadapi suami seperti ini tentu
menyakitkan. Untuk mengubahnya pun tidaklah gampang. Tetapi tidak berarti tidak
mungkin. Kecemburan dan sikap kasar, pertanyaan yang bertubi-tubi, serta sikap
emosional tidak akan menbuat dia berubah. Sebaliknya, yang dapat mengubah dia
adalah Allah.
Karena itu biarlah injil atau kabar baik -
yakni kabar tentang cinta kasih Allah - mengalir melalui perlakuan dan sikap. Jika suami marah-marah, berusahalah membalas
dengan rangkulan dalam kelembutan. Pada saat suami kelihatan tidak setia lagi,
ingatlah bahwa anda telah dipilih oleh Allah untuk menjadi penginjil baginya.
Tunjukkanlah kepadanya cinta kasih Allah melalui sikap yang manis, tutur kata
yang lembut dan santun, serta doa dan pujian kepada Allah yang tulus.
Jadikan dirimu cantik
di hadapan suami bukan dengan berdandan yang berlebih-lebihan, bukan dengan perhiasan
dan pakaian yang mahal-mahal. Ayat 3 dan 4 dari bacaan kita berbunyi:
“Perhiasanmu janganlah secara lahiriah,
yaitu dengan mengepang-epang rambut, memakai perhiasan emas atau dengan
mengenakan pakaian yang indah-indah, tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah
yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang
lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah.” Inilah yang disebut dalam tema kita “cantik tanpa dandan”. Kecantikan
tanpa dandan adalah kecantikan akhlak, kecantikan sikap, kecantikan tutur kata.
Inilah yang di dalam psikologi disebut dengan psychological makeup. Dalam bahasa Indonesia bisa kita sebut dengan
‘perhiasan jiwani’. Semua ini berasal
dari hati.
Jadilah “penginjil tanpa kata, dan cantik
tanpa dandan”.
Amin